Riwayat Tengkleng, Siasat Rakyat Solo Hadapi Keterbatasan Pangan di Masa Kolonial

Badiatul Muchlisin Asti

Minggu, 21 November 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tengkleng, kuliner rakyat khas Solo yang terbuat dari tetelan kambing. [Foto BMA]

Tengkleng, kuliner rakyat khas Solo yang terbuat dari tetelan kambing. [Foto BMA]

Bangsa Indonesia pernah mengalami masa-masa sulit selama ratusan tahun di masa penjajahan. Masa-masa sulit itu menjadikan banyak rakyat menderita, karena krisis ekonomi dan keterbatasan pangan yang terjadi. Namun di saat-saat seperti itu, kreativitas menjadi lebih tajam, termasuk dalam soal pangan.

Sejumlah kuliner lezat yang masih eksis hingga kini terlahir dari situasi yang sulit tersebut. Salah satunya adalah Tengkleng, kuliner yang sangat populer di Solo. Kelezatan tengkleng ini diakui, setidaknya oleh Bondan Winarno yang memasukkannya ke dalam daftar 100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia (2013).

Tengkleng sendiri adalah sajian khas dari kambing. Sekilas, tengkleng mirip gulai atau gule, tapi kuahnya lebih encer, tidak sepekat gule. Itu karena kebanyakan tengkleng dimasak tanpa santan, meski ada yang membubuhkan sedikit santan. Tengkleng umumnya dibuat dari tetelan atau tulang kambing yang dagingnya masih menempel.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam buku Wisata Jajan Solo Semarang (2009) yang diterbitkan PT. Intisari Mediatama disebutkan bahwa  di dapur Solo, nyaris tak ada bahan makanan yang terbuang. Tulang belulang kambing yang di tempat lain dianggap limbah, oleh wong Solo disulap menjadi makanan yang lezat sekali. Namanya tengkleng. Makanan ini sejenis gule, tapi tidak bersantan. Kuahnya encer, namun kaldunya kelihatan pekat dan berminyak.

Rasa kuahnya gurih-asam-manis-asin yang berasal dari campuran belasan bumbu seperti lengkuas, serai, kemiri, kunyit, bawang merah, bawang putih, daun salam, ketumbar, dan sebagainya. Bumbu-bumbu tersebut direbus hingga berjam-jam bersama tulang belulang kambing, termasuk bagian tengkoraknya. Tidak heran bila bumbunya meresap hingga ke tulang. Daging yang masih menempel itu pun lebih empuk ketimbang daging kambing yang dimasak sop dan gule.

Sebagai kuliner rakyat, tengkleng sampai saat ini masih menampilkan balungan atau tetelan.  Ada sensasi khusus saat menggerogoti daging yang menempel pada tulang atau saat menyedot atau mengisap-isap sumsum yang lembut dari salah satu ujung tulangnya.

Baca Juga :  Mencicipi Bakso Kawi Mas Jum

Pada perkembangannya, tengkleng tidak hanya digemari oleh masyarakat umum, tapi juga digemari oleh masyarakat kelas atas. Sehingga mulai tampil tengkleng yang isinya bagian-bagian kambing yang lebih berdaging. Bahkan menurut Bondan Winarno dalam buku 100 Mak Nyus Joglosemar (2016), di sebuah rumah makan di Solo Baru, tengklengnya disajikan mirip sop kaki kambing di Jakarta—otak, lidah, pipi, mata, kuping, jeroan, daging, dan kaki—tetapi dengan kuah tengkleng.

Di balik kelezatan tengkleng, ternyata menyimpan cerita sejarah yang getir. Sejarawan asal Solo, Heri Priyatmoko, sebagaimana dikutip Kompas.com (08/08/2020) menyatakan, pada zaman penjajahan Jepang, rakyat Solo hidup sengsara. Bahan pangan yang menipis membuat kaum kecil terpaksa mengolah apa pun menjadi sebuah santapan yang mengenyangkan perut. Tengkleng lahir dari buah kreativitas wong Solo dalam menghadapi situasi yang mencekik, tepatnya pada masa penjajahan Jepang.

Mengutip pakar hukum asal Solo, Mr. Soewidji (1973), Heri Priyatmoko menyatakan, kehidupan sehari-hari bertambah sulit saat itu. Jangankan rumah atau baju merah, kebutuhan pangan dan sandang saja kian susah dicari. Sekadar untuk mengatasi kelaparan yang merajalela, bonggol pisang pun dipakai untuk bahan makanan. Di tengah masa penjajahan, orang Solo memutar otak untuk tetap bertahan hidup dengan mengolah semua bahan pangan, termasuk limbah pangan, termasuk limbah kambing, seperti tulang belulang dan jeroan kambing.

Umumnya tulang dan jeroan hewan tidak dimanfaatkan oleh orang dari ekonomi tinggi pada masa itu. Hanya berbekal limbah kambing seperti tulang belulang dan jeroan dari kambing, mau tak mau masyarakat Solo mengolah sajian tersebut untuk mengisi perut. Bagian daging kambing pada masa itu, dihidangkan untuk para tuan dan nyonya orang Belanda serta para priyayi. Limbah pangan itu akhirnya disajikan dengan bumbu khas yang cukup rumit.

Baca Juga :  Menu Buka Puasa Pilihan Nanti Sore, Terkesan Sepele Tapi Manfaatnya Mantap Kale

Versi lain yang senada menyebutkan, sejarah tengkleng menurut sejumlah tetua di Solo, konon terkait dengan perekonomian dan daya beli masyarakat pribumi tempo dulu. Ketika itu daging kambing hampir secara eksklusif hanya dapat dinikmati oleh para bangsawan dan orang-orang Belanda.

Penduduk yang berekonomi lemah dan juru masak para bangsawan dan orang-orang Belanda, hanya bisa menikmati sisa dari daging seperti kepala, kaki, dan tulang. Maka, kondisi itulah yang kemudian memantik  para juru masak pada waktu itu untuk memutar akal dan berkreasi memanfaatkan tetelan yang tersisa agar tetap bisa dikonsumsi. Maka, dimasaklah tulang-tulang itu, yang tentunya masih menempel sedikit daging, dan menjadi sajian tengkleng seperti sekarang ini.

Nama “tengkleng” sendiri konon berasal dari suara saat menaruh masakan tengkleng ke piring. Saat ditaruh di piringnya orang miskin kala itu, maka akan mengeluarkan bunyi kleng-kleng-kleng. Sebab piring masyarakat bawah terbuat dari gebreng (semacam seng). Sehingga saat tulang itu ditaruh dipiring akan menimbulkan suara yang nyaring seperti itu.

Di Solo, para penjual sate kambing umumnya merangkap berjualan gule dan tongseng. Tetapi penjual tengkleng biasanya berdiri sendiri. Banyak warung tengkleng enak dan legendaris di Solo. Di antaranya adalah Tengkleng Klewer Bu Edi.

Tengkleng Bu Edi telah eksis sejak tahun 1971, dirintis oleh nenek Bu Edi. Awalnya dijual secara berkeliling Pasar Klewer, tapi sekitar tahun 1980-an mangkal di gapura pasar. Akhir tahun 2004, terjadi musibah kebakaran Pasar Klewer. Tempat mangkalnya pun pindah di Pendopo Taman Parkir Pasar Klewer, hingga sekarang.

Saat ini Tengkleng Klewer Bu Edi sudah memasuki generasi keempat, yaitu setelah Bu Edi yang bernama lengkap Ediyem dan merupakan generasi ketiga, meninggal dunia pada akhir 2015 lalu. Tengkleng Bu Edi terkenal enak dan lezat. Karena itu banyak penggemarnya.

Baca Juga :  Begini Konsep Bupati Fauzi Pulihkan Perekonomian Warga Sumenep

Tidak hanya masyarakat biasa, tapi penggemarnya hingga pejabat negara. Tercatat nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pelanggan tengkleng Bu Edi. Saat Jokowi masih menjadi wali kota Solo, pihaknya sering diminta mengantar atau memasak tengkleng di rumah dinas walikota Solo, Loji Gandrung.

Saat Jokowi sudah jadi presiden, pihaknya juga diminta mengantar ke Jakarta tempat Pak Jokowi berdinas, yakni saat Idul Fitri. Bahkan, saat pernikahan putra pertamanya, Gibran Rakabuming Raka pada tahun 2015,  Bu Edi juga didapuk untuk menyediakan hidangan tengkleng di acara resepsi.

Selain Pak Jokowi, tercatat juga nama mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY.  Menurut informasi, ketika Presiden SBY open house lebaran, seringkali mengundang Bu Edi untuk menyajikan menu khas Solo itu. Tak hanya Pak Jokowi dan SBY, tercatat Pak Wiranto (mantan Menkopolhukam) dan Harmoko (Menteri Penerangan di Era Orde Baru) juga menggemari tengkleng Bu Edi, serta pejabat-pejabat lainnya.

Selain Tengkleng Bu Edi, rekomendasi tengkleng enak lainnya adalah Tengkleng Bu Sarimin yang beralamat di Jalan Pinang I No. 30 Turi Baru, Cemani, Solo. Menurut cerita, di masa Presiden Soeharto, Bu Sarimin sering diundang ke Dalem Kalitan—rumah keluarga Soeharto di Solo—untuk memasak tengkleng. Tengkleng Bu Sarimin terkenal enak dan sudah dilanggani berbagai instansi dan keluarga kelas atas di Solo, Jogja, bahkan Jakarta.

Selain di Solo, tengkleng juga banyak dijumpai di kota-kota lain di Semarang, Surabaya, Bandung, dan Jakarta, serta di kota-kota lainnya. Selamat berburu tengkleng enak dan lezat di kota Anda!

Berita Terkait

Mau Buat Gudeg Khas Jogja yang Enak? Ini Resepnya
Mencicipi Bakso Kawi Mas Jum
Begini Cara Mengolah Daging Sapi Kurban Menjadi Masakan Rendang
Rekomendasi Resep Opor Ayam untuk Lebaran Idul Adha 1445 H
Soto Betawi Kuliner Khas Jakarta
Jalabiya Penganan Khas Sumenep, Nikmati Sensasinya pada Gigitan Pertama
Pa’piong Kuliner Warisan Toraja untuk Nusantara
Lezatnya Kuliner Khas Kalimantan, 6 Macam Olahan ini Cukup Digemari Pecinta Kuliner

Berita Terkait

Minggu, 28 Juli 2024 - 05:06 WIB

Mau Buat Gudeg Khas Jogja yang Enak? Ini Resepnya

Selasa, 18 Juni 2024 - 13:00 WIB

Mencicipi Bakso Kawi Mas Jum

Minggu, 16 Juni 2024 - 06:25 WIB

Begini Cara Mengolah Daging Sapi Kurban Menjadi Masakan Rendang

Sabtu, 15 Juni 2024 - 20:50 WIB

Rekomendasi Resep Opor Ayam untuk Lebaran Idul Adha 1445 H

Kamis, 13 Juni 2024 - 08:29 WIB

Soto Betawi Kuliner Khas Jakarta

Berita Terbaru