Bandung menjadi salah satu kota penting di Indonesia. Dari sisi sejarah, kota ini membukukan sejumlah sejarah penting di negeri ini. Wikipedia mencatat, Bandung menjadi kota tempat berdirinya sebuah perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia yang kini dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Bandung pula adalah salah satu medan pertempuran pada masa kemerdekaan serta pernah menjadi tempat berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika 1955—suatu pertemuan yang menyuarakan semangat antikolonialisme. Bahkan, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pidatonya mengatakan bahwa Bandung adalah ibu kotanya Asia-Afrika.
Selain itu, Bandung mendapat julukan Kota Kembang karena pada zaman dahulu kota ini dinilai sangat cantik dengan banyaknya pohon dan bunga-bunga yang tumbuh di sana. Selain itu, Bandung dahulunya disebut juga dengan Parijs van Java karena keindahannya.
Bandung juga kaya khazanah kuliner. Di antaranya yang bisa disebut adalah mi kocok, surabi, batagor, karedok, lotek, colenak, tahu susu, dan banyak lagi. Ada satu lagi, yang populer, yaitu seblak.
Seblak adalah kulier tatar Sunda yang populer berasal dari wilayah Bandung. Seblak terbuat dari kerupuk basah yang dimasak dengan sayuran dan sumber protein seperti telur, ayam, olahan daging sapi seperti sosis dan bakso, dan sebagainya. Salah satu bumbu yang menjadi ciri menonjol seblak adalah kencur. Seblak bercita rasa gurih dan pedas.
Seblak populer sejak 2000-an. Banyak warga Jawa Barat yang ditemukan menjajakan seblak di sejumlah wilayah di Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, bahkan Jawa Timur. Banyaknya penjual seblak yang hingga kini masih eksis dan dengan mudah bisa ditemukan, dapat disimpulkan bahwa seblak termasuk jajanan jalanan (street food) yang digemari berbagai kalangan masyarakat.
Dalam perkembangannya, seblak tidak hanya disajikan dengan toping biasa. Seblak berevolusi menjadi kudapan modern yang semakin banyak peminatnya. Kudapan bertekstur kenyal ini memiliki rasa yang gurih dan cenderung pedas. Bahkan, cita rasa pedas pada seblak disajikan dengan pelbagai level pedas. Mulai dari level 0 hingga level 5, bahkan ada yang sampai level 7. Level kepedasan itu sesuai jumlah cabai atau sendokan sambal yang digunakan.
Beberapa penjual bereksperimentasi dengan pelbagai variasi, baik rasa maupun bahan tambahan, juga cara penjualan. Dari segi variasai, seblak disajikan dengan aneka toping mulai dari ceker ayam, kepala ayam, daging ayam, bakso, sosis, telur, daging sapi, jamur, mi, dan variasi toping lainnya.
Bahan dasar seblak adalah kerupuk oren (orange) yang disiram dengan air panas dan diberi bumbu serta sayuran. Seblak terbuat dari kerupuk yang direbus, dan diberi bumbu seperti bawang merah, bawang putih, garam, kencur, cabai rawit, dan garam, serta penyedap rasa bila suka.
Kunci membuat seblak yang enak terletak pada bumbu kuah dan pengolahan kerupuknya. Bumbu seblak dengan kuah pedas harus menonjolkan aroma kencur. Dalam tradisi kuliner Sunda—tempat di mana seblak berasal—kencur merupakan rempah yang jadi ciri khas. Supaya aroma kencurnya menonjol, buat bumbu halus seblak dari bawang merah, bawang putih, cabai, dan kencur saja.
Cabainya bisa pakai cabai rawit untuk mendapatkan cita rasa pedas yang kuat. Tapi, bila ingin mendapatkan warna merah, cabai rawit bisa dicampur dengan cabai keriting. Semua bumbu ini tinggal ditumis dengan minyak sampai keluar aromanya. Setelah itu tinggal masukkan air dan aneka bahan seblak mulai dari bakso, telur, ceker, tulang, daging, kol, sayur, tauge, dan tidak ketinggalan kerupuknya.
Setelah itu, untuk membuat seblak enak lainnya, yang tak kalah penting adalah proses pengolahan kerupuk sebagai bahan utama seblak. Seblak biasa menggunakan kerupuk oren yang mudah ditemui di pasaran. Namun, persoalan utamanya terletak pada bagaimana mengolah kerupuk agar tidak terlalu keras dan juga tidak terlalu lembek. Sehingga seblak dapat nikmat disantap.
Sebuah sumber menyebutkan, agar kerupuk tidak terlalu keras, sebelum dimasak, pastikan kerupuk direndam dulu dalam air hangat selama kurang lebih 20 menit. Tujuannya agar kerupuk sudah lebih lembut dan tidak butuh waktu lama kala direbus. Lalu agar kerupuk seblak tidak terlalu lembek, tipsnya adalah masukkan kerupuk (yang sudah direndam) paling terakhir dari semua proses pembuatan seblak.
Meski populer sebagai kudapan khas Kota Kembang, namun asal-usul atau sejarah dari seblak sendiri sejauh ini masih simpang siur. Sejumlah sumber menyebutkan, ada yang berpendapat seblak berasal dari Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah. Di Sumpiuh, sebuah kuliner mirip seblak sudah eksis sejak sekira 1940-an.
Belakangan diketahui seblak bukanlah berasal dari Sumpiuh. Karena di Sumpiuh, kuliner mirip seblak itu bernama kerupuk godok. Kerupuk godok ala Sumpiuh menggunakan kerupuk udang yang direbus, sehingga krupuk godok juga punya sensasi kenyal seperti seblak. Selain di Sumpiuh, seblak juga sudah ada di Cianjur sejak zaman prakemerdekaan. Seblak ala Cianjur kala itu tercipta sebagai makanan alternatif bagi masyarakat dengan ekonomi lemah.
Bagaimana kemudian seblak populer sebagai kudapan khas Bandung, tak ada data pasti yang bisa dirujuk. Hanya disebutkan, seblak sebenarnya merupakan satu cara memanfaatkan sisa kerupuk yang tidak digoreng atau dimakan. Sehingga diharapkan, dengan memasaknya bersama bumbu lain dan teknik yang berbeda, kerupuk memiliki sensasi rasa yang lebih nikmat.
Murdijati Gardjito, dkk. dalam buku Kuliner Sunda, Nikmat Sedapnya Melegenda (2019) menguraikan, seblak adalah inovasi kuliner yang berasal dari Kota Kembang, yaitu pengolahan kerupuk (berbahan dasar aci) dengan cara yang tidak biasa. Jika pada umumnya, kerupuk dinikmati dengan cara digoreng terlebih dahulu dan disajikan sebagai pelengkap makanan, maka oleh orang Bandung, kerupuk dinikmati dengan cara direbus hingga lunak, kemudian ditumis dengan aneka macam bumbu.
Sebagai sebuah kuliner kreasi, seblak telah ikut serta menyemarakkan khazanah kuliner Indonesia. Seblak telah diterima masyarakat, dan penggemarnya pun datang dari berbagai kalangan. Seblak bisa dicicipi tidak hanya di Bandung, tapi juga di daerah-daerah lainnya.
Editor: Dimas