Sate kambing adalah kuliner Indonesia populer. Tegal adalah salah satu kota yang punya nama besar di blantika persatean kambing. Batibul (bawah tiga bulan) dan balibul (bawah lima bulan) adalah dua istilah yang dipopulerkan oleh kalangan persatean Tegal. Batibul dan balibul menunjukkan usia kambing yang disajikan. Masih muda, sehingga dagingnya sangat empuk dan tidak prengus.
Bila tegal punya sate kambing batibul dan balibul, maka Yogyakarta juga punya sate kambing yang tak kalah eksotik. Sate klathak namanya. Sate yang berasal dari daerah Jejeren, Pleret, Bantul, Yogyakarta ini, mewarnai keragaman khazanah kuliner Indonesia. Satenya khas, juga unik. Penampilannya relatif berbeda dengan sate kambing pada umumnya. Perbedaan mendasarnya terletak pada:
Pertama; tusuk sate yang digunakan bukan berasal dari bambu, melainkan menggunakan ruji (jeruji) sepeda. Kedua; dagingnya tidak dipotong dadu, melainkan dipotong melebar dan relatif lebih besar. Ketiga; karena daging dipotong lebih besar, maka dalam penyajiannya, satu porsi sate klathak cukup 2 tusuk sate (isi 12-16 potong), tidak 10 tusuk sate pada umumnya. Keempat; sate disajikan dengan kuah gulai secara terpisah.
Pakar kuliner Indonesia, mendiang Bondan Winarno, dalam buku 100 Mak Nyus Jalur Mudik (2018) berpendapat, sate klathak sebenarnya lebih pantas disebut grilled meat, bukan sate. Dimakan tanpa dicocol atau disiram bumbu. Gurih dan empuk seperti steak.

Apa pun itu, nama sate klathak sudah kadung populer. Riwayat sate klathak digagas dan dirintis oleh Hamzah—kelak dikenal dengan panggilan Mbah Ambyah. Sekitar 1930-an, Mbah Ambyah bekerja menjadi kusir andhong dengan rute Bantul-Kota Jogja. Pekerjaan sebagai sopir andhong itu dilakoninya selama bertahun-tahun, hingga kemudian tercetus ide untuk membuka warung sate. Pada 1945, ia mulai membuka warungnya di Pasar Jejeran, Bantul.
Syafaruddin Murbawono dalam buku Monggo Mampir, Mengudap Rasa Secara Jogja (2009) menceritakan, Hamzah membumbui sate olahannya hanya dengan bawang putih dan garam sebelum dibakar. Daging kambing yang sudah diiris-iris lalu diremas-remas agar bumbunya masuk ke dalam serat daging. Setelah itu, daging ditusuk dengan sujen dari ruji sepeda. Satu porsi terdiri atas dua tusuk ruji. Setelah dibakar, sate yang kemudian dikenal dengan nama sate klathak itu, disajikan dengan kuah gulai secara terpisah.
Asal-usul penamaan “klathak” sendiri, setidaknya ada dua versi, yang dituturkan dari mulut ke mulut. Versi pertama, penamaan klathak dikaitkan dengan bunyi suara yang keluar saat sate dibakar. Bara api dari arang yang beradu dengan jeruji sepeda saat dibakar menimbulkan bunyi kemretek atau gemeretak. Dari bunyi “thak thak” itulah lantas disebut klathak.
Versi kedua, penamaan klathak dikaitkan dengan saat makan sate ini. Orang yang makan sate besutan Hamzah ini ibaratnya sedang nglethak sate yang ada di bilah jeruji sepeda itu. Sehingga dari kata nglethak itu disebutlah klathak.
Hanya saja, Hamzah dan generasi penerus satenya, tak ambil pusing dengan asal-usul penamaan itu. Hamzah sendiri sebagai penggagas sate klathak tidak pernah memberikan pengertian khusus tentang nama sate klathak. Yang jelas, Hamzah memilih ruji sepeda sebagai ganti sujen dari bambu dengan alasan agar tidak mudah patah saat terkena api.
Saat ini, sate klathak telah memasuki generasi ketiga. Di Pasar Jejeran, sekira 15 kilometer arah selatan Kota Jogja, keturunan Hamzah membuka sate klathak dan menjadi salah satu destinasi wisata kuliner yang sangat populer di Jogja. Warung buka mulai jam 17.00 – 01.00. Bila ingin menikmati sate klathak di siang hari, bisa mengunjungi Sate Klathak Pak Pong di Jalan Imogiri Timur KM. 10 (timur Stadion Sultan Agung), Jejeran, Pleret, Bantul.