Sebagai destinasi wisata kuliner, Solo dengan slogan The Spirit of Java dikenal memiliki beragam khazanah kuliner yang khas dan eksotik. Di antara kuliner khas Solo yang populer adalah nasi liwet, sate kere, sate buntel, tengkleng, racikan selat, gudeg ceker, bakmi toprak, cabuk rambak, serabi notosuman, kerupuk karak, dan lainnya. Satu lagi kuliner khas Solo yang terkenal lezat, yaitu timlo.
Timlo adalah sajian kuliner berkuah kaldu bening, bercita rasa gurih dan segar, yang berisi sosis ayam, telur pindang, daging ayam, dan ati ampela. Sepintas penampakan timlo mirip sup lantaran kuahnya yang banyak. Namun timlo memiliki aroma harum yang khas dan beda. Ada yang bilang, rasa timlo merupakan perpaduan antara sup dan soto.
Lidia Tanod dalam buku 100 Mak Nyus Joglosemar (2016) menyatakan, kalau dilihat dari tampilannya, kita bisa langsung merasakan bahwa ini adalah jenis comfort food yang praktis. Hanya ada suwiran ayam rebus, irisan sosis solo dan potongan telur pindang dalam semangkuk kuah bening yang gurih—kadang-kadang juga ditambah jamur merang. Rasanya hampir mendekati kuah soto, tetapi tidak berminyak dan bumbunya lebih sederhana. Gurihnya kaldu adalah kunci kekuatan utamanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masih menurut Lidia, timlo biasanya dimakan dengan nasi. Sama seperti soto, nasi bisa dipisah atau dicampur di dalam mangkuk timlo. Telur pindang yang ada di dalam timlo biasanya dibuat dari telur bebek yang kuning telurnya berwarna jingga. Selain suwiran ayam, potongan sosis solo dan pindang telur bebek tadi, juga tambahan potongan ati dan ampela rebus.
Ada dua jenis sambal yang biasanya dipakai, yaitu sambal merah dari rebusan rawit, dan bila senang dengan cita rasa manis, ada sambal kecap pedas. Kerupuk yang cocok menemani hidangan ini adalah kerupuk rambak atau kerupuk kulit sapi. Sama seperti soto, awalnya timlo adalah makanan sarapan untuk orang Solo, tetapi sekarang timlo biasa dimakan dari pagi sampai sore, bahkan ada yang menjualnya sampai malam hari.
Dalam buku Kuliner Surakarta, Mencipta Rasa Penuh Nuansa (2018), Murdijati Gardjito, dkk menyebutkan bahwa di kota Solo ada berbagai variasi racikan timlo. Namun, racikan umumnya berisi irisan ayam, soun, wortel, kembang gayam, jamur kuping, telur, tomat, seledri, dan bawang goreng. Timlo disajikan bersama nasi. Ada juga racikan tanpa sayuran, hanya kuah kaldu ayam bening, dengan isi sosis basah dari dadar pipih berisi ayam cincang, potongan hati, ampela, dan telur ayam, yang semuanya dibumbui kecap, serta tambahan nasi.
Meski populer sebagai kuliner khas Solo, tapi timlo tidak genuine berasal dari Solo. Kedatangan orang-orang Eropa, Tionghoa, dan Arab di Solo di masa lalu, memang memperkaya khazanah kuliner Solo. Kuliner hasil akulturasi tidak terelakkan akibat pembauran itu.
Lidia Tanod berpendapat, timlo adalah makanan khas Solo yang dipengaruhi oleh tradisi dapur Belanda, yaitu sup ayam. Yang menjadikannya lebih Indonesia—dalam hal ini nJawani—adalah isiannya. Pakai potongan sosis solo, ati-ampela ayam, telur pindang, dan jamur merang.
Namun, pendapat lain menyebutkan bahwa timlo dipengaruhi tradisi kuliner Tionghoa, yaitu kimlo. Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, sebagaimana dikutip Republika.co.id (22/01/2019) memastikan makanan timlo terinspirasi dari kimlo.
Selama ini, orang mudah tergelincir menganggap kimlo sama dengan timlo. Kimlo merupakan nama jenis hidangan berkuah yang berasal dari Cina. Masakan tersebut di area Jawa Timur dan Jawa Tengah berkembang menjadi sup dan beredar di kawasan Pecinan.
Seorang wisatawan Belanda, Justus van Maurik, dalam buku Indrukken van een totok (1897) menceritakan pengalaman kulinernya di Jawa pada 1800-an, di mana ia bertemu dengan seorang Tionghoa—penjual makanan keliling lezat dengan menggunakan pikulan. Makanan yang dijajakan disebut kimlo atau sup Cina.
Di buku resep masakan Poetri Dapoer (1941) yang disusun perempuan Tionghoa bernama Lie Hiang Hwa, terdapat panduan memasak kimlo memakai wajan. Bahan-bahan dan bumbu-bumbunya antara lain, bawang merah, daging, garam, kecap, air, sohun, jamur kuping, kincam, udang basah atau ebi, kentang dan kubis.
Menurut Heri, selepas mempelajari kawruh bab olah-olah di atas dan pengaruh kontak budaya, kreativitas wong Solo muncul. Mereka berpeluh dan bereksperimen di pawon, mencoba memasak makanan baru bernama timlo.
Soal penamaan, masih menurut Heri, hanya mengganti huruf K dengan huruf T. Kemudian, bukan bahan daging babi yang dipakai, melainkan telur dan jeroan ayam yang populer sebagai bahan utama masakan orang Jawa. Diberi pula sosis agar makin nikmat. Berkat terobosan ini, terjaringlah konsumen yang lebih luas dan warga beragama Islam bisa menyantapnya
Dalam perkembangannya, karena kelezatannya, timlo menjadi hidangan yang sangat digandrungi. Tidak hanya oleh masyarakat Solo sendiri, tetapi juga para wisatawan yang tengah plesiran di Solo. Kelezatan timlo menjadikan kuliner berkuah ini masuk dalam 80 Warisan Kuliner Nusantara (2009) versi Bango.
Baru-baru ini, bersama kuliner khas Solo lainnya yakni sate kere, sate buntel, warung HIK, roti kecik, dan serabi notosuman, timlo ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-ristek) pada akhir Oktober 2021 lalu.
Di antara warung dan rumah makan di Solo yang menyajikan timlo, Timlo Sastro adalah rumah makan timlo paling kondang dan disebut-sebut sebagai pelopor timlo Solo. Timlo Sastro berlokasi di daerah Balong, Pasar Gede, dan memiliki cabang di Pasar m’Beling, Solo.
Suryo Sukendro dalam buku Solo Surga Kuliner (2009) menyatakan, Timlo Sastro merupakan pelopor masakan nasi timlo di Solo. Warung makan ini sudah menggelar dagangannya semenjak tahun 1952 dan tetap bertahan hingga kini. Sesuai dengan namanya, Timlo Sastro didirikan oleh Sastrohartono. Saat didirikan awalnya hanya berupa warung makan kecil di dekat Pasar Gede. Namun dari hari ke hari, warung makan ini semakin berkembang, hingga akhirnya sekitar tahun 1958 bisa mendirikan tempat permanen di sebelah timur pasar yang kemudian ditempati hingga sekarang.
Salah satu ciri khas Timlo Sastro adalah tidak memakai soun, jamur, atau sayuran, seperti timlo kebanyakan di Solo. Ciri khas lainnya adalah kuah Timlo Sastro terdiri atas dua jenis, yaitu kuah kental dan kuah encer. Kuah kental berperan sebagai bumbu timlo. Kuah kental berasal dari kaldu ayam kental yang diberi bumbu seperti bawang putih, garam, merica, dan sebagainya. Kuah kental ini baru dituang setelah isi timlo dimasukkan ke dalam mangkuk. Selanjutnya baru diguyur dengan kuah encer tawar yang juga berasal dari kaldu ayam. Pemisahan antara kuah kental dan kuah encer ini merupakan ciri khas Timlo Sastro yang membedakan dari timlo lainnya.
Timlo Sastro juga menawarkan ragam variasi timlo. Ada timlo sosis, timlo telur, timlo ati ampela, timlo sosis telur, timlo sosis ati ampela, timlo telur ati amplea, ataupun timlo komplet yang merupakan kombinasi dari semua ragam timlo yang ada. Semua disajikan dalam mangkuk yang terpisah dari piring.
Meski perintis Timlo Sastro, Sastrohardono atau yang biasa dipanggil Pak Sastro, sudah meninggal dunia pada 1983, namun resep timlonya masih terjaga keasliannya. Cara memasak dan tata penyajiannya juga masih dipertahankan sejak dulu hingga sekarang, yaitu menggunakan anglo dengan bahan kayu bakar. Pindang telurnya juga memakai telur bebek.
Selain Timlo Sastro, rumah makan timlo rekomendasi lainnya yang populer adalah Timlo Solo yang berada di Jalan Jendral Urip Sumohardjo 94, Solo. Rumah makan ini tidak hanya menyediakan timlo solo, namun juga hidangan khas Solo lainnya seperti nasi gudeg dan nasi liwet.