Sejarawan makanan Indonesia Fadly Rahman dalam buku Soto, Nikmat dari Indonesia untuk Dunia (2018), mengutip Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (1996), menyigi kata soto yang merupakan derivasi dari kosakata Tionghoa cao du (chau tu)—dalam bahasa Hokkian berbunyi chau to. Adapun Russel Jones dalam Loanwords in Indonesian – Malay (2008), menggunakan kata sao du (sao tu) atau dalam bahasa Hokkian sio to, sebagai asal-usul kata soto.
Menurut Fadly Rahman, penyerapan kata Tionghoa yang menurunkan kata soto ini, diperkirakan mulai populer dan dikenal di Semarang pada abad ke-19. Kota besar di Jawa Tengah ini merupakan kawasan hunian bagi orang-orang peranakan Tionghoa di mana hubungan kebudayaan antarkehidupan masyarakat terjalin padu.
Tradisi Tionghoa yang dikenal sohor dengan kekayaan khazanah kulinernya, turut pula menularkan pengaruh selera makan masyarakat asli Indonesia saat itu. Tidak heran, para imigran Tionghoa yang bermukim di Semarang turut andil memopulerkan makanan berkuah kaldu ini ke lingkungan masyarakat asli Jawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak heran pula, bila di Semarang, banyak dijumpai soto-soto legendaris seperti soto bokoran, soto selan, dan soto bangkong. Yang disebut terakhir, yaitu soto bangkong, boleh dibilang adalah soto paling ikonik dan paling legendaris di Kota Semarang. Menyebut kuliner Semarang, tak lengkap bila tidak menyebut soto bangkong. Soto bangkong takterelakkan dalam setiap perbincangan tentang kuliner Semarang.
Soto bangkong terkenal kelezatannya. Disajikan dengan nasi putih (bisa dicampur atau dipisah), sohun, taoge, tomat, daging ayam suwir, seledri dan bawang goreng, serta kuah kaldu ayam yang gurih ringan. Soto bangkong biasa disajikan dengan lauk pelengkap berupa tempe goreng, perkedel, serta sate kerang, sate usus, dan sate telur puyuh yang direndam bumbu kecap.
Riwayat soto bangkong dirintis oleh H. Soleh Soekarno pada 1950. Soleh Soekarno lahir di Sukoharjo, tahun 1922 (sumber lain menyebutkan tahun 1914) dari keluarga miskin. Ayahnya seorang penjual soto di kampungnya. Soleh Soekarno tidak pernah mengenyam bangku pendidikan, namun bisa baca tulis secara autodidak.
Sebelum merintis soto bangkong, ia pernah jatuh bangun dengan gonta-ganti pekerjaan. Pernah berjualan bolang-baling, berjualan soto seperti ayahnya, berjualan kerupuk, berjualan kapur, berjualan es, berjualan tempe, berjualan gaplek, dan terakhir berjualan benang pintal.
Djawahir Muhammad dalam buku Semarang Sepanjang Jalan Kenangan (2011) mengisahkan, cobaan demi cobaan telah dilalui, namun cobaan terberat terjadi sekitar 1949. Selain kehidupan semakin tidak menentu, ia dan keluarganya sering sakit-sakitan. Walau demikian, Soleh Soekarno tetap sabar. Hingga suatu malam, ia seperti mendapat petunjuk agar mengadu nasib ke Semarang.
Tahun 1950, Soleh Soekarno bertolak ke Semarang dengan berjalan kaki. Tiga hari tiga malam ia tempuh dari Sukoharjo ke Semarang. Di Semarang, ia ikut bekerja kepada seorang penjual soto kenalan ayahnya. Hanya sebulan ia bekerja ikut orang, lalu Soleh Soekarno memilih mandiri. Ia mendapatkan pinjaman angkring untuk berjualan soto berkeliling.
Nasib baik berpihak kepada Soleh Soekarno. Beberapa bulan kemudian, ia bisa mendapatkan tempat mangkal tak jauh dari Kantor Pos Bangkong. Tahun 1951, usahanya semakin berkembang. Sehingga beberapa tahun kemudian, ia bisa memboyong keluarganya ke Semarang.
Meski sudah mulai populer dan memiliki banyak pelanggan, namun baru tahun 1970, sotonya diberi nama resmi Soto Bangkong, yang kini sudah dihakpatenkan. Bangkong dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V berarti “katak (besar)”. Namun, soto bangkong bukan berarti soto yang berbahan dari daging katak. Nama Bangkong merujuk kepada nama daerah tempat mangkal Soleh Soekarno dalam berjualan soto, yaitu Bangkong.
Pada 1989, Soleh Soekarno membangun Rumah Makan Soto Bangkong secara permanen tak jauh dari tempat mangkalnya, yang kini menjadi pusat sotonya, yaitu di Ruko Bangkong Plaza, Jl. Brigjen Katamso No.1, Peterongan, Kota Semarang, atau persis di samping Kantor Pos Bangkong. Selain di Bangkong sebagai pusatnya, Soto Bangkong membuka cabang di Jalan Pandanaran, Setiabudi, dan Indraprasta. Juga di daerah lain yaitu Yogyakarta, Jakarta, dan Solo.
Soleh Soekarno meninggal dunia pada Minggu, 2 Maret 2017. Masyarakat mengenangnya sebagai tokoh kuliner Semarang dan pendiri Soto Bangkong yang sangat legendaris. Soto bangkong kini menjadi salah satu jujugan wisata kuliner di Kota Semarang.