Oleh Dewi Fiqayanti*
Belakangan ini, media sosial kita ramai dengan tagar #KaburAjaDulu yang disuarakan oleh banyak generasi muda. Tagar ini bukan sekadar tren atau guyonan belaka, melainkan sebuah refleksi dari keresahan mendalam terhadap kondisi ekonomi dan peluang kerja di Indonesia.
Banyak anak muda yang merasa bahwa peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di dalam negeri semakin sulit, sementara tawaran kerja di luar negeri terlihat lebih menjanjikan, baik dari segi gaji, lingkungan kerja, maupun jenjang karier.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena ini menunjukkan bahwa ada perasaan pesimistis di kalangan generasi muda terhadap masa depan mereka di Indonesia, terutama dalam mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Keresahan ini bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai permasalahan struktural yang sudah lama dirasakan, mulai dari tingginya tingkat pengangguran, ketimpangan ekonomi, hingga kurangnya kebijakan konkret yang mendukung penciptaan lapangan kerja.
Ketika kebijakan-kebijakan yang ada tidak berpihak pada mereka, anak muda pun akhirnya mulai mencari alternatif lain, salah satunya dengan mencari peluang di luar negeri. Sikap ini memperlihatkan bagaimana mereka menilai bahwa di negara lain, peluang sukses lebih besar dibandingkan bertahan di tanah air dengan berbagai keterbatasan yang ada.
Tagar #KaburAjaDulu kemudian diikuti oleh #IndonesiaGelap sebagai bentuk kekecewaan lebih lanjut terhadap kebijakan pemerintah, khususnya setelah 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran. Banyak kebijakan yang dirasa tidak berpihak kepada generasi muda, terutama dalam hal akses terhadap pendidikan dan kesempatan kerja.
Salah satu kebijakan yang paling disoroti adalah kebijakan efisiensi yang diperkirakan akan berdampak pada pemangkasan anggaran pendidikan. Jika hal ini terjadi, maka akses pendidikan bagi generasi muda akan semakin sulit, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan peningkatan kesenjangan sosial dan memperburuk kondisi sumber daya manusia di Indonesia.
Keprihatinan terhadap masa depan pendidikan di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Selama bertahun-tahun, banyak anak muda yang merasa bahwa sistem pendidikan tidak memberikan mereka keterampilan yang cukup untuk bersaing di dunia kerja.
Ketika kebijakan pemerintah justru berpotensi memperburuk situasi ini, maka tidak mengherankan jika generasi muda semakin kehilangan harapan terhadap masa depan mereka di dalam negeri. Kekecewaan ini kemudian diungkapkan dalam bentuk tagar #IndonesiaGelap, yang mencerminkan betapa suramnya masa depan yang mereka lihat jika kebijakan-kebijakan saat ini terus berlanjut tanpa adanya solusi yang konkret.
Fenomena ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Ketika generasi muda merasa bahwa negara tidak lagi dapat memberikan mereka harapan, maka bukan tidak mungkin akan terjadi brain drain dalam skala yang lebih besar.
Brain drain adalah fenomena di mana tenaga kerja terampil dan berpendidikan lebih memilih untuk bekerja di luar negeri karena merasa bahwa negaranya sendiri tidak mampu memberikan peluang yang cukup.
Jika semakin banyak anak muda berbakat yang memilih untuk pergi dan tidak kembali, maka Indonesia akan kehilangan sumber daya manusia terbaiknya, yang seharusnya bisa menjadi motor penggerak pembangunan nasional.
Pemerintah harus segera menyikapi keresahan ini dengan bijak. Pertama, perlu ada upaya nyata untuk menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan yang layak di dalam negeri.
Ini tidak bisa hanya sekadar janji, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan konkret yang dapat meningkatkan investasi dan membuka peluang kerja bagi anak muda.
Selain itu, perlu ada reformasi dalam sistem pendidikan agar lebih relevan dengan kebutuhan industri, sehingga lulusan perguruan tinggi tidak lagi mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan.
Kedua, pemerintah juga harus mendengarkan aspirasi generasi muda dengan lebih serius. Era digital telah memberikan mereka ruang untuk menyuarakan pendapat, dan pemerintah seharusnya tidak mengabaikan suara-suara ini. Dialog antara pemerintah dan generasi muda harus lebih terbuka agar kebijakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dengan demikian, pemerintah dapat menghindari kebijakan yang justru memperburuk ketidakpercayaan generasi muda terhadap negara.
Ketiga, dalam konteks kebijakan pendidikan, pemerintah harus memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak berarti pemangkasan yang berdampak negatif terhadap akses pendidikan. Sebaliknya, efisiensi harus diarahkan pada peningkatan kualitas pendidikan tanpa mengurangi kesempatan bagi anak muda untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Jika pendidikan tetap menjadi prioritas, maka generasi muda akan lebih optimis terhadap masa depan mereka di dalam negeri.
Terakhir, penting bagi pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi anak muda untuk berkembang, baik dalam dunia kerja maupun dalam berwirausaha.
Banyak anak muda yang memiliki semangat untuk menciptakan lapangan kerja sendiri, tetapi mereka sering kali menghadapi berbagai hambatan, mulai dari sulitnya akses modal hingga regulasi yang tidak ramah bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Jika pemerintah dapat memberikan dukungan yang lebih besar, maka anak muda tidak lagi merasa perlu “kabur” ke luar negeri untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Tagar #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap adalah sebuah peringatan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam kebijakan yang diambil pemerintah. Ini bukan sekadar keluhan tanpa dasar, tetapi sebuah refleksi dari kondisi nyata yang dihadapi oleh anak muda di Indonesia.
Jika pemerintah terus mengabaikan keresahan ini, maka kepercayaan generasi muda terhadap negara akan semakin terkikis, dan ini akan berdampak buruk pada masa depan bangsa.
Pemerintah harus mulai melihat generasi muda bukan hanya sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai mitra dalam pembangunan. Mereka adalah aset berharga yang harus dijaga dan didukung agar bisa memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa.
Dengan mendengarkan aspirasi mereka dan mengambil kebijakan yang lebih pro-generasi muda, maka kepercayaan terhadap pemerintah bisa kembali dibangun. Jika tidak, maka fenomena seperti #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap hanya akan menjadi awal dari gelombang kekecewaan yang lebih besar di masa depan.
*) Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta