Mengupas Pola Asuh: Otoriter atau Suportif, Pilihan yang Membentuk Generasi

Redaksi Nolesa

Sabtu, 25 Januari 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Selfi Nur Firdhaturtohmah  Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo (Foto: dok. pribadi/nolesa.com)

Selfi Nur Firdhaturtohmah Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo (Foto: dok. pribadi/nolesa.com)

Oleh Selfi Nur Firdhaturtohmah


Apakah Anda pernah merasa tidak didengar oleh orang tua Anda, atau sebagai orang tua, khawatir bahwa keputusan Anda mungkin menekan kebebasan anak? Pertanyaan ini relevan dengan banyak pengalaman, baik di masa kecil maupun saat membesarkan anak. Dalam beberapa tahun terakhir, pola asuh anak menjadi topik yang semakin banyak diperbincangkan. Fenomena ini menunjukkan bahwa membentuk karakter dan masa depan anak sangat dipengaruhi oleh peran orang tua. Namun, pola asuh otoriter yang mendominasi hubungan antara orang tua dan anak sering kali membawa dampak negatif yang signifikan. Pola asuh ini, yang ditandai dengan kontrol ketat tanpa memberi ruang bagi anak untuk menyuarakan pendapatnya, telah menjadi perhatian khusus karena efek buruknya terhadap perkembangan psikologis dan sosial anak.

Salah satu tantangan utama dalam pola asuh otoriter adalah ketidaksesuaian antara harapan orang tua dan minat anak. Kebanyakan orang tua merasa mengetahui apa yang terbaik untuk anak-anak mereka, sehingga memaksakan pilihan yang tidak selaras dengan minat dan passion anak. Akibatnya, anak-anak sering merasa tertekan dan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Fenomena ini terlihat jelas dalam beberapa kasus nyata. Salah satunya adalah kisah Laura Meizani Mawardi, putri dari Nikita Mirzani. Sejak kecil, Laura selalu didampingi oleh asisten ke mana pun ia pergi, karena ibunya merasa perlu untuk mengawasi secara ketat. Namun, pendekatan ini membuat Laura merasa kurang dipercaya, sehingga memunculkan keinginan besar untuk kebebasan ketika ia dewasa. Laura akhirnya mengambil langkah berani untuk mencari kebebasan yang selama ini dirasakannya kurang di masa kecil. Ia melakukan pemberontakan setelah bisa tinggal jauh dari ibunya. Fasilitas yang memadai di sekolah internasional pun ia tinggalkan karena merasa masih dibawah tekanan ibunya.

Kisah serupa juga dialami oleh seorang teman, sebut saja NF. Ia harus tinggal di pesantren sejak kecil karena ibunya bekerja di luar negeri. Meskipun NF merasa bahwa lingkungan pesantren tidak mendukung perkembangan minat dan bakatnya, ibunya tetap bersikukuh mempertahankan keputusan itu. Ketika NF mencapai usia remaja, ia akhirnya memilih kabur sebagai bentuk pelarian dari tekanan tersebut. Fenomena ini mencerminkan bagaimana kurangnya ruang dialog antara orang tua dan anak dapat menciptakan rasa frustrasi yang mendalam.

Baca Juga :  Refleksi HUT RI Ke-79: Mengapa Bung Karno Memilih Bentuk Negara Kesatuan?

Data dari berbagai penelitian mendukung pandangan bahwa terdapat dampak negatif yang nyata pada pola asuh otoriter. Studi UNICEF menunjukkan bahwa mereka yang dididik dengan pola asuh suportif memiliki kesejahteraan yang lebih baik, baik secara mental maupun akademik. Sebaliknya, pola asuh otoriter cenderung memicu rendahnya rasa percaya diri dan meningkatnya perilaku seperti berbohong.

Sebuah studi dari Eddins Counseling Group di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa 46% orang tua menggunakan pola asuh otoriter. Pola ini sering dikaitkan dengan perilaku anak yang tidak jujur karena mereka merasa tidak diberi ruang untuk mengekspresikan keinginan mereka. Fenomena serupa terjadi di Indonesia. Penelitian di sebuah SMA di Maluku Tengah menunjukkan bahwa 44,92% siswa mengalami pola asuh otoriter, sementara 33,33% dari mereka menunjukkan perilaku agresif. Data ini memperkuat pandangan bahwa lingkungan yang tidak kondusif bagi perkembangan anak disebabkan oleh pola asuh yang kaku. Sebaliknya, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa tokoh terkenal, hasil yang positif tercipta dari pola asuh suportif.

Barack Obama dan istrinya, Michelle, dikenal sebagai orang tua yang mendukung kebebasan anak-anak mereka, Malia dan Sasha, dalam mengeksplorasi minat mereka. Mereka tidak hanya memberikan ruang bagi anak-anak untuk menemukan passion mereka, tetapi juga menanamkan nilai-nilai tanggung jawab, empati, dan kerja keras. Salah satu pendekatan mereka adalah dengan menciptakan suasana yang terbuka untuk berdiskusi. Obama sering kali berbicara dengan anak-anaknya tentang isu-isu global maupun kehidupan pribadi mereka, sehingga membangun hubungan yang erat dan saling menghormati. Pola asuh ini membentuk kepribadian Malia dan Sasha menjadi individu yang percaya diri dan mandiri, meskipun mereka tumbuh di bawah sorotan publik yang intens.

Malala Yousafzai, penerima Nobel Perdamaian termuda, adalah hasil dari pola asuh suportif yang diterapkan oleh ayahnya, Ziauddin Yousafzai. Di tengah budaya patriarki yang kuat di Pakistan, Ziauddin mendobrak norma dengan mendukung pendidikan dan kebebasan anak perempuannya. Ia selalu mendorong Malala untuk bermimpi besar, berbicara tentang ketidakadilan, dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Dukungan ini tidak hanya memberikan Malala kebebasan untuk mengekspresikan dirinya, tetapi juga kekuatan untuk menghadapi tantangan yang berat, termasuk ancaman terhadap nyawanya. Pola asuh yang penuh kepercayaan dan dorongan ini menjadikan Malala simbol perjuangan untuk pendidikan dan kesetaraan gender di seluruh dunia.

Baca Juga :  Selebrasi Merdeka Berkarya

Di Indonesia, BJ Habibie dan istrinya, Ainun Habibie, menunjukkan pola asuh suportif yang menjadi panutan. Mereka mendukung penuh pendidikan anak-anak mereka tanpa memaksakan kehendak. Habibie sering menekankan pentingnya pendidikan sebagai kunci untuk mencapai mimpi, tetapi juga memahami bahwa setiap anak memiliki jalan mereka sendiri. Dengan kasih sayang dan bimbingan, Habibie memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk mengeksplorasi minat mereka. Filosofi ini tercermin dalam kehidupannya yang selalu menyeimbangkan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai kemanusiaan, memberikan inspirasi kepada keluarganya dan masyarakat luas.

Pola asuh otoriter tidak hanya berdampak pada kesejahteraan anak selama masa kecil, tetapi juga memiliki konsekuensi jangka panjang di masa mendatang. Mereka yang tumbuh dari lingkungan yang penuh kontrol cenderung mengalami kesulitan dalam membangun kepercayaan diri, mengambil keputusan mandiri, dan menjalin hubungan yang sehat di masa dewasa. Fenomena seperti yang terjadi pada Nikita Mirzani dan anaknya, Laura Meizani Mawardi, menjadi contoh konkret. Laura, yang merasa kurang diberikan kepercayaan oleh ibunya sejak kecil, kini menunjukkan keinginan besar untuk merasakan kebebasan.

Peralihan dari pola asuh otoriter menuju pola asuh suportif memerlukan pemahaman mendalam dari orang tua tentang pentingnya perkembangan psikologis dan sosial anak. Program edukasi parenting yang melibatkan pelatihan komunikasi efektif dan manajemen emosi dapat menjadi salah satu solusi. Banyak orang tua menerapkan pola asuh otoriter bukan karena niat buruk, melainkan karena kurangnya wawasan tentang dampaknya. Oleh karena itu, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, atau bahkan komunitas lokal dapat berperan dalam memberikan pelatihan dan pendampingan kepada orang tua.

Baca Juga :  Peluang dan Tantangan Parawisata Syariah di Indonesia

Di negara-negara maju seperti Swedia, program pendidikan orang tua secara rutin dilaksanakan untuk mengajarkan strategi membangun hubungan yang sehat dengan anak. Di Indonesia, meski program serupa mulai digalakkan, masih ada tantangan dalam penyebarannya ke berbagai daerah, terutama wilayah pedesaan. Dengan meningkatkan akses terhadap pendidikan orang tua, kita dapat membantu orang tua lebih memahami pentingnya pola asuh suportif dan dampaknya terhadap generasi masa depan.

Dalam konteks Indonesia, pola asuh anak juga berhubungan erat dengan sistem pendidikan nasional. Implementasi Kurikulum Merdeka, misalnya, bertujuan untuk mengembangkan potensi unik setiap siswa melalui pendekatan pembelajaran yang fleksibel dan berbasis minat. Namun, keberhasilan kurikulum ini sangat bergantung pada pola asuh di rumah. Jika orang tua tetap bersikukuh pada pola asuh otoriter, anak-anak mungkin tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan minat mereka, sehingga visi kurikulum ini tidak sepenuhnya tercapai.

Sebaliknya, pola asuh suportif mendukung tujuan Kurikulum Merdeka, karena mendorong anak untuk berpikir kritis, kreatif, dan mandiri. Orang tua yang menerapkan pola ini dapat menjadi mitra bagi guru dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif. Dengan demikian, sinergi antara pola asuh di rumah dan pendekatan pendidikan di sekolah menjadi kunci dalam mencetak generasi yang unggul.

Selain peran individu, membangun pola asuh suportif juga memerlukan kesadaran kolektif. Media massa, influencer, dan lembaga pendidikan dapat berkontribusi dalam menyebarkan informasi mengenai pentingnya pola asuh suportif. Cerita inspiratif seperti perjalanan hidup Malala Yousafzai, yang menjadi simbol kebebasan dan pendidikan, dapat menjadi contoh bagi masyarakat luas. Meningkatkan kesadaran publik tentang dampak pola asuh yang berbeda akan mendorong diskusi yang lebih luas dan mendalam tentang pentingnya mendukung anak dalam menemukan jati diri mereka. Semakin banyak orang tua yang memahami pentingnya pola asuh suportif, semakin besar peluang kita untuk membentuk generasi yang sehat secara mental, emosional, dan sosial.

*Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo 

Editor : Ahmad Farisi

Berita Terkait

Teguran Islam untuk Catcalling: Menjaga Pandangan, Menghormati Perempuan
Israel-Hamas Sepakat Hentikan Perang: Akhir dari Konflik Palestina-Israel?
Membumikan Nilai-nilai Aswaja di Kalangan Gen Z
Melibatkan Tuhan, Catatan Awal Tahun 2025
Ketika Kemajuan Teknologi Malah Mendorong Kemunduran Logika
Demokrasi Sehat, Rakyat Berdaulat: Menuju Sumenep Bermartabat
Menanamkan Nilai
Anies Baswedan dan Partai Baru

Berita Terkait

Sabtu, 1 Februari 2025 - 09:30 WIB

Teguran Islam untuk Catcalling: Menjaga Pandangan, Menghormati Perempuan

Sabtu, 25 Januari 2025 - 14:18 WIB

Mengupas Pola Asuh: Otoriter atau Suportif, Pilihan yang Membentuk Generasi

Sabtu, 18 Januari 2025 - 15:17 WIB

Israel-Hamas Sepakat Hentikan Perang: Akhir dari Konflik Palestina-Israel?

Jumat, 17 Januari 2025 - 17:54 WIB

Membumikan Nilai-nilai Aswaja di Kalangan Gen Z

Kamis, 2 Januari 2025 - 20:23 WIB

Melibatkan Tuhan, Catatan Awal Tahun 2025

Berita Terbaru

Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman (Foto: ip/nolesa.com)

Nasional

Pemerintah Jamin Harga Beras Stabil Hingga Ramadan 1446 H

Selasa, 4 Feb 2025 - 22:03 WIB

Nelly Farraniyah (Foto: dokumen pribadi untuk nolesa.com)

Sosok

Pengalaman Hobi Jadi Motivasi Profesi

Selasa, 4 Feb 2025 - 18:26 WIB