Oleh AHMAD FARISI*
Di tengah kebijakan penghematan besar-besaran yang dilakukan Presiden Prabowo, banyak orang yang bertanya-tanya: mengapa kebijakan efisiensi yang dilakukan Prabowo tidak dimulai dari merampingkan kabinetnya yang dinilai obesitas? Persis seperti yang telah dilakukan sejumlah negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, dan yang lainnya.
Bagi kebanyakan, kebijakan efisiensi yang dilakukan Prabowo bertentangan dengan kebijakan pembentukan kabinet gemuk yang dilakukannya, yang dinilai tidak mencerminkan spirit efisiensi. Sehingga banyak yang menilai kebijakan penghematan yang dilakukan Prabowo ini sebagai sesuatu yang paradoks dan kontradiktif. Menutup celah pemborosan anggaran di satu sisi, tetapi menciptakan celah kebocoran anggaran di sisi yang lain.
Sejak era reformasi, postur kabinet bentukan Prabowo memang menjadi kabinet yang paling besar sejauh ini. Terdiri dari 48 menteri, 56 wakil menteri dan 5 badan setingkat menteri. Bandingkan dengan kabinet pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masing-masing hanya terdiri dari 34 menteri dan beberapa badan.
Karena itu, merampingkan kabinet sebenarnya memang pilihan logis bagi Prabowo untuk melakukan efisiensi anggaran sebagaimana disarankan oleh banyak pihak. Sebab, pembentukan sejumlah kementerian baru yang memperbesar postur kabinet itu memerlukan alokasi tambahan anggaran untuk operasional kantor baru, gaji, tunjangan, dan lain-lain.
Namun, meski saran merampingkan kabinet untuk menghemat anggaran itu adalah pilihan yang logis, namun rasanya hal itu adalah sulit dilakukan oleh Prabowo. Sulit bukan karena kabinet gemuk itu adalah kebutuhan yang bersifat wajib bagi penyelenggaraan negara, melainkan karena kabinet gemuk itu sendiri adalah keinginan politik Prabowo yang sudah dirancang sejak sebelum ia dilantik sebagai orang nomor wahid di republik ini.
Keinginan Prabowo untuk membentuk kabinet jumbo ini setidaknya bisa dilihat dari revisi UU Kementerian yang dilakukan menjelang pelantikan Prabowo pada 20 Oktober 2024. Di mana, melalui revisi UU Kementerian ini, pembentukan kementerian yang awalnya dibatasi maksimal 34 kementerian diubah menjadi tak terbatas, sesuai kebutuhan Presiden.
Dengan adanya perubahan ketentuan pada UU Kementerian itu, maka Prabowo pun menjadi leluasa membentuk berbagai kementerian dan badan-badan baru dalam pemerintahannya yang sebenarnya, keberadaannya tidak terlalu dibutuhkan mengingat tugas dan fungsi-fungsinya bisa dilakukan oleh kementerian dan badan-badan yang telah ada.
Secara matematik, pembentukan kementerian dan badan-badan baru dalam kabinet jumbo Prabowo ini sebenarnya bisa dikatakan sebagai kebutuhan bagi Prabowo secara subjektif meski membebani APBN. Sebab, diakui atau tidak, ada begitu banyak pendukung dan tokoh-tokoh politik yang harus diakomodasi kepentingannya oleh Prabowo.
Mengakomodasi tokoh-tokoh pendukung dan tokoh-tokoh politik partai itu adalah keharusan bagi Prabowo. Sebab, mereka semua adalah kunci bagi terwujudnya stabilitas pemerintahan Prabowo dalam lima tahun ke depan. Merampingkan kabinet, membuang banyak tokoh politik dalam kabinet, sangat berisiko bagi stabilitas pemerintahan ke depan.
Dikatakan sebagai kunci bagi stabilitas pemerintahan Prabowo ke depan sebab, tokoh-tokoh politik yang kini disediakan kursi empuk oleh Prabowo itu tak lain adalah raja-raja kecil yang jika tidak diakomodasi dengan baik, berpotensi menyerang balik Prabowo dan memantik perpecahan politik yang dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan ke depan.
Dalam politik klientalisme, loyalitas patron dan klien tidak diukur oleh kesamaan ideologis, nilai-nilai atau visi yang bersifat jangka panjang, melainkan diukur berdasarkan keuntungan timbal balik. Jika keuntungan timbal balik itu diakhiri, maka berakhir pulalah kesepakatan untuk bersama-sama sebagai kawan seperjuangan dalam politik.
Prabowo, yang sejak awal membangun kabinet pemerintahannya dengan semangat klientalisme semacam itu, tentu akan sangat sulit membuang tokoh-tokoh pendukung dan sejumlah tokoh-tokoh partai dari jajaran kabinetnya. Seperti ditegaskan di atas: membuang tokoh-tokoh pendukung dalam kabinet sangat potensial menciptakan instabilitas kabinet.
Kondisi seperti itu jelas sangat tidak menguntungkan bagi pemerintahan Prabowo yang sejak awal, sarat dengan berbagai masalah. Prabowo tampak seperti menyadari, tanpa dukungan penuh dari tokoh-tokoh politik yang kini dirangkulnya, kabinet pemerintahannya akan sangat mudah terguncang dan kesulitan menjalankan agenda-agenda politiknya.
Sulit tapi Mungkin
Namun, meski sulit, langkah merampingkan kabinet guna menghemat anggaran tanpa mengorbankan sejumlah sektor penting sebenarnya tidaklah mustahil bagi Prabowo. Dengan kedudukannya sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, seyogyanya sangat mungkin bagi Prabowo untuk merampingkan kabinet obesitasnya itu. Semua itu tergantung pada kemauan dan kehendak politik (political will) Prabowo, akan mendengarkan suara masyarakat atau tidak. Masyarakat menanti kenegarawanan Presiden!
*) Pengamat politik