Ketika Kemajuan Teknologi Malah Mendorong Kemunduran Logika

Redaksi Nolesa

Sabtu, 7 Desember 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Fatih Hayatul Azhar (kolase nolesa.com)

Fatih Hayatul Azhar (kolase nolesa.com)

Oleh Fatih Hayatul Azhar

Mahasiswa Universitas Budi Luhur


Manusia modern sering kali memuja teknologi seperti anak kecil yang menemukan mainan baru—mereka takjub, terobsesi, dan tanpa pikir panjang melupakan hal-hal mendasar yang pernah menjadi pilar kehidupan mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Teknologi, yang awalnya diciptakan untuk memudahkan hidup, kini telah menjadi dewa baru yang tidak dapat disentuh kritik. Namun jika kita melihat lebih dekat, teknologi ternyata bukan hanya alat bantu, tetapi juga tirani yang diam-diam menumpulkan logika dan menggerogoti kemampuan berpikir kritis kita.

Ironisnya, dalam era yang disebut “revolusi informasi,” kita justru mengalami degradasi pemahaman dan kemunduran intelektual.

Apakah kita, manusia modern, benar-benar maju, atau justru tersesat dalam ilusi kemajuan?

Teknologi sebagai Pelarian dari Ketidakmampuan Berpikir Kritis

Ketika teknologi menawarkan jawaban cepat atas segala pertanyaan, manusia modern perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan merenung dan berpikir secara mendalam.

Google adalah guru baru yang menjawab tanpa tanya, mengisi kekosongan pengetahuan kita dengan fragmen informasi tanpa konteks. Dalam dunia yang serba cepat ini, kita lebih suka mengandalkan mesin pencari daripada memeras otak.

Teknologi, yang seharusnya memperkaya intelektualitas, malah mengalihkan kita dari kebutuhan untuk berpikir kritis.

Alih-alih menyelami kompleksitas masalah, kita memilih jalur instan: klik, baca, terima. Ini seperti makan mi instan yang enak di lidah, tapi nol nutrisi—mengenyangkan, tapi tidak menyehatkan.

Baca Juga :  Pak Bupati dan Guru Ngaji

Akibatnya, kita menjadi rentan terhadap manipulasi informasi, karena malas menguji validitas dan kebenaran dari apa yang kita baca.

Banyak Informasi, Sedikit Pemahaman

Dalam era banjir informasi ini, kita sering kali tertipu oleh ilusi bahwa mengetahui sesuatu berarti memahaminya. Informasi melimpah, tapi pemahaman menjadi barang langka.

Setiap hari kita dijejali berita, tweet, dan status media sosial yang berderet tanpa henti, namun sedikit dari kita yang benar-benar mencerna isinya. Seperti menghadapi prasmanan yang penuh makanan, tapi kita hanya mencicipi setiap hidangan tanpa benar-benar menikmati rasanya.

Akhirnya, kita hanya terjebak dalam permukaan, tanpa pernah menembus kedalaman makna. Pemahaman kita menjadi superfisial, lebih terfokus pada headline daripada konten. Ini adalah ironi besar dalam era informasi: di tengah melimpahnya data, kita justru kehilangan substansi.

Ketergantungan Teknologi dan Reduksi Humanitas

Manusia, makhluk sosial yang penuh emosi dan kompleksitas, kini diringkas menjadi teks, emoji, dan like di layar ponsel. Dalam kehidupan digital, teknologi telah mengurangi interaksi manusia menjadi serangkaian kode binari yang dingin dan tanpa jiwa.

Apakah kita benar-benar berkomunikasi, atau hanya bertukar data? Setiap kali kita lebih memilih pesan singkat daripada percakapan tatap muka, kita melepaskan sepotong kemanusiaan kita.

Yang awalnya kemajuan teknologi diharapkan akan berdampak pada efek mendekatkan, kini justru teknologi malah menciptakan jarak emosional yang tak kasat mata. Sama seperti saat kita menonton film dalam bentuk slide gambar—Anda mungkin mengerti ceritanya, tapi kehilangan esensinya.

Baca Juga :  Kepemimpinan Muda untuk Indonesia Emas 2045

Kita semakin nyaman dengan interaksi yang terputus dari realitas, seolah-olah teknologi adalah obat penenang yang meredam kerumitan hubungan manusia yang sesungguhnya.

Teknologi sebagai Senjata Manipulasi

Demokrasi, yang idealnya adalah ruang bagi kebebasan berekspresi dan debat sehat, kini dirongrong oleh teknologi yang seharusnya mendukungnya.

Media sosial, dengan algoritmanya yang canggih, menjadi senjata ampuh dalam memanipulasi opini publik. Boro-boro membebaskan, teknologi justru mengunci kita dalam gelembung-gelembung informasi yang memperkuat bias kita.

Kita menjadi korban dari apa yang disebut “confirmation bias,” hanya membaca dan mendengar apa yang ingin kita percayai.

Ini merupakan kemunduran logika dalam bentuk yang paling halus—sebuah perangkap pikiran yang mengemas manipulasi sebagai kebebasan.

Padahal pada awalnya, teknologi dirancang selaras juga untuk tujuan mempromosikan demokrasi, tapi kini teknologi telah menjadi alat yang efektif untuk mempolarisasi dan memecah belah masyarakat. Kita pikir kita berpikir, tapi sebenarnya kita hanya bereaksi.

Teknologi dan Pengorbanan Privasi

Dalam pencarian kita akan kenyamanan dan keamanan yang ditawarkan oleh teknologi, kita telah rela menyerahkan privasi kita tanpa banyak pertimbangan. Kita mengklik “setuju” pada syarat dan ketentuan tanpa membaca, membiarkan data pribadi kita diperdagangkan oleh korporasi besar.

Privasi, yang dulu dianggap hak dasar, kini menjadi barang dagangan yang murah. Ini seperti menjual rumah Anda dan menyewa kembali satu kamar di dalamnya—Anda pikir Anda masih pemilik, padahal kenyataannya, Anda hanya penyewa.

Baca Juga :  Demokrasi dan Agenda Politik Kesejahteraan

Idealnya, teknologi akan menjanjikan keamanan, tapi justru teknologi juga lah yang membawa kita pada situasi di mana kita menjadi lebih rentan terhadap pengawasan dan kontrol.

Logika kita mundur, karena kita lebih memilih kenyamanan instan daripada mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang terhadap kebebasan kita sendiri.

Teknologi, dengan segala keajaiban yang dibawanya, seharusnya menjadi alat yang memperkaya kehidupan manusia, bukan mereduksi kemampuan berpikir kritis dan kemanusiaan kita.

Namun, realitas yang kita hadapi menunjukkan bahwa teknologi telah menjadi cermin yang memantulkan kembali ketidakmampuan kita untuk memikirkan kembali tujuan hidup kita.

Apakah kita akan terus membiarkan diri tersesat dalam ilusi kemajuan? atau sudah waktunya untuk merebut kembali logika dan kemanusiaan kita dari tirani digital.

Jika teknologi terus mengendalikan kita, mungkin sudah saatnya kita bertanya: apakah kita masih menjadi tuan atas alat-alat kita, atau hanya budak dari ciptaan kita sendiri?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Editor : Ahmad Farisi

Berita Terkait

Melibatkan Tuhan, Catatan Awal Tahun 2025
Demokrasi Sehat, Rakyat Berdaulat: Menuju Sumenep Bermartabat
Menanamkan Nilai
Anies Baswedan dan Partai Baru
Refleksi HUT RI Ke-79: Mengapa Bung Karno Memilih Bentuk Negara Kesatuan?
KPK dalam Jeratan Desentralisasi Korupsi
Dilarang Membuang Sampah di Sini
Cegah Politik Uang dalam Pilkada 2024

Berita Terkait

Kamis, 2 Januari 2025 - 20:23 WIB

Melibatkan Tuhan, Catatan Awal Tahun 2025

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:16 WIB

Ketika Kemajuan Teknologi Malah Mendorong Kemunduran Logika

Selasa, 12 November 2024 - 06:56 WIB

Demokrasi Sehat, Rakyat Berdaulat: Menuju Sumenep Bermartabat

Jumat, 25 Oktober 2024 - 06:48 WIB

Menanamkan Nilai

Selasa, 3 September 2024 - 08:59 WIB

Anies Baswedan dan Partai Baru

Berita Terbaru

MA Nasy-Mut Candi Cetak Penulis Melalui Mimbar Akademik, Minggu 12/1/2025 (Foto: ist/nolesa.com)

Pendidikan

MA Nasy-Mut Candi Cetak Penulis Melalui Mimbar Akademik

Minggu, 12 Jan 2025 - 20:59 WIB

Mimbar

Akhir dari Presidensial Threshold

Selasa, 7 Jan 2025 - 05:10 WIB

Sekretaris BPBD Kabupaten Sumenep, Abd. Kadir (Foto: dok. pribadi)

Opini

Melibatkan Tuhan, Catatan Awal Tahun 2025

Kamis, 2 Jan 2025 - 20:23 WIB