Semangat jihad yang dicetuskan oleh para kaum sarungan demi tegaknya NKRI, dan pembelaan tanah air memiliki landasan dan dalil-dalil yang kuat dalam Al-Qur’an. Sebagaimana disinyalir dalam QS. Al-Baqarah: 190 yang menegaskan; “waqatilu fi sabillahi alladzina yuqatilunakum…” harus ditegakkan dengan cara menumpas penjajahan di bumi Nusantara.
Inilah gerakan para kaum sarungan yang memberikan loncatan baru tentang epistemologi makna jihad lewat semangat nasionalisme yang dibangun oleh kehidupannya sendiri. Barangkali dengan cara demikian, kaum sarungan bisa menemukan makna lebih konkret, baik sikap dan perjuangan serta semangat pembebasan komprehensif yang tak lagi terbelenggu oleh nasib hegemoni Barat.
Semangat jihad nasionalisme mengalir melalui darah santri yang masih hangat untuk tetap konsisten membela negara, dengan pelbagai alasan yang mewajibkan dirinya sebagaimana keputusan Muktamar NU ke-XVI di Porwokerto, pada 29 Maret 1946, tentang kewajiban membela negara dan berperang melawan penjajah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sampai detik ini, nasionalisme merangkak dan terus bergerak secara dinamis, sebagaimana yang dipahami oleh Benedict Anderson (1996) bahwa, nasionalisme sebentuk kekuasaan yang dibayangkan inheren dan berdaulat: animagined political community and imagined as both inherently limited and sovereign. Anderson ingin menegaskan bahwa kesadaran kelompok dengan satu kesatuan visi-misi lebih penting tanpa memandang keberagaman di dalamnya.
Konsep yang dibawa oleh Anderson dimuka, tecermin dalam kehidupan santri, tentang memahami pelbagai kelompok etnis, suku, bahasa, dan budaya yang berbeda namun serumpun dalam satu atap asrama pesantren. Mereka tak pernah mempermasalahkan sebuah perbedaan, bahkan sebaliknya perbedaan itulah menjadi satu momen kekuatan untuk saling melengkapi dan inheren.
Pada poros yang begitu mengguncang nilai-nilai nasionalisme, santri tetap berpegang teguh pada satu landasan pokok dalam ayat Al-Qur’an bahwa ummat Muhammad adalah ummat yang satu (ummatan wa sahtan), QS. Al-Anbiya’: 92. Allah melarang untuk bercerai berai apalagi saling memusuhi sebagaimana yang telah mereka saksikan dengan bentuk penjajahan kolonialisme yang pertama kali menyulut semangat masyarakat untuk berperang.
Kesadaran tentang pentingya pluralisme menjadi sangat penting, mengakui akan majemuk masyarakat yang terdiri dari berbagai pulau, suku, bahasa, agama, dan kepercayaan yang, keberadaanya harus disadari agar tercipta ukhuwah dan persatuan tanpa memandang suku atau keyakinan. Sebab itu, menurut Azyumardi Azra penyebaran Islam di Nusantara pertama kali tak bisa dilepaskan dari elan vital pondok pesantren. Dengan cara-cara kompromi, membentuk masyarakat simbiosis-mutualisme, itu menjadi alasan bagi Gus Dur bahwa pesantren lahir dari subkultur masyarakat yang plural.
Selain kesadaran di atas, kaum sarungan mengakui adanya pancasila sebagai ideologi negara, yang mencerminkan keterbukaan kepada masyarakat. Sebab itu, prinsip kaum sarungan adalah termaktub dalam sila yang kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Kita lihat tradisi saling menghargai antarteman, saling membantu antar yang satu dengan yang lain, yang lebih tua mengayomi yang lebih mudah, telah berlalu sekian tahun di pesantren.
Makna Nasionalisme: Seruan Bebas Korupsi
Beriring berjalannya waktu, kaum sarungan bukan menutup mata apalagi bersikap buta terhadap kondisi negara. Mereka melihat bahwa cerminan nasionalisme mulai dihablurkan dan dilunturkan dengan banyaknya kasus korupsi yang merajalela, sehingga satu bangunan sistem pemerintah Indonesia yang satu dengan yang lain bukan malah menjadi kekuatan, bahkan mereka cenderung melupakan perjuangan para pahlawan yang dengan ikhlas mendedikasikan seluruh hidupnya untuk memberantas segala bentuk korupsi dan penjajahan di muka bumi.
Pasalnya, kaum sarungan memiliki perhatian khusus dengan cara-cara yang lebih nasionalis, sebut saja seperti kajian-kajian kitab kuning tentang risalah-risalah nasionalisme yang terus dibaca, sejarah K. Hasyim Asy’ari dipelajari, diskusi-diskusi kecil pada saat-saat momen-momen sejarah penting negara dilakukan, memperingati kemerdekaan serta berdoa untuk kemaslahatan negara. Berlandaskan dalil Al-Qur’an, (QS. Saba: 15), tentang pentingnya membangun negara yang bebas korupsi, sebuah keadilan dan kemakmuran sebagai negara baldah al-tayyibah wa rabun gafur.
Sebagai kaum sarungan, untuk mengimplementasikan jihad nasionalisme cukup mengacu pada dua pengertian. Pertama, sebagai sabikul al-Khairat, sang pelopor yang mengorientasikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Kedua, melalui kesadaran bahwa dirinya sebagai pewaris para ulama (Nasibul al-Ulama’) yang bebas dari kemaksiatan (Tarikul al-Ma’asyi). Dua dimensi spritual dan material sekaligus terpantul dalam ijtihad gerakan nasionalisme kaum sarungan, di sisi lain perjuangan secara konteks dhahir (material) melawan penjajah, pada dimensi yang lain sebagai orang yang mengajak untuk dekat kepada Tuhan (spritual).
Zamakhsyari Dhofier (1982) menilai dari sesuatu yang paling lazim dan umum yang dilakukan para kaum sarungan di pesantren pada 1980-an sebagai bentuk kemajuan yang menyuarakan pentingnya perjuangan politik sebagai kepanjangan tangan kader-kader pesantren untuk membela bangsa dan negara. Sebut saja misalkan H.M. Rasyidi (alumni Pondok Jamsaren, Menteri Agama RI pertama), Mohammad Natsir (alumni Pesantren Persis menjadi Perdana Menteri), KH. Wahid Hasyim (alumni pondok Tebuireng), KH. Muslih Purwokerto dan KH. Imam Zarkasyi (alumni Jamsaren, anggota Dewan Perancang Nasional), KH. Idham Khalid (alumni Pondok Gontor, wakil Perdana Menteri dan Ketua MPRS).
Maka semuanya tidak bisa lepas dari solusi akan pembaharuan dan reaktualisasi tegaknya nasionalisme baru untuk Indonesia, nasionalisme harus terus mempunyai pergeseran makna yang dapat disepakati bersama dengan cara ijtihad dan usaha-usaha yang lebih mendidik terhadap masyarakat. Wallahu’lam..