Belum lama ini kita dihebohkan dengan ceramah Yassir Hasan di Desa Nyalabu, Pamekasan, Madura, yang viral di media sosial. Dalam ceramahnya itu, Yassir Hasan bukan hanya menyebut ajaran maulid nabi sebagai ajaran sesat dan tidak memiliki dasar yang kuat. Lebih dari itu, pentolan wahabi itu juga menyebut bahwa pendiri Nahdatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ari juga tidak membolehkan (alias mengharamkan) tradisi maulidan yang dilakukan oleh hampir semua muslim Indonesia itu.
Ucapan Yassir Hasan itu seketika mendapatkan reaksi keras dari publik. Warga Madura, yang merupakan mayoritas nahdliyin, mengutuk keras ucapan Yassir Hasan itu. Bahkan, lebih dari itu, warga sekitar langsung melakukan aksi unjuk rasa di depan masjid Usman bin Affan, tempat di mana Yassir Hasan mengisi ceramah atau khutbah Jumat. Warga Madura menilai pernyataan pentolan wahabi itu bukan hanya sesat secara teologis, tetapi juga juga sesat secara sosial-keagamaan karena membawa nama KH. Hasyim Asy’ari.
Kasus Madura itu membelalakkan mata kita. Bahwa senyatanya, mimbar agama kita masih belum steril dari infiltrasi Wahabi. Sebaliknya, mimbar agama kita justru dimanfaatkan Oleh pentolan-pentolan Wahabi untuk menebar propaganda. Oleh sebab itu, hal ini kiranya penting untuk dijadikan momentum sterilisasi mimbar masjid dari penetrasi Wahabisme. Masjid harus disterilisasi menjadi sarana prasarana yang menghantarkan kehidupan sosial-keagamaan kita pada arah yang lebih menyejukkan, membawa kedamaian, dan ketenangan.
Wahabi di mimbar masjid tidak memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memfungsikan masjid sebagai sarana prasarana menuju kehidupan yang lebih damai tersebut. Sebaliknya, yang ada Wahabj justru akan merusak tatanan sosial-keagamaan kita yang selama ini terjalin rapi.
Lalu, mengapa mimbar agama kita harus steril dari propaganda Wahabi? Wahabi adalah garis aliran yang saklek, kaku, dan tidak mampu berdialog dengan perkembangan zaman. Ia tidak memiliki jalan dan pintu ijtihad yang memungkinkan semua perbedaan melakukan dialog. Wahabi memahami bahwa Islam adalah sekumpulan teks saja, di mana hal-hal yang tidak ada di dalam kumpulan teks tersebut, dianggap bid’ah atau bahkan haram dan pelakunya dianggap kafir.
Kasus Madura adalah salah satu contohnya. Bahwa Wahabisme tidak punya kemampuan untuk beradaptasi dan berdialog dengan tradisi setempat. Tradisi maulidan, yang merupakan tradisi yang baik, dibid’ah-bid’ahkan. Padahal, selain secara syariah tidak bermasalah, tradisi maulidan juga sangat cocok dengan kultur kenusantaraan. Dalam praktiknya, tradisi maulidan telah menjadi wahana ekspresif bagi masyarakat untuk mengekspresikan cintanya kepada Nabi Muhammad Saw.
Alhasil, dengan ketidakmampuannya mendialogkan ajaran Islam dengan lokalitas itu, ajaran-ajaran keislaman yang dibawanya menjadi demikian menakutkan, keras, dan mudah menyesatkan aliran di luar dirinya. Karena itu, tak salah bila kebanyakan menilai bahwa wahabi, selain tidak cocok dengan kultur kenusantaraan, sejauh ini juga telah menjadi sumber dan rujukan praktik-praktik intoleran yang selama ini terjadi. Sebab, dalam kenyataannya, wahabi menjadikan Islam sedemikian sempit: antara hitam dan putih. Wahabi, tak seperti aliran keislaman lainnya, ia tidak menawarkan warna lain sebagai jalan alternatif.
Karena itu, kasus Madura itu harus menjadi momentum bagi kita semua untuk men sterilisasi mimbar masjid dari pengaruh dan virus Wahabisme. Hal ini penting dilakukan bukan hanya karena ajaran wahabi tidak cocok dengan kultur keindonesiaan, tetapi juga untuk menjaga stabilitas sosial-keagamaan kita. Eksistensinya berpotensi menimbulkan konflik dan kerusuhan sosial di antara beragam aliran yang ada.
Apa yang dilakukan pemerintah desa Nyalabu, Pamekasan, Madura, patut kita apresiasi. Sebagai bagian dari satuan pemerintah pusat, pemerintah Desa Nyalabu telah mengambil langkah tegas dengan cara menonaktifkan masjid Usman bin Affan yang menjadi sarang virus Wahabisme itu. Akan tetapi, langkah itu masih terbilang terlambat. Sebab, meski sudah mengetahui bahwa ijin pendirian masjid Usman bin Affan itu bermasalah sejak awal, namun pihaknya tidak sesegera mungkin mengambil langkah tegas. Hingga akhirnya hal yang tidak diinginkan (seperti kerusuhan) pun terjadi.
Ini harus menjadi pelajaran penting. Bahwa sterilisasi mimbar masjid dari virus Wahabisme itu perlu dilakukan sejak dini; sejak virus Wahabisme itu teridentifikasi secara sosial. Artinya, sterilisasi mimbar masjid dari virus Wahabisme itu harus dilakukan tanpa harus menunggu kasus atau konflik sosial pecah. Sterilisasi mimbar masjid dari virus Wahabisme, selain harus dilakukan dengan prinsip penanganan, juga harus dibarengi dengan prinsip pencegahan. Inilah pendekatan komprehensif yang harusnya kita gunakan dalam agenda sterilisasi mimbar masjid dari virus Wahabisme.