Oleh Lailur Rahman*
Pada peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-79 ini, kita perlu merenungi kembali dasar-dasar pemikiran para pendiri bangsa, terutama dalam memilih bentuk negara yang ideal untuk Indonesia yang baru saja merdeka. Salah satu pilihan krusial yang diambil oleh Bung Karno kala itu adalah menjadikan Indonesia sebagai negara kesatuan, bukan negara federal seperti yang diusulkan oleh Bung Hatta dan beberapa tokoh lainnya.
Keputusan Bung Karno itu bukanlah sekadar pilihan teknis dalam tata negara, tetapi merupakan keputusan strategis yang sangat dipengaruhi oleh visi Bung Karno tentang persatuan dan kesatuan bangsa yang baru saja terbebas dari belenggu kolonialisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Indonesia adalah negara yang sangat unik, dengan lebih dari 17.000 pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dihuni oleh ratusan suku bangsa dengan budaya, bahasa, dan agama yang berbeda-beda. Kondisi geografis yang luas dan beragam ini, di satu sisi, adalah kekayaan yang luar biasa bagi bangsa ini. Namun, di sisi lain, keragaman ini juga berpotensi menjadi sumber konflik dan perpecahan jika tidak dikelola dengan bijaksana.
Bung Karno, dengan visinya yang melintang jauh ke depan, menyadari potensi akan risiko itu. Ia melihat bahwa keragaman yang ada justru harus menjadi kekuatan, bukan menjadi alasan untuk terpecah-belah. Oleh karena itu, dalam pandangannya, Indonesia membutuhkan suatu bentuk negara yang mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, yang tidak memberikan ruang bagi munculnya sentimen kesukuan atau kedaerahan yang berlebihan.
Dalam konteks itulah, Bung Karno menolak ide federalisme yang diusulkan oleh Bung Hatta. Bung Hatta dan beberapa tokoh lainnya berargumen bahwa bentuk negara federal lebih cocok untuk Indonesia mengingat keragaman etnis dan budaya yang ada. Mereka berpandangan bahwa dengan memberikan otonomi yang lebih besar kepada daerah, setiap daerah yang di Indonesia dapat menjaga identitasnya sendiri, sementara pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan untuk mengurus urusan-urusan yang bersifat nasional.
Namun, bagi Bung Karno, ide ini berpotensi menimbulkan fragmentasi dan konflik di masa depan. Ia khawatir bahwa dengan memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada daerah, terutama dalam hal pemerintahan, hal itu justru akan memperkuat sentimen kedaerahan dan melemahkan identitas nasional sebagai sebuah bangsa yang satu, satu bahasa.
Pengalaman sejarah Indonesia di masa lalu juga menjadi pertimbangan Bung Karno dalam menolak federalisme. Pada masa penjajahan, Belanda menerapkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai) yang bertujuan untuk melemahkan kekuatan perlawanan bangsa Indonesia dengan cara memecah-belahnya berdasarkan suku, agama, dan wilayah.
Cara Belanda itu terbukti sangat efektif dalam mempertahankan kekuasaan kolonial selama berabad-abad. Bung Karno, sebagai seorang yang sangat memahami sejarah bangsanya, tentu tidak ingin strategi serupa diterapkan dalam bentuk yang berbeda di era kemerdekaan. Ia berpendapat bahwa bentuk negara kesatuan adalah cara terbaik untuk memastikan bahwa bangsa Indonesia tidak lagi jatuh ke dalam perangkap perpecahan kelompok.
Karena itu, Bung Karno melihat bahwa bentuk negara kesatuan lebih sesuai dengan semangat persatuan yang telah dibangun selama perjuangan kemerdekaan. Perjuangan kemerdekaan Indonesia bukanlah perjuangan satu suku bangsa atau satu daerah tertentu, melainkan perjuangan seluruh rakyat Indonesia yang berasal dari berbagai latar belakang.
Semangat persatuan inilah yang kemudian menjadi salah satu pilar utama dalam ideologi Pancasila yang dirumuskan oleh Bung Karno. Ia berkeyakinan bahwa hanya dengan menjaga semangat persatuan inilah bangsa Indonesia dapat berdiri tegak dan berdaya menghadapi berbagai tantangan di masa depan, baik dari dalam maupun dari luar.
Namun demikian, keputusan Bung Karno untuk memilih bentuk negara kesatuan bukan berarti mengabaikan keragaman yang ada. Justru sebaliknya, ia melihat bahwa persatuan dan keragaman adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Negara kesatuan yang diinginkan Bung Karno bukanlah negara yang bersifat sentralistik dan mengekang perbedaan, tetapi negara yang mampu mengakomodasi keragaman tanpa harus mengorbankan persatuan. Dalam negara kesatuan yang diimpikannya, setiap daerah dan suku bangsa tetap memiliki ruang untuk mengembangkan budayanya masing-masing, tetapi dalam kerangka kebangsaan yang satu.
Pilihan Bung Karno ini terbukti sangat relevan dalam perjalanan sejarah Indonesia. Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, mulai dari pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta, hingga gerakan separatis lainnya. Dalam situasi yang penuh dengan gejolak tersebut, bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Bung Karno justru menjadi perekat yang kuat bagi bangsa.
Negara kesatuan memungkinkan pemerintah pusat untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam menjaga keutuhan bangsa tanpa harus terhalang oleh batas-batas otonomi daerah yang terlalu besar. Dalam konteks ini, negara kesatuan yang dipilih oleh Bung Karno telah terbukti menjadi benteng yang kokoh dalam menghadapi berbagai ancaman.
*) Guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) SMK Diponegoro, Yogyakarta