Oleh: Taufiqullah Hasbul*
Visi Indonesia Emas tahun 2045 akan sulit tercapai jika budaya koruptif di Indonesia masih terus bergulir di banyak tempat, baik di dalam maupun di luar pemerintahan.
Beberapa waktu belakangan ini, media massa maupun media sosial sudah sesak dipenuhi oleh berita kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat baik di instansi pemerintah pusat maupun di daerah. Potret korupsi di Indonesia layaknya penempatan posisi kesebelasan dalam sepak bola, berbagai lini terdapat kasus korupsi yang kemudian menjadi fenomena akut yang sulit untuk diurai.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) nasional pada tahun 2024 mempunyai nilai 3,85 dari skala 5 poin yang sedikit menurun 0,07 poin dibandingkan pada tahun 2023. Namun dari laporan tersebut, persepsi masyarakat terhadap perilaku korupsi sebagai ‘sesuatu yang tidak wajar’ juga menurun. Artinya, masyarakat saat ini permisif terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi. Ironinya, perilaku korupsi dianggap sebagai suatu perbuatan yang wajar.
Bersarang di Daerah
Imbas dari maraknya kasus korupsi di tanah air yang bahkan menutup rapat-rapat pintu harapan masyarakat terhadap kinerja KPK, adalah hal yang wajar namun juga tidak sepenuhnya benar. KPK selama ini sudah bekerja berdasarkan tugas pokok dan fungsinya secara maksimal. Namun, budaya koruptif di tanah air lebih merajalela dan bahkan dilakukan dengan cara terstruktur, sistematis dan masif.
Instansi KPK yang tidak mempunyai kedudukan di daerah menjadi tantangan tersendiri dalam memberantas kasus korupsi di daerah. Dalam lingkup daerah, korupsi seringkali terjadi yang berdampak terhadap lambatnya pembangunan sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat daerah hanyalah sebatas ilusi belaka.
Di tingkat daerah, perilaku koruptif bukanlah hal yang menakutkan bagi sejumlah oknum karena di daerah seperti kabupaten atau kota, jauh dari radar pengawasan KPK yang kedudukannya hanya sebatas di Jakarta. Padahal sebelumnya, KPK mempunyai kewenangan untuk membentuk perwakilan di daerah provinsi berdasarkan peraturan UU No.30/2002 tentang KPK. Akan tetapi, setelah diberlakukannya UU No.19/2019 tentang KPK, pemerintah dan DPR menghapus kewenangan KPK tersebut untuk membentuk kedudukan perwakilan di daerah.
Berdasarkan statistik laporan KPK, tindak pidana korupsi berdasarkan instansi dalam waktu lima tahun terakhir (2019-2023), menunjukkan bahwa pemerintah kota/kabupaten menempatkan posisi pertama dengan kasus korupsi paling banyak. Realitas demikian tentunya membuat hati gundah gulana. Pemerintah daerah yang ditugaskan dan diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerah (desentralisasi), justru melakukan korupsi dengan berbagai macam variasi.
KPK yang tidak mempunyai kedudukan di daerah dijadikan kesempatan bagi para oknum pejabat daerah untuk menyalahgunakan anggaran daerah. Begitu juga dengan masyarakat daerah yang perhatiannya lebih terpusat pada kasus-kasus korupsi besar seperti di instansi pemerintahan pusat dari pada di daerah, adalah karakter yang harus diubah. Alih-alih untuk meningkatkan pembangunan daerah dan memberantas kemiskinan masyarakat, oknum pejabat daerah justru membuncitkan kekayaan yang akhirnya pemda dijadikan sebagai wahana pengkaderan ‘nepotisme pemimpin’ dalam setiap masanya.
Dalam mengawasi dan mencegah korupsi tindak pidana korupsi di daerah, pada awal Juli 2024 kemarin, KPK kemudian berkolaborasi dengan Kemendagri serta Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawasi penyelenggaraan kinerja pemerintah daerah.
Program ini sebagai bagian dari agenda prioritas pencegahan korupsi di daerah dan dapat membuka kembali harapan kita yang permisif terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.
Peran Bersama
Sebagaimana visi KPK yang berbunyi “bersama masyarakat menurunkan tingkat korupsi untuk mewujudkan Indonesia Maju’ mengindikasikan secara jelas bahwa masyarakat harus berperilaku anti koruptif dan ikut ikut andil serta dalam pencegahan korupsi. Muhammad Yusuf dalam rubrik opini (Kompas, 22 Mei 2024) menyebutkan bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan sepenuh hati, tidak hanya basa basi. Dalam maksud yang lebih sederhana, pemberantasan korupsi mem butuhkan dukungan dan peran serta masyarakat.
Adalah lebih baik dan efektif jika masyarakat dapat memainkan perannya dalam mencegah kasus korupsi ketimbang hanya menyesali potret penegakan hukum tindak pidana korupsi dengan nyinyiran yang sangat kekanak-kanakan di media sosial. Oleh karena itu, setidaknya terdapat tiga peran dan langkah efektif yang dapat dilakukan oleh kita bersama sebagai masyarakat sipil untuk mencegah kasus korupsi di daerah.
Pertama, mengawasi dan melaporkan kinerja pemerintah daerah yang dinilai tidak membawa perubahan selama era kepemimpinannya. Setiap daerah mempunyai anggaran dana tersendiri yang harus digunakan untuk kepentingan daerah dan masyarakatnya. Dan, jika pejabat daerah tidak berhasil membawa dampak positif terhadap daerah dan masyarakatnya, maka penggunaan dana daerah perlu dicurigai dan dilaporkan.
Kedua, mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah. Melalui keterbukaan informasi dan pertanggungjawaban yang jelas, masyarakat dapat mengawasi penggunaan anggaran publik, memastikan bahwa kebijakan dijalankan sesuai dengan aturan, dan menuntut tindakan tegas terhadap setiap bentuk penyalahgunaan wewenang. Tata kelola pemda harus dibuat transparan dan akuntabel untuk menghindari terjadinya tindak pidana korupsi.
Terakhir, KPK harus diberikan kewenangan kembali atas kedudukannya untuk membentuk perwakilan di daerah. DPR sebagai pembentuk undang-undang sejatinya membuat aturan hukum (UU) pembentukan KPK di wilayah sebagai upaya dari pemberantasan korupsi, ketimbang hanya mengobral pasal dalam undang-undang baru yang acapkali dipertentangkan oleh banyak kalangan masyarakat.
Untuk memperbaiki situasi ini, perlu adanya sinergi antara berbagai pihak, termasuk masyarakat, pemerintah, dan lembaga penegak hukum lainnya. Selain itu, pendidikan anti korupsi sejak dini dan penguatan nilai-nilai integritas di setiap lapisan masyarakat dapat menjadi langkah preventif untuk membangun budaya anti korupsi yang lebih kuat. Dengan demikian, visi Indonesia Emas 2045 dapat lebih mudah tercapai dengan cara bersama-sama mengawal pencegahan korupsi dimulai dari tingkat daerah.
*) Mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta