Oleh Abd. Kadir
(Dosen Pascasarjana Institut Kariman Widayudha (INKADHA) Sumenep)
Dulu, sekitar 25 tahun yang lalu, saya pernah menjumpai satu tulisan dalam spanduk yang cukup besar dengan huruf kapital “BUANGLAH SAMPAH DI SINI”. Saat itu, saya berpikir bahwa apa yang diinginkan oleh pembuat tulisan itu sebenarnya bermaksud untuk memberikan imbauan kepada masyarakat yang membaca tulisan itu untuk membuang sampah pada tempatnya. Kampanye yang sangat luhur untuk kemaslahatan bersama.
Namun, tujuan yang baik dengan niat yang tulus kadang akan menjadi senjata makan tuan ketika disampaikan dengan bahasa yang kurang tepat. Kelihatannya sederhana, tetapi plikasinya akan luar biasa.
Bisa dibayangkan, bahasa anjuran yang diinginkan pembuat tulisan itu akan naif ketika mencermati dengan bijak tulisan dalam spanduk itu. Penulisan kata depan “di” dan “ke” telah memberikan makna yang berbeda dengan tafsir yang berbeda juga. Maksud hati mengajak masyarakat (pembaca) untuk membuang sampah ke tempat yang ditunjukkan di bawah spanduk itu. Hanya saja, ketika menggunakan kata depan “di”—di sini—maka maknanya akan berbeda dengan harapan yang dimaksud. “Buanglah sampah di tempat ini” berarti masarakat (pembaca) diminta membuang sampah yang ada di tempat itu. Pemaknaan yang jauh panggang dari api ‘tidak seperti yang dimaksudkan’. Niatnya menganjurkan masyarakat untuk membuang sampah ke tempat yang ada, malah sebaliknya menganjurkan masyarakat membuang sampai dari tempat yang ada.
Pemaknaan anjuran itu akan sesuai dengan harapan, ketika kata depan yang digunakan adalah “ke”: “BUANGLAH SAMPAH KE TEMPAT INI”. Artinya, masyarakat pembaca memang dianjurkan untuk membuang sampah ke tempat itu karena senyatanya apa yang ada di bawah spanduk itu adalah tempat sampah. Kalau menggunakan kata depan “di”: “BUANGLAH SAMPAH DI TEMPAT INI”, berarti masyarakat diminta untuk membuang smapah yang ada di tempat sampah itu. Pertanyaan selanjutnya, mau dibuang ke mana lagi sampah yang ada, padahal tempat yang ditunjukkan adalah empat sampah. Untuk itu, pilihan pemakaian kata depan “ke” dan “di” memang arus cermat agar tidak menimbulkan makna yang “menyesatkan”.
Fenomena yang hampir sama dengan yang pernah saya jumpai sekitar 25 tahun yang lalu, saya jumpai lagi beberapa minggu lalu, yakni judul di atas. Tulisan dengan huruf kapital “DILARANG MEMBUNG SAMPAH DI SINI” saya lihat di salah satu spanduk yang ada pinggir jembatan besar. Tulisannya besar dengan banner yang juga lumayan besar dan ditempatkan di area yang mudah dibaca banyak orang. Saya pikir tujuannya bagus: untuk memberikan imbauan agar masyarakat tidak membuang samapah ke sembarang tempat. Di bawah tulisan itu, ada banyak tumpukan sampah, di pojok jembatan.
Sebagaimana yang pernah disampaikan kawan saya dari Dinas Lingkungan Hidup, bahwa sampah yang dibuang di satu tempat, ketika dibiarkan, akan mengundang sampah yang lainnya, sehingga tempat itu akan dianggap sebagai tempat sampah. Sampah itu akan menjadi “magnet” bagi sampah yang lain untuk datang dan bertumpuk di tempat itu, karena orang merasa bahwa tempat itu adalah lahan yang “nyaman” untuk dijadikan tempat sampah. Makanya, mereka akan dengan seenaknya membuang di tempat itu.
Begitu juga pojok jembatan yang ada tulisan sebagaimana judul di atas, mungkin awalnya cuma satu tumpukan sampah. Tapi, lama-kelamaan tumpukannya semakin banyak. Apalagi anjuran dalam tulisan itu memang secara substansi melarang membuang sampah yang ada di tempat itu.
Anjuran “DILARANG MEMBUANG SAMPAH DI TEMPAT INI” berarti masyarakat pembaca dilarang membuang sampah yang bertumpuk di tempat itu. Lebih jauh bahwa tumpukan sampah yang ada diimbau untuk tidak diapa-apakan, dibiarkan menumpuk seperti yang terlihat selama ini. Tumpukan sampah itu diimbau untuk dibiarkan begitu saja.
Padahal, mungkin sang penulis ini bermaksud memberikan anjuran jangan membuang sampah ke tempat yang dimaksud, karena senyatanya tempat itu bukanlah tempat sampah. Tetapi, pemakaian kata depan “di” telah mendistorsi maknanya. Akhirnya, maknanya pun berubah. Anjuran untuk membuang sampah pada tempatnya, menjelma anjuran untuk membiarkan sampah yang menumpuk di tempatnya untuk tidak diapa-apakan.
Maka, satu hal yang perlu dicermati, bahwa memyampaikan pesan memerlukan kecermatan bahasa. Meskipun terkesan sederhana dan remeh-temeh, sebagaimana yang dijelaskan di atas, salah menempatkan kata depan “di” dan “ke” akan memunculkan makna yang jauh panggang dari api.