Oleh : Ery Mahmudi
Dalam waktu dekat masyarakat Indonesia akan merayakan pesta demokrasi, desas-desus mengenai pemilu pada tahun 2024 esok mulai ramai diperbincangkan. Mulai dari narasi penundaan pemilu sampai kontroversi UU pemilu yang belum diputuskan, sedangkan hingar bingar mengenai persiapan KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan lembaga penyelenggara lainnya sudah berjalan berserta tahapan-tahapannya. Akan tetapi, masyarakat sudah berhadapan dengan beragam asumsi mengenai uji materi (judicial review) UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi yang tak kunjung ditentukan, apakah akan menggunakan sistem proporsional terbuka atau justru tetutup? Bahkan, sampai ada yang berkesimpulan bahwa fenomena yang demikian hanyalah sebatas permainan politik oleh elite partai yang saling silang pendapat terkait UU pemilu yang dinilai terlalu berkutat pada ambisi kepentingan politik praktis dan kalkulasi parpol dalam menghadapi kontestasi Pemilu 2024.
Dengan sistem proporsional pemilu yang belum ada kepastian dan belum jelas secara proporsional terbuka atau tertutup, sejumlah caleg dari berbagai partai politik dirasa sedang bingung dalam menyusun strategi kampanye. Apakah akan menggunakan formasi 4-2-3-1 milik Carlo Ancelotti yang memiliki keuntungan dalam aspek defensif. Jika kelak Mahkamah Konstitusi memutuskan adanya perubahan sistem, maka akan berdampak juga pada model kompetisi antar peserta pemilu, akuntabilitas dana kampanye, dan penegakan hukum. Semua hal itu dirasa perlu penyesuaian mengenai pengaturan UU Pemilu.
Sejak pemilu pertama pada tahun 1955 sampai pemilu pada tahun 1997 sudah menggunakan sistem pemilu proporsional tertutup, baru pada sistem pemilu pada tahun 2009, 2014, dan 2019 menggunakan proporsional terbuka (terbatas) hingga pada tahun 2024 esok. Disini dua jenis proporsional telah digunakan dalam beberapa kali pemilu dan dari Mahkamah Konstitusi sendiri seharusnya sudah bisa mengkaji mana yang lebih tepat diterapkan antara sistem proporsional tertutup atau sistem pemilu proporsional terbuka.
Pemilu sendiri adalah sebuah sarana yang melahirkan demokrasi, di mana partai menjadi instrumen ideologis penting dalam rekrutmen calon anggota legislatif yang harus didasarkan pada visi ideologis dan programatikanya dikuatkan oleh basis sosialnya yang tinggi. Lebih ideal lagi jika telah melalui proses kaderisasi partai yang tidak instan, apalagi karbitan yang hanya dalam beberapa bulan jelang pencalegan.
Selain itu, dari sistem proporsional pemilu harus dapat memastikan bahwa suara setiap pemilih diwakili secara adil dalam lembaga legislatif. Sistem ini juga mendorong partai politik untuk mencoba menarik dukungan dari berbagai kelompok pemilih, karena mereka harus memperoleh sejumlah suara yang signifikan untuk memperoleh kursi dalam lembaga legislatif.
Terdapat beberapa jenis sistem proporsional pemilu, pertama sistem proporsional daftar terbuka (open list proportional representation): Pemilih memberikan suaranya untuk partai politik tertentu dan dapat memilih kandidat-kandidat yang diusulkan oleh partai politik.
Kedua sistem proporsional daftar tertutup (closed list proportional representation): Pemilih hanya memberikan suaranya untuk partai politik dan partai politik menentukan urutan kandidat-kandidat dalam daftar mereka sendiri.
Ketiga sistem proporsional mixed-member (mixed-member proportional representation): Kombinasi antara sistem proporsional dan sistem distrik, di mana pemilih memberikan dua suara, satu untuk kandidat di distriknya dan satu lagi untuk partai politik dalam pemilihan umum proporsional.
Setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung pada kebutuhan dan konteks politik suatu negara. Namun, secara umum, sistem proporsional pemilu dianggap sebagai sistem yang lebih adil dan mewakili kepentingan beragam pemilih. Karena itu, mestinya KPU merepresentasikan seluruh nilai demokrasi.
”Setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung pada kebutuhan dan konteks politik suatu negara”
Salah satu nilai fundamental dalam demokrasi adalah keadilan (Henry B. Mayo, 1960). Ada batas-batasan nilai dan aturan yang disepakati sebagai ketentuan bersama. Karenanya, publik lebih mudah memahami keadilan sebagai sikap dan tindakan menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional).
Faktanya bisa dilihat, menyambut pemilu serentak pada tahun 2024 mereka tawar-menawar, tarik-menarik, dan tukar-menukar kepentingan dalam memutuskan sistem Pemilu, sedangkan KPU dan lembaga penyelenggara lainnya sudah berjalan sesuai tahapan-tahapan yang ada.
Tidak ada elit politik yang tidak memiliki kepentingan pada setiap keputusan dan kebijakannya. Omong kosong elit politik yang bisa intervensi suatu lembaga yang bersangkutan tidak memiliki kepentingan apapun dalam dukung-mendukung terhadap kelompok tertentu.
Dalam pemilihan umum serentak 2024 yang kurang 287 hari lagi MK dan KPU belum bisa memutuskan apakah sistem proporsional yang di pakai sistem proporsional tertutup atau secara proporsional terbuka. Hal ini mengindikasikan bahwa KPU sebagai penyelenggara, belum memiliki kesiapan dan cenderung memainkan waktu dalam menentukan sistem proporsionalnya. Sistem pemilu yang tidak jelas dapat mengacaukan proses demokrasi dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara dan hasil pemilu.
*) Koordinator Jaringan Aktivis Demokrasi (JAKDI) Jawa Timur