Opini, NOLESA.com — Melawan Sistem Perbudakan: Perempuan dan Kemanusiaan dalam Peradaban Dunia (2022) adalah buku kumpulan tulisan Nawal El Saadawi, seorang aktivis, esais dan feminis yang berbicara tentang seks, politik, budaya dan agama tentunya. Nawal, dalam hal ini hadir dengan segudang kegelisahan sebagai seorang perempuan yang dalam lingkungannya ruang gerak sempit dan mengancam kebebasan dalam berekspresi. Antara dirinya sebagai perempuan dan dirinya sebagai ciptaan Tuhan tipis perbedaannya. Di mana, sosio masyarakat sekelilingnya mempunyai otoritas untuk menilai, membatasi dan mengangkang eksistensi sebagai ciptaan Tuhan yang mempunyai hak-hak yang sama dengan manusia lain “laki-laki”.
Berbicara perempuan memang tidak akan aada habisnya. Ada banyak ruang yang tentu cukup serius untuk diperhatikan bersama-sama. Persoalan perempuan Indonesia sejak zaman prakemerdekaan sampai hari ini menemukan jalan buntuk dan tidak ujung rampung. Polanya sama, ketika isu tentang perempuan dimunculkan, ada banyak pihak dan institusi yang merasa terancam keberadaannya dan seola-olah mempunyai otoritas untuk mengatur. Literatur sejarah Indonesia mempunyai banyak tokoh perempuan yang perlu dijadikan rujukan, tetapi masih saja budaya bangsa ini tidak ramah perempuan. Belum lagi ketika isu gender dijadikan sebagai berita utama. Dalam isu Perda Penyimpangan Seksual Kota Bogor, misalnya. Di mama, dalam perda itu kelompok gender minoritas mengalami ancaman dan persuasi dari peraturan yang tidak ramah pilihan individu dalam mengeskpresikan tentang hasrat dan pilihan gendernya.
Sebagaimana Raudatul Jannah,S.H., Advokator LBH Yogyakarta menyatakan bahwa seharusnya perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, namun hal yang terjadi sampai saat ini budaya patriarki masih sering terjadi di Indonesia dan perempuan sering mengalami sexual abuse in women. Apalagi gender minoritas, ruang public atau republic ini bukan hanya milik mereka yang mayoritas. Sila Kedua dengan tegas menyatakan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, bahwa dalam Sila ini menegaskan rasa manusia dan kerja-kerja kemanusiaan harus dikedepankan, gender dan pilihan seksualitas adalah pilihan pribadi atau masyarakat bukan diatur negara atau regulasi undang-undang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melihat persoalan di atas, maka penting kiranya kita mengetahui sejauh mana kontruksi realitas sosial melihat perempuan, gender dan budaya. Di sini, seperti yang dikatakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Untuk memahami realitas, ada upaya yang terkoordinasi dan mengikuti proses pertukaran yang pemikiran yang menjadi karakteristik manusia. Makna (meaning) diproses dan dimaknai oleh pelaku sosial dengan menjadikannya sebagai realitas, yang secara terus menerus dilakukan akan menjadi realitas sosial hasil dari konstruksi makna yang dipahami oleh pelaku sosial. Artinya, realitas sosial di dalamnya ada proses menjadi, proses di mana realitas it uterus bergulir dan tentu tidak hadir begitu saja, apa adanya, melainkan dimaknai dan diterima memalui adanya pergulatan dan dialektis, timbal balik yang berlangsung lama dan diulang beberapa kali.
Ann Oakley (dalam Sutinah, 2004) berpendapat bahwa gender merupakan alat analisis yang baik untuk memahami masalah diskriminasi terhadap perempuan secara umum. Ditekankan bahwa gender adalah pembagian yang dibangun secara sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan. Dan ternyata perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan muncul melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan, konstruksi sosial budaya bahkan kekuasaan negara. Sekian lama proses “gender” sosial dan budaya itu berlangsung sehingga lambat laun perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi sosial budaya menjadi watak Tuhan, atau bersifat kodrati dan biologis, yang tidak dapat lagi diubah. Artinya, diyakini bahwa sebagian besar orang yang namanya kodrat perempuan adalah hasil konstruksi sosial budaya atau gender.
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann mengatakan bahwa antara fenomena sosial dan realitas sosial muncul dari pemikiran dan tindakan sosial. Lebih jauh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann mengatakan bahwa proses sosial muncul melalui tindakan dan interaksi individu di mana individu secara intens menciptakan kenyataan dibagi dan dibagi secara subjektif. Konstruksi hadir secara permanen melalui tindakan dan interaksi individu pada realitas (realitas) yang dibagikan dan dialami dengan individu lain subjektif (Parera & Frans, 1990). Makna terus dibangun, dan menjadi isyarat untuk tindakan tertentu, dan makna itu kemudian dipahami sebagai konstruksi sosial. Jadi, berbicara perempuan dan gender tentu erat kaitannya dengan budaya dan itu hasil dari pergulatan atau proses menjadi, sehingga terbentuk yang namanya identitas dan kontruksi sosial atas tubuh dan peran, dalam hal ini perempuan.
Studi Gender tidak mengidentifikasi karakteristik dan perilaku yang dianggap sesuai untuk individu karena itu laki-laki atau perempuan. Gender dipahami sebagai sebuah sistem dibentuk oleh masyarakat untuk membuat klasifikasi sosial, pembentukannya menurut distribusi jenis kelamin. Ketika seorang anak lahir, jenis kelamin anak ditentukan, apakah itu laki-laki atau perempuan. jika lahir dengan jenis kelamin “penis”, maka anak tersebut dikandung sebagai laki-laki, dan jika memiliki daerah “vagina”, maka anak dikandung sebagai perempuan. Kapan seorang anak yang lahir sudah memiliki beban gender yang dibangun secara sosial melalui budaya kepadanya. Dalam masyarakat patrilineal dan androsentris, sejak awal gender anak laki-laki jauh lebih dominan daripada anak perempuan. Dalam masyarakat antar budaya, faktor gender sangat ditentukan oleh faktor biologis atau sosial genre. pengakuan gender atau pelabelan gender, seringkali menyakitkan karena identifikasi gender lebih dari sekedar pengakuan gender, tetapi pada nilai-nilai dasar yang telah diintegrasikan ke dalamnya dalam masyarakat.
Dengan demikian, dalam melihat persoalan perempuan, lebh-lebih gender dan ekspresi tentang tubuhnya merupakan jalan terjal yang perlu terus diperjuangkan. Gender bukan sesuatu yang kodrati, iya hanya tempelan dari realitas sosial masyarakat, sehingga untuk menunjukkan raa adil dan kemanusiaan atas dasar sebagai sama-sama warga Negara, layak kita memberikan apresiasi dan sikap yang menolak atas kekerasan dan penyempitan ruang gerak dan ekspresi gender minoritas. Sebab bagaimanapun, mereka adalah bagian dari warga Negara yang mempunyai hak sama atas kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, kerja-kerja semacam ini adalah jalan menyusuri budaya bangsa sampai ke akar-akarnya.
Referensi:
Parera, Frans M. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES.
Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Gender. Jakarta: Paramadina.
Wieringa, Saskia E. 2010. Penghancuran Gerakan perempuan (Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Yogyakarta: Galangpress.
Berger, L. Peter dan Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of
Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York, USA:
Penguin Books.
Anne Oakley, ahli Sosiologi Inggris, adalah orang yang mula-mula membedakan istilah “seks” dan ”gender”. Ahamad Baidowi, Tafsir Feminis: Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Maufasir Kontemporer, Banding: Nuansa, 2005.