Oleh Ulil Abshar Abdallah*
Saya mengikuti dengan cukup intens percakapan media sosial tentang Anies Baswedan. Anda suka atau tak suka, sosok ini memiliki “magnet politik” yang cukup besar. Ada dua sosok politik yang memiliki kesamaan dalam hal “membelah opini publik”, yaitu Anies dan Ahok. Tetapi mereka memiliki jalan yang berbeda. Ahok memutuskan masuk partai (meskipun dari awal Ahok sudah terbiasa di dalam partai), yaitu PDIP.
Sementara Anies, konon, akan mendirikan partai sendiri. Saya ingin menulis catatan tentang keputusan Anies yang hendak bikin partai baru ini.
1. Karena Anies sendiri memang memiliki watak sebagai sosok yg “membelah opini,” rencana dia mendirikan partai inipun menimbulkan reaksi yang terbelah. Ada yang mendukung, ada yang sinis. Saya sendiri setuju dengan rencana Anies ini mendirikan partai sendiri. Ini, bagi saya, “jalan ninja” terbaik Anies ke depan. Ketimbang menggantungkan diri terus pada “pinangan” partai-parrai lain, lebih baik ia memiliki partai sendiri. Dengan begitu, Anies akan memiliki kemerdekaan politik secara relatif (tentu endak absolut ya).
2. Sudah tentu, ketika partai sudah berdiri, ia akan dipaksa masuk dalam “hukum besi politik” yang keras sekali. Partai-partai yg semula didirikan dengan kesucian idealisme, pada akhirnya akan masuk dalam sangkar hukum besi itu. Ini sudah terjadi berkali-kali dalam politik Indonesia. Tetapi ini tak usah membuat kita sinis pada partai. Saya salut pada orang-orang yg mau berlelah-lelah membangun partai. Sebab membangun partai amat tidak gampang. Yang mudah, duduk di pinggir lapangan dan menyoraki saja mereka yg “main” di tengah lapangan.
3. Jika Anies jadi mendirikan partai, saya yakin ini akan menjadi partai yang “idea-driven”, didorong oleh sebuah ide besar, yaitu (kira-kira) ide perubahan. Dalam hal ini, partai Anies ini memiliki kemiripan dengan partai-partai lain seperti PSI, Partai Buruh, dan Partai Hijau dlm hal berdiri dengan dilatari oleh ide dan mimpi besar. Soal apakah nanti partai-partai ini bisa berkembang dan lolos ke parlemen, itu soal ketrampilan masing-masing elit partai itu untuk “bermain”. Dan ndak usah “sinis” pada istilah bermain dlm politik. Itu hal yg wajar dan niscaya dlm semua dinamik kepartaian di mana saja.
4. Demokrasi di Indonesia membutuhkan partai yg baik. Membangun tradisi partai yg baik tidaklah mudah. Setiap ada usaha mendirikan partai baru dengan landasan mimpi dan ide besar, harus didukung. Minimal, kemunculan partai-partai baru ini memaksa “partai-partai tradisional” untuk tidak lengah dan bersikap malas. Lahirnya partai baru, bagi saya, menandakan bhw ada aspirasi di tengah-tengah masyarakat yg tidak tersalurkan lewat partai-partai yang ada.
5. Saya memilih untuk tidak sinis pada setiap usaha membangun partai baru. Bahkan saya tidak sinis pada partai anak muda yg hari-hari ini menjadi sasaran sinisme publik, yaitu PSI. Dengan segala kelemahannya, anak-anak muda yg membangun PSI ini telah bekerja keras membangun partai baru dengan mimpi baru, walau banyak yg sinis pada partai ini krn telah mengkhianati mimpinya sendiri. Menuduh sebuah partai “berkhianat” gampang. Belum tentu jika harus mengurus dan berada di dalam partai, anda akan melakukan hal yg berbeda. Belum tentu lho.
6. Dengan mengatakan ini semua, tidak berarti saya mau mengatakan bhw semua partai harus dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan yg “keras” dari publik. Kritik-kritik atas partai dan “permainan” mereka harus terus-menerus dilakukan. Intinya: tidak boleh ada “comfort zone” dalam kehidupan politik. Semua hal “subject to scrutiny.” Tetapi sikap mau mengapresiasi orang-orang yang telah dengan lelah bekerja jg harus ada. Sebab sinisme total jelas tak sehat.
Sekian.
Sumber Berita : X/Twitter @ulil