Oleh Putra Nugraha*
Dalam kehidupan yang penuh dengan drama, tidak menutup kemungkinan setiap manusia mengalami cobaannya masing-masing. Meskipun secara fisik manusia memiliki beberapa kesamaan, namun perbedaan psikologisnya sangat mencolok.
Kepribadian baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab, semuanya dipengaruhi oleh perjalanan hidupnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Islam dan Kesanggupan Hambanya
Islam sudah mengidentifikasi bahwa setiap makhluk yang hidup di dunia memiliki cobaannya masing-masing. Hal ini disebut dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 286:
lâ yukallifullâhu nafsan illâ wus‘ahâ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
Cobaan yang dihadapi oleh manusia sangat beragam dan kompleks, bisa jadi hubungan keluarga, pertemanan, pekerjaan dll. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa masalah yang dialami manusia disebabkan oleh kesalahan persepsi tanpa berkomunikasi terlebih dahulu.
Fenomena yang terjadi malah sebaliknya, Al-Qur’an menyatakan setiap manusia diberi cobaan sesuai dengan kemampuannya. Namun, faktanya banyak manusia yang pasrah dan mengalami gangguan jiwa hingga bunuh diri.
Dikutip dari artikel Pusiknas Polri, dalam sembilan bulan di 2024, Polri menindak 988 kejadian bunuh diri di seluruh wilayah Indonesia–hampir seribu. Jumlah setiap bulan cenderung menunjukkan tren naik mulai Juni hingga Agustus 2024.
Dalam buku karya Henry Manampiring berjudul Filosofi Teras, mengungkap tips and trik untuk menjadi hamba yang sesuai dengan pedoman Al-Qur’an khususnya pada surat Al-Baqarah ayat 286:
#1 Mengetahui Apa Yang Ada Dalam dan Luar Kendali Kita
“Some things are up to us, some things are not up to us.”–Epictetus (Enchiridion)
“Ada hal-hal yang berada di bawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak berada di bawah kendali kita”
Buku Filosofi Teras mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari hal-hal yang bisa kita kendalikan. Sebaliknya, kita tidak bisa menggantungkan kepada hal-hal yang tidak bisa kendalikan, karena tidak rasional.
● Hal yang dalam kendali kita seperti: pertimbangan, persepsi, keinginan, tujuan, dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri.
● Hal yang di luar kendali: tindakan dan opini orang lain, reputasi, kesehatan, kekayaan, kondisi saat lahir (jenis kelamin orang tua, suku kebangsaan warna kulit dll.), bencana alam, harga saham, inflasi dll.
Dalam buku berjudul man’s search for meaning Frankl menyimpulkan dari pengalaman hidupnya bahwa di dalam situasi yang paling menyakitkan dan tidak manusiawi, hidup masih memiliki mana, dan karenanya, penderitaan pun dapat bermakna. Kita tidak bisa memilih situasi hidup setiap saat, tetapi kita selalu bisa menentukan sikap kita atas situasiyang sedang dialami.
#2 Melawan Rasa Lebay
Tanpa kita sadari, dalam kehidupan sehari-hari kita selalu lebay dalam menanggapi sesuatu walaupun hal itu remeh seperti: mantan udah punya yang baru? Lebay, jajan ke warung kurang seribu? Lebay, mendadak kerja lembur? lebay, udah jauh-jauh datang ke kelas dosennya ganti jadwal? Lebay.
Dan faktor terbesar yang terus memanjakan sifat lebay kita salah satunya adalah media sosial. Karena kebanyakan orang mengunggah hal–hal yang indah saja ke media sosial, sehingga kehidupan yang nyata menjadi tidak realistis.
Terkadang dengan media sosial kita juga mengikuti standar hidup seseorang, seperti: selebriti, tokoh idola, influencer, dll.–syukur-syukur kalo yang diikuti positif. Namun yang jadi permasalahannya ketika kita mendewakan apa yang menjadi idola kita, sehingga dalam pandangan kita mereka tampil sangat sempurna.
Ketika idola kita melakukan kesalahan atau tidak menunjukkan moralitas yang sesuai ekspektasi kita, maka ada dua hal yang terjadi: penyangkalan, dan menuduh media hoax atau pata hati terhadap kenyataan. Intinya kedua respon tersebut adalah lebay dan harus dilawan.
#3 Mengendalikan Interpretasi dan Persepsi
“It is not nothing that trouble us, but our judgement about things”
“Bukan hal-hal atau peristiwa yang meresahkan, tetapi persepsi/pikiran akan hal-hal dan peristiwa tersebut.
Manusia bukanlah makhluk pasif yang dibawa senang, sedih, dan marah oleh hal-hal eksternal. Sebaliknya, perasaan kita datang dari pendapat dan persepsi yang sepenuhnya di bawah kendali kita. Epictus mengatakan bahwa sumber sebenar-benarnya dari segala keresahan dan kekhawatiran kita ada dalam pikiran kita.
Kita memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi, kapan pun yang kita inginkan. Semua rasa yang pernah ada datangnya dari pikiran kita sendiri. Dan sebenarnya kita mampu mengubah persepsi/pikiran kita, tanpa mengubah peristiwa eksternal yang terjadi.
Sebagai contoh, kehilangan pekerjaan?
“Ini kesempatan mengubah karier ke bidang ya saya mau”
Mengubah persepsi bukan berarti berhalusinasi, tetapi untuk mengatur emosi untuk mencegah depresi atau gangguan mental.
Hidup penuh dengan ujian yang diberikan sesuai kemampuan kita. Dengan memahami apa yang dalam kendali kita, menghindari reaksi berlebihan, dan mengelola persepsi, kita dapat menghadapi tantangan dengan bijaksana. Seperti yang diajarkan dalam Islam dan Filsafat Stoik, kebahagiaan sejati datang dari cara kita merespons, bukan dari situasi itu sendiri.
*Putra Nugraha yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Sunan Kalijaga, jurusan Perbandingan Madzhab. Memiliki hobi menulis tentang isu kritik sosial.