Opini, NOLESA.com — Puncak peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana, secara nasional tahun ini dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 2023 di Kecamatan Karangbinangun, Kabupaten Lamongan. Tema yang diangkat adalah “Tingkatkan ketangguhan desa, kurangi risiko bencana”.
Acara dimulai dengan pelaksanaan Sarasehan Masyarakat Sungai. Di sini dipaparkan praktik baik para pelaku sungai yang ada di Indonesia. Adapun yang menjadi penaggap dalam diskusi ini adalah Prof. Syamsul Maarif, Dr. Agus Maryono (dari UGM), dan Dr. Lilik Kurniawan (Deputi Logistik dan Peralatan BNPB).
Selain sarasehan, tersaji pula simulasi evakuasi mandiri di tujuh kabupaten dan objek ketangguhan masyarakat. Di akhir sesi, ada acara penanaman pohon dan masyarakat sungai bertutur sepiutar fenomena yang dialami mereka sebagai masyarakat di daerah aliran sungai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebenarnya, hari kesiapsiagaan bencana ini jatuh pada tanggal 26 April 2023. Hanya saja, puncak peringatannya secara nasional, dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 2023.
Artinya, ketika membincang hari kesiapsiagaan yang jatuh pada tanggal 26 April ini, sebenarnya ada makna tersendiri bagi saya sebagai keluarga besar BPBD. Mengapa? Karena hari pertama masuk kantor setelah cuti lebaran, bertepatan dengan Hari Kesiapsiagaan Bencana (26 April 2023). Dalam perspentif ini, bahwa ada dua momentum sekaligus yang dilalui secara estafet. Momentum pertama hari suasana raya Idulfitri di bulan Syawal dan momentum kedua Hari Kesiapsiagaan Bencana.
Menariknya, secara substantif, ada korelasi yang cukup ajeg dalam keduanya. Suasana Idulfitri adalah momentum kita kembali menjadi fitri setelah selama satu bulan menjalankan ibadah puasa. Di dalam puasa ada perintah berzakat. Proses penyucian diri dengan berpuasa dan berzakat ini diakhiri dengan idul fitri (kembali ke fitrah), bermaaf-maafan, dan bersilaturrahim.
Berpuasa adalah ibadah yang sangat ‘personal-sublim’ antara seorang hamba dengan Tuhannya. Selain puasa itu sendiri, anjuran untuk memperbanyak amalan yang sifatnya personal, hablum minallah, juga turut menyertai ibadah puasa seorang hamba. Apakah itu melaksanakan salat tarawih, salat sunnah yang lain, tadarus Al-Qur’an, bersedekah atau ibadah-ibadah sunnah yang lainnya.
Namun, selain memperkuat hablum minallah di bulan Ramadan, kita juga diperintahkan untuk memperkuat hablum minannas. Dalam hal ini, mengeluarkan zakat fiitrah adalah salah satu manifestasi dari hablum minannas itu. Artinya, kita diajarkan untuk menjadi hamba yang memiliki kesalehan individual sekaligus kesalehan sosial secara seimbang.
Bahkan untuk menguatkan kesalehan sosial ini, kita dianjurkan untuk meminta maaf dan bersilaturrahim dengan para tetangga, kerabat dan orang di sekitar kita, karena selain kita adalah hamba yang banyak memiliki dosa kepada Sang Pencipta, juga adalah makhluk yang tidak lepas dari kesalahan kepada sesama manusia. Kalau urusan dosa dengan Sang Pencipta kita dianjurkan untuk beristighfar, maka dengan sesama manusia, kita dianjurkan untuk meminta maaf antarsesama.
Dalam konteks berhari raya ini, kita juga sudah mafhum mendengar idiom: ‘minal ‘aaidiin wal faaiziin’. Dipahami bahwa idiom ini berawal dari syair yang dibawakan penyair asal Andalus: Syafiyuddin Al Hilli, ketika mengisahkan dendang para wanita meyambut hari raya pada zaman itu. Namun, saat ini, di masyarakat kita, idiom ini seolah menjadi ‘tagline’ di hari lebaran. Bahwa setelah melaksanakan puasa, maka kita semua berharap bisa menjadi orang yang kembali menemukan fitrah kita sebagai seorang hamba. Kesucian diri adalah harapan kita semua. Selain itu, kita masuk dalam golongan orang yang mendapatkan kemenangan setelah melewati masa riyadah selama bulan Ramadhan.
“Kita adalah relawan yang siap selamat. Relawan yang akan selalu berusaha menebar manfaat kemanusiaan, menabung kebaikan sosial untuk kemanusiaan”
Ketika seorang hamba sudah melalui proses penyucian diri selama Ramadhan, memasuki bulan Syawal, harapannya adalah ada peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah dalam keseharian kita. Ada peningkatan kualitas dan kuantitas kesalehan individual dan kesalehan sosial kita.
Bulan Syawal secara etimologi adalah bulan peningkatan. Yaitu, peningkatan amal dan kinerja. Artiya, apa yang telah dilakukan selama Ramadhan, tidak berhenti ketika memasuki bulan Syawal. Aktivitas ibadah dan amaliah kebikan kita tetap terjaga dan bahkan bisa meningkat di bulan Syawal. Secara individu, kualitas dan kuantitas ibadah hablum minallah kita tetap terjaga setelah Ramadhan. Termasuk juga kualitas dan kuantitas ibadah hablum minannas kita juga terjaga.
Inilah yang saya katakan di awal bahwa ada momentum estafet Idulfitri dengan Hari Kesiapsiagaan Bencana. Bagi keluarga besar BPBD, kesiapsiagaan bencana adalah tanggung jawab yang ada di pundak kita semua. Pada ranah ini, kepedulian, keselamatan bersama dan tanggung jawab kemanusiaan yang diemban oleh keluarga besar BPBD juga perlu lebih dikuatkan lagi. Kita adalah relawan yang siap selamat. Relawan yang akan selalu berusaha menebar manfaat kemanusiaan, menabung kebaikan sosial untuk kemanusiaan. Semoga!