Cara Nabi Musa dan Nabi Muhammad Menghadapi Tren #KaburAjaDulu

Redaksi Nolesa

Sabtu, 3 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Putra Nugraha (untuk NOLESA.com)

Putra Nugraha (untuk NOLESA.com)

Oleh Putra Nugraha

Indonesia, negeri tercinta yang berideologi Pancasila, menjunjung tinggi keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa memandang status sebagai masyarakat biasa maupun penguasa. Namun, tanahnya yang subur dan makmur seolah tersembunyi di balik kerakusan oknum tak berbudi, sementara demokrasi tidak berjalan sepenuhnya karena partisipasi rakyat dibatasi.

Tagar #KaburAjaDulu sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial, mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai acak dan tidak konsisten. Tren ini lahir dari keresahan atas kondisi sosial, ekonomi, serta ketidakpastian hukum yang membayangi kehidupan di Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Fenomena ini telah memantik banyak warganet Indonesia yang tinggal di luar negeri untuk berbagi pengalaman mengenai peluang kerja, standar hidup, serta langkah-langkah bermigrasi demi meraih kehidupan yang lebih layak. Keinginan untuk mendapatkan jaminan hidup yang lebih baik dari negara adalah sesuatu yang sangat manusiawi.

Sayangnya, alih-alih merespons tren ini dengan empati atau refleksi, pemerintah justru menanggapinya secara negatif. Pernyataan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, “Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi,” menimbulkan kesan meremehkan keresahan publik yang nyata.

Dari sini, muncul pertanyaan reflektif: bagaimana para nabi terdahulu menghadapi situasi seperti tren #KaburAjaDulu ini? Sebagaimana kita ketahui, beberapa nabi juga pernah mengalami kondisi yang serupa—menghadapi tekanan, ketidakadilan, hingga harus meninggalkan tanah kelahiran mereka demi tujuan yang lebih besar.

#KaburAjaDulu Versi Syariah

Sebelum masuk pada pembahasan, istilah #KaburAjaDulu dalam Islam bisa dimaknai dengan kata “hijrah” yang secara bahasa memiliki arti ‘perpindahan’, ‘meninggalkan’, ‘tidak memedulikan lagi’, dan ‘berpaling’. Menurut Ahsin W. Al-Hafidz hijrah berarti berpindah dari suatu daerah ke daerah lain (Suarni, 2016).

Baca Juga :  Pola Pikir Sehat untuk Hidup yang Baik

Hijrah dapat didefinisikan dalam beberapa sudut pandang. Pertama, sebagaimana tercermin dalam tren #KaburAjaDulu, hijrah dipahami sebagai tindakan kaum muslim meninggalkan negeri asal yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan kafir—yakni penguasa yang tertutup mata hatinya terhadap nilai keadilan. Kedua, hijrah dimaknai sebagai upaya menjauhkan diri dari dosa dan perilaku maksiat. Ketiga, hijrah juga dikenang sebagai titik awal penanggalan dalam sejarah Islam (Suarni, 2016).

Prof. Dr. H. Mardan, M.Ag., dalam artikelnya, menjelaskan bahwa hijrah merupakan perpindahan dari kampung kemusyrikan menuju kampung keimanan. Tujuan dari perpindahan ini adalah untuk membina dan mendirikan masyarakat Islam yang sejati. Hijrah juga dimaknai sebagai meninggalkan tempat, keadaan, atau sifat yang buruk menuju hal-hal yang lebih baik di sisi Allah dan rasul-Nya—yakni kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.

Nabi Musa Mengajak Kaumnya #KaburAjaDulu

Seperti halnya fenomena #KaburAjaDulu, perjalanan hidup Nabi Musa juga penuh dengan perlawanan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan yang terjadi pada masa pemerintahan Fir’aun. Dimana nama Fir’aun disebutkan sebanyak 74 kali dalam Al-Qur’an.

Seperti halnya fenomena #KaburAjaDulu, perjalanan hidup Nabi Musa juga sarat dengan perjuangan melawan berbagai bentuk ketidakadilan pada masa pemerintahan Fir’aun. Sosok Fir’aun sendiri disebutkan sebanyak 74 kali dalam Al-Qur’an.

Rasa takut Nabi Musa untuk menghadapi Fir’aun tercantum dalam Q.S.: Asy-Syu’ara: Musa berkata, “Wahai Rabbku! Sesungguhnya aku takut mereka akan mendustakanku.”

Nabi Musa bukan hanya berdiri di pinggir jurang, melainkan rela melompat ke dalamnya jika itu adalah perintah Allah Swt. Meski rasa takut menyelimutinya, ia tetap memilih menghadapi seorang raja zalim—yang tidak lain adalah ayah angkatnya sendiri. Ya, sekalipun Fir’aun pernah berjasa dalam hidup Nabi Musa, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Asy-Syu’ara: 18, hal itu tidak menghalangi Nabi Musa untuk terus menyampaikan kebenaran, mengkritik, dan memberi edukasi kepada Fir’aun.

Baca Juga :  Pilkada 2024: Waspada Politik Gentong Babi!

Adapun tiga poin dakwah yang disampaikan Nabi Musa kepada Fir’aun adalah sebagai berikut: Pertama, agar Fir’aun berhenti mengaku sebagai tuhan dan beriman kepada Allah Swt. Kedua, menghentikan penindasan terhadap Bani Israil. Ketiga, memberikan kebebasan kepada Bani Israil untuk beribadah dan menyampaikan doa serta keluh kesah kepada Allah Swt.—yang dalam konteks saat ini dapat dimaknai sebagai kebebasan berekspresi.

Sayangnya, tiga seruan tersebut tidak disambut dengan baik. Sebaliknya, Fir’aun justru menyombongkan diri dan mengancam Nabi Musa dengan penjara (Q.S. Asy-Syu’ara: 29) serta berbagai bentuk siksaan (Q.S. Al-A’raf: 123–124), sebelum akhirnya Nabi Musa mengajak kaumnya untuk #KaburAjaDulu.

Pada akhirnya, Allah menurunkan berbagai hukuman kepada Fir’aun dan kaumnya, seperti kemarau panjang, angin topan, serangan kutu, dan katak. Alih-alih memohon pertolongan atau melakukan introspeksi, Fir’aun dan para pengikutnya tetap bersikukuh dalam kesombongan dan keingkaran.

Nabi Musa pun mengajak kaumnya untuk #KaburAjaDulu. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Selama bertahun-tahun Nabi Musa telah berdakwah dan berjuang agar Fir’aun mau memperbaiki sistem pemerintahannya, namun tidak membuahkan hasil.

Jadi, sebelum Nabi Musa dan Bani Israil melakukan aksi #KaburAjaDulu, ia telah mencurahkan seluruh upaya agar negeri tempat ia dibesarkan bisa menjadi lebih adil, merdeka, dan menjunjung tinggi kemanusiaan tanpa memandang kasta.

Rasulullah #KaburAjaDulu ke Madinah

Sebelum kedatangan Rasulullah, Makkah dipenuhi tradisi jahiliah seperti penyembahan berhala, minuman keras (khamar), perjudian, dan praktik perbudakan. Rasulullah hadir untuk membenahi masyarakat Makkah dan mengedukasi mereka agar meninggalkan kebiasaan yang tidak manusiawi ini.

Baca Juga :  Gaya Hidup Cashless: Kemudahan atau Ketergantungan?

Meski beliau telah dikenal dengan empat sifat mulianya—siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathonah (cerdas)—dakwah Rasulullah tetap ditentang dan ditolak oleh penduduk Makkah waktu itu, terutama oleh kaum Quraisy yang masih merupakan keluarganya sendiri.

Dari sinilah aksi #KaburAjaDulu dimulai. Alasan hijrah bukan semata karena penolakan terhadap ajaran Islam, tetapi karena Rasulullah dan para pengikutnya terus-menerus mendapat intimidasi, ancaman, bahkan kekerasan fisik.

Ketika dakwah mulai berkembang dan dukungan mulai tumbuh, para pemimpin Quraisy justru merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah. Rencana ini muncul atas ide Abu Jahal yang merupakan paman Rasulullah sendiri. Maka Rasulullah pun berhijrah ke Madinah, di mana masyarakatnya menyambut beliau dengan tangan terbuka.

Aksi #KaburAjaDulu ke Madinah bukan sekadar pelarian dari ancaman, tetapi sebuah langkah strategis untuk memperkuat fondasi Islam dan menyusun strategi dakwah yang lebih terarah bagi kemaslahatan umat.

Sebagai refleksi dari sejarah, tren #KaburAjaDulu semestinya menjadi peringatan yang perlu disikapi secara serius oleh pemerintah. Ini bukan hanya ekspresi keinginan “kabur”, melainkan bentuk kekecewaan terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.(*)

*sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, jurusan Perbandingan Madzhab. Ia hobi menulis artikel populer.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berita Terkait

Pesantren di Era Digital: Sebuah Catatan Sederhana
Gaya Hidup Cashless: Kemudahan atau Ketergantungan?
Sampah Kota Yogyakarta Menumpuk: Kendala dan Solusinya
Berani Bicara: Tanda Kuat Atau Malah Lemah?
Aneh?
Menghadapi Ujian Hidup Bersama Al-Qur’an dan Filosofi Teras
#KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap: Ekspresi Kekecewaan Generasi Muda yang Harus Disikapi dengan Bijak
Kodifikasi UU Pemilu, Sebuah Keniscayaan!

Berita Terkait

Minggu, 11 Mei 2025 - 11:04 WIB

Pesantren di Era Digital: Sebuah Catatan Sederhana

Kamis, 8 Mei 2025 - 15:02 WIB

Gaya Hidup Cashless: Kemudahan atau Ketergantungan?

Kamis, 8 Mei 2025 - 14:02 WIB

Sampah Kota Yogyakarta Menumpuk: Kendala dan Solusinya

Sabtu, 3 Mei 2025 - 10:12 WIB

Cara Nabi Musa dan Nabi Muhammad Menghadapi Tren #KaburAjaDulu

Selasa, 29 April 2025 - 15:31 WIB

Berani Bicara: Tanda Kuat Atau Malah Lemah?

Berita Terbaru

Presiden Prabowo ditemani Mentri Amran di sebuah lahan pertanian (foto: ist)

Nasional

Di Era Presiden Prabowo, Serapan Beras Tertinggi dalam 58 Tahun

Selasa, 13 Mei 2025 - 07:32 WIB

for NOLESA.COM

Opini

Pesantren di Era Digital: Sebuah Catatan Sederhana

Minggu, 11 Mei 2025 - 11:04 WIB

Bupati Sumenep, Dr. H. Achmad Fauzi Wongsojudo menerima SK PAW dari Ketua MUI Jatim, KH. Hasan Mutawakil Alallah di Kantor MUI Jatim, Sabtu, 10/5/2025 (foto: ist)

Daerah

Bupati Sumenep Terima SK PAW

Sabtu, 10 Mei 2025 - 19:46 WIB