Opini,NOLESA.com — Kita sangat menyangkan ceramah Cak Nun yang melabeli (labelisasi) Presiden Jokowi sebagai Fir’aun. Disamping berlebihan, labelisasi politik semacam itu sangat tidak elok dan tidak mendidik umat.
Kepemimpinan Presiden Jokowi memang masih menyimpan banyak celah. Karena itu, kepemimpinan Presiden Jokowi memang perlu untuk dikritisi. Akan tetapi, saya rasa, memunculkan labelisasi politik seperti “Jokowi Fir’aun” adalah kurang tepat juga. Labelisasi semacam itu, daripada disebut kritik, lebih tepat disebut dengan sentimen politik berbasis kebencian: merusak kerukunan dan memecah belah umat.
Disebut sentimen berbasis kebencian sebab, dalam literatur Islam, Fir’aun adalah sosok pemimpin jahiliyah yang keji, bengis, angkuh dan sombong. Yang bukan hanya memusuhi Nabi Allah, tetapi juga mengaku Tuhan. Singkatnya, Fir’aun adalah sosok manusia sombong yang sempurna.
Kesombongan dan keangkuhannya melebihi ketinggian puncak himalaya dan serta melampaui keluasan samudera. Presiden Jokowi jelas bukan sosok dan pribadi semacam itu. Meski secara politik masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi dari diri Presiden Jokowi, namun ia bukan sosok pemimpin yang keji dan sombong layaknya Fir’un si Raja Sombong itu.
Karena itu, analogi atau labelisasi politik seperti yang dilabelkan Cak Nun terhadap Presiden Jokowi menjadi tidak tepat dan tidak etis. Dan sangat tidak elok keluar dari lisan seorang pencerahan cum budayawan sakaliber Cak Nun, yang tak diragukan lagi, paham betul tentang akhlak, sopan santun, dan etika dalam berucap dan bertutur kata di depan publik. Meski labelisasi politik itu ditujukan sebagai sebuah kritikan, namun analogi dan diksinya sangat tidak tepat: tendensius. Labelisasi politik semacam itu, bukannya memberikan pencerahan dan solusi, tetapi malah menimbulkan kegaduhan, konflik dan perpecahan umat.
Tokoh Agama Harus Menjadi Teladan yang Baik bagi Umat
Secara sosiologis, di dalam struktur sosial masyarakat Indonesia, tokoh agama (kiai atau ulama) menduduki posisi penting. Mengikuti klasifikasi Clifford Geertz, yang membagi struktur masyarakat Indonesia ke dalam tiga bagian: abangan, santri, dan priyai, maka terlihat jelas bahwa tokoh agama—yang merupakan bagian dari kelompok santri—memiliki kedudukan istimewa. Yang mana, selain dipandang sebagai orang terpelajar, tokoh agama juga dipandang sebagai simbol dari sebuah agama yang dipeluknya. Tindak tanduk seorang tokoh agama, bagaimanapun, akan dilihat dan dipandang sebagai representasi dari agama yang dipeluknya. Karena itu, seorang tokoh agama, sudah seharusnya untuk menjadi suri tauladan yang baik (uswatun hasanah) bagi para pengikutnya. Baik dalam lingkup kebudayaan, politik, dan lain semacamnya.
Selain alasan tersebut, survei yang dilakukan Denny JA (2018) menemukan bahwa tokoh agama adalah sosok yang paling dipercayai oleh publik ketimbang politisi dan figur-figur publik lainnya. Mayoritas responden (51,7%) menempatkan tokoh agama sebagai sosok yang paling bisa dipercaya ucapannya. Jauh di atas politisi yang hanya berada diangka 11% dan pengamat 4,5%. Karena itu, dengan demikian, juga sudah selayaknya bagi setiap tokoh agama untuk memberikan teladan yang baik bagi umat. Sebagai figur yang dipercayai umat, eksistensinya haruslah menjadi cermin bagi umat dalam hal beropolitik, bersosialisasi, berucap, bertutur kata, bersikap, dan bertindak. Di Indonesia, siapa pun diberi kebebasan untuk mengkritik dan memberikan masukan.
Akan tetapi, para tokoh agama khususnya, harus memberi contoh bagaimana cara mengkritik yang baik, yang merepresentasikan dirinya sebagai agamawan dan figur publik. Bukan melakukan labelisasi politik yang penuh dengan kebencian dan sentimen politik yang berlebihan. Tokoh agama (kiai atau ulama) adalah penerus para nabi Allah (al warasatul anbiya’). Oleh sebab itu, sebagai penerus para nabi, keberadaannya harus mencontoh bagaimana para nabi berertutur dan bersikap di tengah-tengah masyarakat. Serta, juga menjadi lentera yang menerangi dan menjadi angin yang menyejukkan.
Dalam klarifikasinya, Cak Nun mengatakan bahwa ucapannya yang melabelisasi Presiden Jokowi dengan nama Fir’aun itu merupakan ketidaksengajaan. Karena itu, Cak Nun meminta maaf atas ketidaksengajaan itu. Wabil khusus kepada pihak yang dirugikan, yang tak lain adalah Presiden Jokowi.
Karena itu, saya kira persoalannya sudah selesai. Namun begitu, kita berharap labelisasi politik semacam itu tidak terulang lagi. Kita berharap, para tokoh agama sekaliber Cak Nun dan yang lainnya mampu memberi kita keteladana yang baik dalam berbangsa dan bernegara.