Oleh Abd. Kadir
(Pembina Komunitas Kata Bintang)
Kemarin saya berjumpa dengan teman guru yang menggantikan saya di SMA Yas’a dulu sebagai pembina Kelompok Karya Ilmiah Remaja (KIR). Beliau bercerita banyak tentang aktivitas menulis siswa yang saat ini dihidupkan Kembali setelah sekian lama jalan di tempat. Alhasil, telah terbit Kembali majalah sekolah “Deblis” yang sejak awal tahun 2005-an sdh tidak terbit lagi. Artinya, setelah sekitar hamper 20 tahun, majalah ini terbit lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya katakan bahwa ini adalah proses kehidupan berliterasi setalah sekian lama “mati suri”. Bahwa mengasah kemampuan menulis anak tidak hanya bisa dilakukan dengan sekadar memotivasi dengan bahasa verbal. Kata-kata saja saya sampaikan ke beliau, tak cukup untuk membangun ghirah literasi anak. Perlu ada Langkah nyata untuk membimbing mereka, melatih mereka dengan telaten, sehingga apa yang kita harapkan bisa tercapai.
Kemampuan menulis itu bukan sekadar teori yang harus dihafalkan. Semuanya butuh proses untuk bisa menjadi baik. Ada proses latihan. Untuk melakukan latihan ini perlu meluangkan waktu mendampingi, mengayomi dengan telaten pada anak-anak. Di situlah kemudian akan terbangun satu kesadaran nilai bahwa guru memberikan teladan, sehingga akan terinternalisasi nilai paa anak, bahwa guru tidak hanya sekadar menyuruh, tetapi memberikan aksi nyata keteladanan kepada anak.
Saya sampaikan juga ke beliau, bahwa saya dulu membimbing anak-anak tidak sekadar menyuruhnya. Memberikan teladan adalah kunci utama dalam berliterasi. Artinya, saya tidak sekadar menyuruh anak untuk menulis, tetapi juga berusaha untuk aktif menulis juga di media massa, atau Ketika ada lomba menulis. Jadi semangat anak-anak akan semakin menguat Ketika kita sebagai guru juga masuk dalam dunia mereka.
Ketika mereka diminta untuk menulis, maka kita juga masuk dalam dunia mereka untuk menulis. Ketika mereka diminta untuk belajar, maka kita juga masuk dalam dunia mereka dengan belajar bersama-sama.
Dipahami bahwa menulis ini seyogyanya harus dimulai dengan membaca, sehingga ada gizi otak kita yang bisa dikeluarkan untuk menjadi tulisan, maka anak pun perlu dilatih untuk belajar, membaca buku, atau berdiskusi dengan orang yang dianggap mampu dalam bidang yang akan dipelajarinya. Nah, di sinilah kita sebagai guru seyogyanya juga perlu lebih dulu memberikan contoh, teladan atas segala hal yang diminta untuk dilakukan anak. Dalam konteks ini, ketika anak diminta untuk membaca buku, belajar,maka harus dimulai dari kita sebagai guru.
Guru siap untuk diajak diskusi oleh anak. Guru siap untuk diajak membaca/membedah buku oleh anak, sehingga kehadiran guru sebagai teladan akan memberikan motivasi tersendiri bagi anak.
Mungkin ini menjadi autokritik bagi kita sebagai guru, bahwa selama ini kadang kita lebih banyak menyuruh anak untuk belajar/membaca buku, sementara kita sebagai guru sudah tidak lagi sempat untuk membaca buku. Maka Ketika, yang terjadi adalah anak-anak kita menjadi “alergi” dengan belajar/membaca buku, maka sebenarnya kita juga memiliki peran atas segala fenomena ini. Kebiasaan menyuruh dengan verbal yang tidak diikuti dengan keteladanan nyata, akan menjadi senjata makan tuan bagi kita, karena menjadi “cara” yang kurang efektif untuk menanamkan nilai kepada anak.
Maka, sepertinya kita perlu merenung sejenak atas sebuah kaidah yang menyebutkan bahwa lisanul hal afsohu min lisanil maqol. Di sini dipahami bahwa bahasa perbuatan (keteladanan) akan lebih efektif dalam konteks penanaman nilai dibanding bahasa lisan (seruan yang hanya sebatas ucapan verbal belaka).
Oleh karena itu, ke depan, dalam konteks menanamkan nilai ini, pilihannya ada pada kita, apakah akan menggunakan model “bahasa perbuatan” atau tetap melanggengkan “bahasa lisan” saja. Yaaaa, entahlah!