Oleh : Abd. Kadir
Tanggal 3 Desember kemarin, saya dikirimi pesan WA oleh seorang teman: “Atas nama Pergerakan DILANS Indonesia saya mengucapkan selamat memperingati Hari Disabilitas Internasional 2023”. Dipahami bahwa DILANS Indonesia ini adalah organisasi Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) yang dideklarasikan di Bandung, 3 Desember 2021 bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional.
Dalam pesan WA itu pula, disebutkan bahwa saat ini ada lebih dari 1 milyar orang di dunia yang difabel. Dari jumlah yang ada, sekitar 23 juta orang adalah saudara-saudara kita di Indonesia. Jumlah yang tidak sedikit, dan yang dalam realitasnya, sebagian besar saudara-saudara kita ini berada dalam kondisi tertinggal dalam kehidupan apapun: ekonomi, sosial, budaya, politik, pendidikan, sains dan teknologi.
Saya kembali teringat pada pesan teman saya ini karena beberapa hari lalu ada siswa binaan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) salah satu SMA di Sumenep yang datang ke saya dan berdiskusi tentang pendidikan inklusif. Kedatangan para siswa ini membuka ingatan saya tentang lembaran kehidupan para siswa berkebutuhan khusus yang pada tataran reallitasnya pemenuhan hak-hak pendidikan mereka juga harus terpenuhi dengan baik.
Diakui atau tidak bahwa sejatinya menjadi seorang difabel itu tidak pernah diminta oleh siapapun. Semuanya semata-mata anugerah dari Sang Pencipta. Sebagaimana juga yang disampaikan teman saya ini, fenomena difabel bukanlah akhir dari segalanya dalam menjalankan hidup dan kehidupan. Ini semua adalah lahan ibadah untuk membangun empati dan etika pada sesama agar peradaban ini terus bertumbuh dengan sehat dan tidak meminggirkan siapapun di muka bumi, termasuk segala isinya.
Yang cukup menarik adalah kalimat akhir pesan yang dikirim teman ini: “mari kita bersama-sama berjuang mempercepat pemenuhan hak penyandang disabilitas agar saudara-saudara kita ini bisa setara dan tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif”. Hal inilah yang menjadi tema karya tulis siswa yang pernah didiskusikan dengan siswa-siswa dari SMA yang datang ke saya. Mereka berniat mengikuti lomba menulis artikel dengan tema ‘kurikulum merdeka dan pendidikan inklusif di Indonesia’.
Sejatinya, pendidikan inklusif ini bisa dimaknai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak difabel atau anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Penyelenggaraan sekolah ini bertujuan supaya semua anak dapat mengakses pendidikan seluas-luasnya tanpa diskriminasi.
Dipahami bahwa dalam perspektif ini, hadirnya kurikulum merdeka telah memberi ruang tersendiri bagi ABK untuk bebas memilih sekolah yang diinginkan, dan merdeka mendapatkan layanan pendidikan yang sama dengan siswa yang lain. Untuk itulah dibutuhkan sekolah-sekolah inklusif yang bisa memberikan layanan yang sama antara ABK dan non-ABK.
Program sekolah inklusi ini secara substantif akan memberikan implikasi baik terhadap ABK sendiri atau anak yang tidak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah reguler, maupun bagi guru dan orang tua siswa. Bagi ABK, dengan program sekolah inklusi ini mereka akan terhindar dari label yang diaggap ‘negatif’. Bahwa persepsi masyarakat terhadap anak berebutuhan khusus ini terkadang masih menganggapnya sebagai aib. Bahkan bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus pun, kadang juga menganggap anaknya sebagai aib bagi keluarganya., sehingga kadang orang tua mengurung anaknya untuk tidak ke mana-mana.
Ada juga orang tua yang merasa kurang percaya diri kalau anaknya disekolahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB), makanya memiih sekolah reguler yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Dengan harapan, bahwa ketika disekolahkan di lembaga reguler ini, mereka para ABK, akan memiliki rasa percaya diri seperti anak-anak yang lain karena mereka mengenyam pendidikan di tempat anak-anak yang tidak berkebutuhan khusus. Selain itu, anak-anak ini memiliki kesempatan menyesuaikan diri. Artinya, mereka, para ABK, akan memiliki kesiapan menghadapi kehidupan nyata.
Nah, saat ini ketika pemerintah telah menggalakkan Implementasi kurikulum merdeka, sejatinya anak-anak ini memiliki kemerdekaan dan kebebasan untuk memilih sekolah regular yang diinginkan. Hanya saja, persoalannya sekarang, implementasi kurikulum merdeka masih menyisakan ‘pekerjaan rumah’, utamanya tentang eksistensi lembaga/sekolah inklusif yang bisa memberikan layanan kepada ABK yang masih jauh dari memadai. Di sinilah pemerintah semestinya harus hadir untuk memberikan jawaban nyata atas layanan kebutuhan ABK untuk menikmati pendidikan yang layak sebagai hak yang harus dipenuhi terutama bagi ABK ini.
Masih belum banyak sekolah reguler yang memberikan layanan bagi anak berkebutuhan khusus. Kalaupun sudah ada, masih beberapa sekolah saja. Data terbaru hasil riset para siswa SMA yang datang ke saya, ada sekitar 4% sekolah negeri dan swasta mulai jenjang SD sampai dengan SMA/SMK yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Untuk sekolah negeri, mereka ditunjuk oleh pemerintah pusat melalui BBPMP Jawa Timur untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif ini. Ada juga sekolah swasta yang memang secara mandiri melaksanakan pendidikan inkusif ini karena panggilan kemanusiaan.
Maka, sebenarnya ketika pemerintah pusat sudah meulai menggaungkan program sekolah inklusif ini, pemerintah derah, selayaknya memberian support nyata sehingga program yang diusung pemerintah pusat bisa terlaksana dengan baik. Pemerintah (daerah) dalam konteks ini perlu ‘hadir’ untuk anak-anak kita yang berkebutuhan khusus.
Fenomena minimnya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan inklusif mungkin tidak hanya di Sumenep. Saya masih meyakini, bahwa fenomena ini berskala nasional, karena persoalan pendidikan inklusif ini tidak dianggap sebagai isu yang ‘seksi’ sehingga kurang mendapat perhatian.
Bagi saya, data ini cukup memprihatinkan. Namun, secara pribadi, saya tetap optimis, bahwa ke depan akan banyak sekolah yang secara madiri akan melaksanakan program pendidikan inklusif ini. Yang jelas, bukan sekadar pendidikan inklusif yang hanya ‘simbolik’, melainkan pendidikan yang berangkat dari nurani dan rasa kemanusiaan yang tidak diskriminatif untuk kesetaraan dan keadilan bagi semua. Semoga!
*Dosen Pascasarjana Institut Kariman Widayudha (INKADHA) Sumenep