Oleh Nur Khalis
(Jurnalis Sumenep)
Sering-seringlah ngampung, datang ke kampung-kampung. Di sana, hidup hanya soal tertawa sambil menunggu mati. Kesederhaan, penerimaan, dan meyakini takdir Tuhan adalah laku keseharian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Banyak sekali orang-orang kampung yang saya hormati. Sebab, secara pribadi, mereka menginspirasi. Hingga kini, mereka seringkali hadir sebagai komtemplasi diri. Sekali waktu, laju hidup yang sering acak-acakan, harus sejenak ditahan dan dicerahkan.
Orang-orang kampung, jarang sekali dihardik ketergesaan. Sebab kesederhaan menjadi kuncinya. Di kampung saya, misalnya, banyak yang tidak ingin muluk-muluk. Mereka selalu berusaha menerima, meskipun sebagai korbannya. Misalnya korban dari kebijakan pemimpinnya.
Orang-orang kampung juga mengenal lelah. Bukan sekedar mental health. Namun angin yang selalu membawa dingin, senyum, dan percakapan-percakapan tanpa beban, menyembuhkan mereka secara perlahan.
Matahari di kampung selalu lebih indah. Hangatnya disambut lambai daun, langkah-langkah kaki di pematang, dan ibu-ibu cantik yang menyapu halaman. Matahari datang dengan suka rela, dan warga kampung selalu menyambutnya dengan lapang dada.
Orang-orang kampung tidak memgerti dengan frasa kerasnya kehidupan. Sebab, bagi mereka, hidup hanyalah soal mensyukuri, menikmati dan mengulang kembali jika tidak dicegat oleh kematian. Sesederhana itu.
Terakhir, ngampunglah selagi mampu. Di kampung, hidup bukan selalu tentang ketercapaian. Lebuh dari itu, ngampung adalah upaya untuk mengasah kerelaan. Salam awam saja.