Peraturan Presiden (Perpres) No. 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria merupakan realisasi janji politik Presiden Joko Widodo pada periode pertamanya. Namun perihal keberpihakannya sangat jelas, siapa lagi bila bukan korporasi. Reforma Agraria ala Joko Widodo menambah panjang masalah pembangunan agraria nasional di Indonesia.
Salah satu masalah yang ditimbulkan oleh Reforma Agraria (Perpres No. 86/2018) adalah pembentukan pasar tanah di Indonesia. Munculnya pembentukan pasar tanah di Indonesia mempersempit (bahkan tidak tersedia) kesempatan masyarakat marginal (seperti: petani tunakisma) dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi.
Meskipun Presiden Joko Widodo menggalakkan sertifikasi tanah melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap, tidak serta merta memberikan jaminan terwujudnya kesejahteraan ekonomi untuk masyarakat marjinal. Sebab pendekatan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo adalah pendekatan yuridis. Sedangkan masyarakat marjinal membutuhkan pendekatan yang lebih nyata dari hanya sekedar pemberian sertifikat tanah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Latar belakang lahirnya pembahasan Pasar tanah di Indonesia (Bachriadi 2019: 14) berangkat dari konsepsi “tanah sebagai komoditas”. Konsepsi tersebut berangkat dari pandangan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (Orde Baru), Soni Hartono, yaitu “dengan kedudukan tanah sebagai komoditas strategis maka menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan tanah yang sesuai dengan setiap sektor pembangunan agar dapat mendorong investasi seluas-luasnya dan sebesar-besarnya dalam rangka mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 7% per tahun…”.
Perpres No. 86/2018 Tentang Reforma Agraria mempermulus proyeksi pemerintah Orde Baru dalam menjadikan tanah sebagai komoditas. Tentunya hal ini menambah panjang permasalahan agraria di Indonesia, bahkan semakin mempermulus proses eksploitasi tanah di Indonesia untuk kepentingan investasi korporasi-korporasi besar.
Reforma Agraria dan World Bank
Dianto Bachriadi (2019: 1-11) menjelaskan tentang keterkaitan World Bank dan Reforma Agraria ala Joko Widodo. Kemunculan World Bank di Indonesia sudah dimulai semenjak periode awal Orde Baru berkuasa di Indonesia. Pada masa rezim Joko Widodo periode pertama, World Bank menyambut baik program Reforma Agraria dengan bentuk memberikan pinjaman dana sebesar 2, 83 Triliun.
World Bank dalam sejarah pendukungannya terhadap program Reforma Agraria, tidak pernah berkonsentrasi dalam merombak ulang penguasaan tanah di suatu negara. Seperti halnya memaksa negara peminjam untuk melakukan kebijakan pelarangan penguasaan tanah secara berlebih. Justru yang didorong oleh World Bank terhadap negara peminjam adalah sertifikasi dan formulasi hak atas tanah dalam menciptakan pasar tanah di negara peminjam. Untuk itu, World Bank semenjak awal tahun 80-an sangat gencar dalam memberikan pinjaman terhadap berbagai proyek yang berkaitan dengan administrasi pertanahan agar sejalan dengan kepentingan investasi global.
Reforma Agraria pada rezim Joko Widodo memberikan fokus utama terhadap sertifikasi tanah dan legalisai aset yang sejalan dengan kepentingan World Bank. Hal tersebut diupayakan dalam rangka menciptakan iklim ramah terhadap investasi swasta seluas-luasnya, dan menjadikan kepemilikan hak atas tanah (sertifikasi tanah) lebih mudah untuk dialihkan dan dijadikan jaminan kredit perbankan. Hal tersebut diejawantahkan dalam pelaksanaan distribusi tanah (yang merupakan bagian dari program Reforma Agraria).
Dengan fakta yang demikian, maka cukup amat jelas bahwa Reforma Agraria yang dipandu oleh rezim Joko Widodo melalui Perpres No. 86 Tahun 2018 adalah kepentingan World Bank dalam membentuk pasar tanah di Indonesia. Rezim Jokowi dalam naungan World Bank menjelma serupa monster dalam mimpi buruk masyarakat. Tentunya hal ini amat jauh dari cita-cita Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria (UUPA), yang hendak menciptakan bangunan agraria yang berkeadilan. “adil-makmur berdasarkan pancasila”.
Pasar Tanan dan Pemiskinan
Dengan sertifikasi tanah, investor asing justru lepas tangan apabila terjadi upaya dari masyarakat sipil dalam mempertahankan tanahnya (konflik agraria). Investor justru menggunakan kekuatan negara (termasuk polisi dan militer) dalam memaksa masyarakat untuk meninggalkan tanahnya sendiri. Maka tidak heran, pasca pemberlakukan Perpres No. 86/2018 Tentang Reforma Agraria dan Inpres No. 2/2018 Tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap terjadi peningkatan konflik agraria (Polisi/Militer vs Masyarakat).
Sepanjang 2020 saja, Konsorsium Pembaruan Agraria/KPA (2020) melaporkan perihal meluasnya konflik agraria yang telah mencapai angka 241 Kasus. Artinya, secara logis dan empiris Reforma Agraria yang dibangun oleh rezim Joko Widodo sama sekali tidak memberikan implikasi positif terhadap kehidupan masyarakat. Alih-alih masyarakat akan mendapatkan kepastian hukum melalui pendaftaran dan sertifikasi tanah, justru yang terjadi adalah pemiskinan masyarakat secara struktural.
Cara kerja pasar tanah di Indonesia adalah dengan formulasi hak dan sertifikasi tanah. Tanah dapat menjadi barang yang mudah untuk dialihkan. Dan yang tak kalah pentingnya adalah sertifikat tanah dapat digunakan sebagai jaminan kredit di bank. Semakin banyak sertifikat tanah yang dimiliki oleh masyarakat miskin maka semakin besar peluang bisnis perbankan dalam menggerakkan roda bisnisnya (Bachriadi 2019: 8). Pemiskinan terhadap masyarakat miskin adalah inti kerja dari Reforma Agraria yang dipandu oleh Rezim Joko Widodo dan mitranya World Bank.
Reforma atau Pseudo Reform Agraria?
Tanah sebagai komoditas, pendaftaran dan sertifikasi tanah (sebagai media kredit perbankan), dan Reforma Agraria yang dibiayai oleh hutang adalah sederet ketidak-seriusan rezim Joko Widodo dalam mengupayakan Reforma Agraria menurut UUPA. Adil-makmur berdasarkan Pancasila adalah tujuan akhir pembangunan agraria nasional di Indonesia. Namun bila pembangunan agraria di Indonesia hanya dimaknai sebatas “ramah terhadap investasi”, hal tersebut adalah kecelakaan peradaban.
Dengan tegas, berdasarkan alasan yang logis dan empiris bahwa Reforma Agraria di bawah Rezim Joko Widodo adalah Pseudo Reform (reforma palsu). Telah terang dimuka bahwa pada rezim Joko Widodo Reforma Agraria seperti amanat UUPA jelas tidak ada, sejarah akan terus mengingat kegagalan tersebut. -a luta continua-