Judul : Geni Jora
Penulis : Abidah El-Khaliqy
Penerbit : Araska Publisher
Cetakan : November, 2019
Tebal : 299 halaman
ISBN : 978-623-7145-11-0
Budaya patriarki selalu menemani setiap perjalanan perempuan dalam kehidupan kesehariannya. Posisi dan peran yang berbeda membuat dirinya seringkali direndahkan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan perempuan mendapatkan tantangan cukup serius di tengah kepungan budaya patriarki yang mengakar. Salah satunya dikisahkan di dalam novel ini yang penuh dengan perlawanan perempuan dalam memperjuangkan hak dan kebebasannya terhadap laki-laki.
Tokoh perempuan di dalam novel ini bernama Kejora seorang perempuan cerdas, kritis, dan cantik yang berusaha memberontak kultur patriarki yang mendiskriminasi perempuan. Salah satunya terpotret dalam percakapan singkat dengan kekasihnya, Zakky Hedouri bahwa perempuan juga berhak merdeka perasaannya untuk berburu laki laki. Seperti salah satu perkataannya di dalam buku ini, “Tapi sekarang sudah orde cyber. Jadi tak perlu heran, jika laki-laki senang berburu, tak ada salahnya perempuan juga menyenangi hal yang sama.” (hal. 14). Bagi Kejora perempuan tidak layak dibohongi dan bukan objek dari kebohongan. Menipu perempuan sama dengan menipu diri sendiri, dan menipu lebih separuh penduduk bumi. Daya rusaknya tak tertahankan.
Dalam setiap percakapan yang ada di dalam buku ini merupakan suara kegelisahan dan penentangan dari perempuan yang tidak boleh dianggap remeh oleh siapapun. Salah satunya sebagaimana yang dinyatakan oleh Kejora bahwa kecantikan adalah anugerah. Namun, kecerdasan dan keshalehan ia lebih dari sekedar anugerah. Kesalehan bisa membentuk kecantikan. Sebaliknya kecantikan tidak mampu menghadirkan keshalehan. Alih-alih, ia malah menjauhkan kesalehan. Demikian hanya kecerdasan (hal. 23). Nada-nada pemberontakan seperti ini seringkali dilontarkan oleh Kejora di hadapan Zakky seakan tak mau kalah.
Kesalehan bisa membentuk kecantikan. Sebaliknya kecantikan tidak mampu menghadirkan keshaleha
Novel ini menggambarkan cerita romantisme antara Kejora dengan Zakky. Pasangan ini sama-sama menguji cintanya dengan membuat cemburu salah satu pasangan dengan berdekatan atau bahkan pacaran dengan orang lain. Walalupun, pada akhirnya kedua pasangan ini bisa menyatu dalam satu ikatan khitbah yang sah meski Kejora beberapa kali berontak agar dirinya juga merasa merdeka. Ia mengungkapkan penolakan dan pemberontakan dengan nada-nada sindiran terhadap Zakky. Karena diketahui sosok Zakky memang pribadi yang playboy.
Dari hal inilah, kecenderungan untuk selingkuh sama-sama bisa terjadi di antara pasangan perempuan dan laki laki. Tentu ini akan menjadi satu kemerdekaan bagi perempuan jika laki-laki tidak berani setia terhadap perempuannya. Begitupun juga perempuan. Karenanya, Kejora sebenarnya tidak terima dengan sikap Zakky yang jelas di mata kepalanya sebagai sosok yang mengumbar kedekatan hubungannya dengan perempuan lain bahkan teman dekatnya sendiri. Selain itu, Kejora juga trauma dengan apa yang dilakukan oleh Paman Hasan terhadap Lola, bahwa semua laki laki itu ternyata bejat.
Akhirnya Kejora berhasil menerima Zakky karena dibujuk oleh Lola bahwa masing masing laki memiliki karakternya sendiri yang khas. Jika seorang perempuan sudah mantap menentukan pilihan kepada seorang laki laki, harusnya juga bertanggungjawab dengan bersedia semua kekurangan dan kelebihannya. Jangan sedikit-sedikit cemburu, marah, sehingga tidak bisa menemukan sikap kedewasaaan (hal. 291). Sikap ini tentu tidak hanya berlaku terhadap perempuan saja, tetapi juga laki laki. Novel ini seakan membuka cakrawala perlawanan perempuan yang dimainkan dan diperlakukan secara semena-mena oleh laki laki.
Selain itu, di dalam novel ini ada pandangan yang cukup kritis ketika Kejora melihat kehidupan pesantren yang hanya dijadikan sebagai tempat pelarian orang para orang tua yang tidak bertanggungjawab dalam mendidik anaknya. Pesantren yang semestinya dijadikan sebagai tempat sakral untuk menuntut ilmu, justru menjadi tempat rehabilitasi, pelarian masalah, termasuk juga bagaiamana kenakalan santri dalam mempraktikkan pencurian, korupsi dan lainnya. Padahal menurut Kejora, seharusnya pesantren lebih selektif dan berhati-hati, terutama terhadap santri baru yang pernah mengenyam pendidikan sekolah lanjutan, sebelum mereka masuk pesantren (hal. 76).
Selain kaya dengan beragam konflik gender dan kesetaraan, pemberontakan atas hak-hak perempuan yang dimainkan oleh sistem dan tradisi, novel ini juga memperkaya wawasan pembaca dalam menggambarkan tempat atau kota dengan sejarahnya yang sangat khas dan kental. Salah satunya disebutkan di dalam buku negara Maroko, satu negeri Muslim di dunia yang kaya akan sejarah dan budaya komunitas Yahudi. Ada juga kota Damaskus, Yordania, dan kota Yogyakarta yang dilukiskan dengan detail di dalam buku ini. Menyelami buku ini seakan mengajak pembaca untuk hanyut pada imajinasi kota yang penuh dengan romantisme pasangan dalam sebuah perdebatan cinta.(*)
Penulis lepas, lahir di Grujugan Gapura Sumenep Madura,
07 Maret 1997. Mahasiswa Pascasarjana Studi Pendidikan Kepesantrenan, Instika,Guluk-Guluk Sumenep Madura.