Oleh Lailur Rahman*
Bubarnya Jamaah Islamiyah (JI) menandai babak baru dalam sejarah radikalisme di Indonesia. Namun, meskipun organisasi tersebut resmi dibubarkan, dampak dari ideologi yang telah mengakar kuat di dalam tubuh JI tidak dapat dihapus begitu saja. Jadi, dengan demikian, perjuangan melawan radikalisme belum usai, bahkan mungkin akan semakin berkembang.
Jamaah Islamiyah, yang dikenal sebagai salah satu organisasi teroris paling berbahaya di Indonesia dan juga di Asia Tenggara, dan telah lama menjadi ancaman serius bagi keamanan nasional Indonesia. Sejak didirikan pada akhir 1990-an, JI terlibat dalam berbagai aksi terorisme, termasuk bom Bali pada tahun 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu, bisa dikatakan pembubaran JI tidak serta merta menghapus keyakinan radikal yang telah tertanam di benak para anggotanya. Ideologi yang mereka anut masih berpotensi untuk terus berkembang dan menyebar, meskipun organisasi induknya bubar.
Anggapan atau argumentasi ini sejalan dengan pandangan bahwa radikalisme tidak hanya soal struktur organisasi, tetapi juga soal keyakinan dan ideologi yang dianut oleh individu. Bahkan tanpa wadah formal, para mantan anggota JI masih bisa beroperasi secara independen atau bergabung dengan kelompok radikal lainnya yang sejalan dengan mereka.
Terlebih, ada indikasi bahwa pembubaran JI bukanlah semata-mata bentuk tobat ideologis, melainkan bagian dari strategi yang lebih besar untuk menyelamatkan aset-aset mereka. Seperti aset pesantren dan sekolah yang terafiliasi dengan JI yang sering kali menjadi pusat pendidikan dan rekrutmen bagi generasi muda yang kemudian menjadi kader militan.
Dengan membubarkan organisasi, JI mungkin berharap dapat menghindari penyitaan aset-aset ini oleh negara, yang sangat mungkin dilakukan pemerintah jika JI tak membubarkan diri. Langkah ini tampaknya dirancang untuk memastikan bahwa pesantren dan sekolah tersebut tetap beroperasi, sehingga ideologi JI dapat terus ditanamkan kepada para siswa.
Upaya JI untuk menyelamatkan aset-aset ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan para pengamat keamanan. Bahwa selama pesantren dan sekolah yang terafiliasi dengan JI tetap berfungsi, ideologi radikal akan terus disebarkan kepada generasi muda.
Dengan demikian, berarti meskipun JI sebagai organisasi formal telah bubar, ancaman dari ideologi radikal yang mereka anut masih tetap ada dan bahkan akan tetap terus berkembang. Bahkan, dalam beberapa kasus, bisa jadi ideologi ini akan semakin mengakar kuat karena dilakukan dalam wadah yang lebih tersembunyi dan sulit terdeteksi oleh negara.
Sebagai contoh, beberapa pesantren yang terafiliasi dengan JI dilaporkan tetap beroperasi meskipun organisasi induknya telah dibubarkan.
Pesantren-pesantren ini terus mengajarkan kurikulum yang mencerminkan pandangan dunia radikal, mengindoktrinasi siswa dengan ajaran yang mengarah pada pemahaman ekstrem tentang jihad dan perlawanan terhadap negara.
Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan generasi baru yang lebih sulit untuk ditanggulangi karena mereka telah dibentuk sejak usia dini dengan keyakinan yang ekstrem.
Dengan demikian, bubarnya JI bisa dikatakan justru menimbulkan tantangan baru bagi pemerintah dan masyarakat dalam memerangi radikalisme. Dalam situasi ini, pendekatan yang hanya mengandalkan upaya penegakan hukum tidak akan cukup. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang lebih komprehensif, termasuk program deradikalisasi yang efektif dan pencegahan berbasis pada pendidikan dan pemberdayaan masyarakat yang komprehensif.
Dan, pada saat bersamaan, pemerintah juga harus bersikap tegas dalam menangani lembaga dan pesantren yang terafiliasi dengan Ji. Jika ada bukti bahwa pesantren atau sekolah tertentu terlibat dalam penyebaran ideologi radikal, maka tindakan hukum harus diambil untuk menghentikan operasional mereka. Namun, ini harus dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana, untuk memastikan bahwa langkah-langkah tersebut tidak melanggar hak asasi manusia.
Bubarnya JI mungkin menjadi titik akhir dari satu episode dalam perjuangan melawan terorisme, tetapi itu bukanlah akhir dari perang melawan radikalisme. Sebaliknya, ini adalah awal dari babak baru yang menuntut kewaspadaan, kerjasama, dan komitmen yang lebih kuat dari semua pihak untuk memastikan bahwa ideologi radikal tidak lagi dapat berkembang.
*) Guru Pendidikan Kewarganegaraan SMK Diponegoro Yogyakarta