Sarapan bagi orang Indonesia termasuk hal yang diprioritaskan sebelum beraktivitas. Karena budaya makan orang Indonesia umumnya tiga kali sehari: pagi, siang, dan malam. Tak heran bila Indonesia kaya akan khazanah hidangan pagi hari. Di banyak daerah ditemukan menu-menu sarapan yang khas.
Sebut saja bubur ayam (ada di banyak daerah), bubur gudeg (Magelang), ketupat sayur (Betawi), bubur kampiun (Sumatera Barat), colenak (Bandung), uli bakar (Lembang, Bandung), dadar lalampa (Minahasa), getuk pecel (Kebumen), nasi ponggol (Tegal), sega pager (Grobogan, Jawa Tengah), dan banyak lagi.
Di antara ragam kuliner pagi hari, Kudus—yang populer sebagai kota Kretek—menyumbang menu sarapan khas yang turut mewarnai khazanah kuliner tradisional Indonesia. Nama menu sarapan itu adalah lentog tanjung. Lentog atau lenthog berarti lontong. Adapun tanjung diambil dari nama kampung tempat kuliner lentog tanjung berasal, yaitu Desa Tanjungkarang, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Lentog tanjung bercita rasa gurih. Lentog yang dipotong kecil-kecil, disajikan dengan sayur gori (nangka muda) dan lodeh tahu, serta dilengkapi dengan sambal merah khas lentog tanjung, dan taburan bawang goreng. Paduan ini mencetuskan cita rasa gurih yang khas. Banyak masyarakat Kudus dan luar Kudus yang menyukai lentog tanjung sebagai pilihan menu sarapan.
Banyak warga Kudus yang tinggal di luar kota selalu merindukan kuliner ini. Bila mudik atau pulang ke Kudus, banyak yang menjadikannya sebagai momentum “melepas rindu” pada kelezatan lentog tanjung. Bagi orang luar Kudus, tak lengkap rasanya bila berada di Kudus pagi hari, tidak berburu lentong tanjung sebagai menu sarapan.
Salah satu penyuka menu lentog tanjung adalah Michael Bambang Hartono, salah satu orang terkaya di Indonesia. Sebagaimana dilansir CNBC Indonesia (16/9/2018), Bambang Hartono mengaku lentog tanjung sebagai menu favoritnya saat berada di Kudus. Bambang Hartono menyukai menyantap lentog tanjung pedas-pedas. Ia mengaku, setiap menyantap lentog tanjung, menghabiskan setidaknya 10 buah cabai.
Bagi penyuka pedas, lembutnya potongan lentog yang dipadu dengan gurihnya sayur gori dan lodeh tahu, semakin nikmat bila sembari menceplus cabai untuk mendapatkan cita rasa lebih pedas. Di setiap warung lentog tanjung, umumnya memang menyediakan cabai rawit rebus sebagai ceplusan, selain menyediakan pelengkap (lauk) lainnya berupa aneka gorengan seperti bakwan, mendoan, juga aneka sate seperti sate usus dan sate telur puyuh.
Dalam soal tata saji, mesi tidak semua, hingga saat ini masih banyak warung yang menyajikan lentog tanjung dengan piring yang dilapisi daun pisang di atasnya. Sendoknya juga terbuat dari daun pisang yang lazim disebut suru. Pakem penyajian seperti itu juga umum dijumpai pada penyajian kuliner khas Kudus lainnya seperti pada nasi pindang. Penyajian seperti ini dapat meningkatkan selera dalam menikmati lentog tanjung.
Di Kudus, lentog tanjung dapat dijumpai setiap pagi mulai pukul 06.00 di warung-warung pinggir jalan di seantero Kudus. Bila ingin menjelajah rasa, bisa langsung njujug ke Pusat Lentog Tanjung yang berada di Desa Tanjungkarang. Di situ terdapat puluhan warung yang spesial menyediakan menu lentog tanjung, yang bisa dipilih dan dijelajahi cita rasanya, mana sekiranya yang paling enak.
Meski sudah populer, terutama dalam lingkup Kudus dan sekitarnya, lentog tanjung rupanya belum setenar kuliner khas Kudus lainnya seperti soto Kudus dan nasi pindang. Di banyak buku kuliner (resep masakan), lentog tanjung nyaris tak (pernah) disebut. Misalnya dalam buku 1010 Resep Asli Masakan Indonesia (Gramedia Pustaka Utama, 2008), tidak ada tercantum resep lentog tanjung.
Juga di buku Kitab Masakan Nusantara, Kumpulan Resep Pilihan dari Aceh Sampai Papua (Demodia, 2010), tak tercantum resep lentog tanjung. Begitu pun di buku karya Suryantini M. Ganie berjudul “Mahakarya Kuliner, 5000 Resep Makanan dan Minuman di Indonesia” (Gramedia Pustaka Utama, 2010) juga tak ada resep lentog tanjung.
Tidak dicantumkannya lentog tanjung ke dalam buku-buku resep masakan, barangkali karena lentog tanjung memang kuliner yang berkarakteristik lokal (terroir). Tidak seperti kuliner khas Kudus lainnya seperti soto Kudus dan nasi pindang yang ekspansif ke luar daerah, bahkan bisa dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta, sehingga reputasinya “diakui” di pentas nasional.
Namun di tingkat lokal, setidaknya tingkat regional, lentog tanjung sesungguhnya cukup diperhitungkan. Setidaknya Bondan Winarno dalam buku 100 Mak Nyus Jalur Mudik, Jalur Pantura dan Jalur Selatan Jawa (2018), memasukkan lentog tanjung ke dalam daftar 100 kuliner rekomendasi di jalur mudik. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa sebenarnya lentog tanjung juga diperhitungkan.
Riwayat lentog tanjung sendiri tak ada data valid yang bisa dirujuk, kecuali cerita tutur turun-temurun. Menurut cerita yang berkembang, lentog tanjung berkaitan erat masa awal penyebaran Islam di Kudus di masa awal Walisongo.
Alkisah, dulu, ada seorang wali (sebuah sumber menyebut nama Mbah Sukesi atau populer dengan nama Mbah Kulah) yang hendak membangun sebuah bangunan—semacam pesantren atau padepokan—di daerah Tanjungkarang. Di tengah proses pembangunan, sang wali mendengar suara “tog-tog-tog” seperti orang yang sedang menanak nasi. Karena terganggu oleh suara tersebut, sang wali pun berujar, “Rejaning zaman, wong daerah kene yen dodol sega ora payu”. Artinya, nanti orang daerah sini (Tanjungkarang), bila berjualan nasi tidak akan laku.
Dari ucapan sang wali tersebut, tersirat larangan berjualan nasi bagi warga desa Tanjungkarang. Sehingga untuk menyiasati, warga desa berkreasi mengganti nasi dengan lentog. Warga juga membuat sayur khusus sebagai pelengkap menyantapnya. Hal ini dilakukan sebagai penghormatan terhadap sang wali sekaligus dukungan untuk suksesnya penyebaran Islam di Kudus.
Kisah tersebut menjadi pegangan bagi warga desa Tanjungkarang. Sehingga mereka tidak berjualan nasi. Untuk warga asli desa Tanjungkarang, mayoritas berjualan lentog tanjung. Bila ditemukan warung nasi, penjualnya umumnya berasal dari luar daerah atau pendatang.
Adapun nama lentog, konon diambil dari bunyi “tog-tog-tog” yang mengganggu sang wali. Dari bunyi itu, nama lentog berasal. Selanjutnya, untuk membedakan dengan lontong, lentog dibuat besar-besar. Pelengkapnya juga dibuat berbeda. Bila lontong biasa dinikmati dengan opor ayam dan sambal goreng, maka lentog dibuatkan sayur khusus, yaitu sayur gori dan lodeh tahu.
Dalam perkembangannya, entah siapa yang membuat, nama lentog dibuat akronim “pulen dan montog”. Pulen artinya enak dan empuk, karena lentog memang teksturnya lembut sebagaimana lontong. Adapun montog atau montok artinya besar, gemuk; karena ukuran lentog dibuat lebih besar dari lontong pada umumnya. Ukuran lentog dibuat besar-besar sekira sebesar betis orang dewasa.
Pada awalnya lentog tanjung dijajakan jalan kaki berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya dengan pikulan. Namun, sekarang, sudah tidak ada lagi yang berjualan seperti itu. Melainkan berjualan di warung atau mangkal di pinggir jalan raya. Untuk mengenang sejarah awal lentog tanjung, saat ini di warung lentog tanjung hampir semua memajang pikulan walaupun sudah tidak dipikul.