Perempuan kerap kali dilabeli sebagai simbol prestise, kesucian, dan kehormatan. Menjadi aib apabila seorang perempuan mengalami kasus kekerasan seksual, seperti pemerkosaan. Banyak sekali korban kekerasan seksual yang bungkam. Salah satu penyebab utamanya ialah stigma dari masyarakat bahwa korban itu sendiri yang menjadi pemicu timbulnya kasus kekerasan seksual.
Respons negatif yang akan diberikan masyarakat inilah yang menurut saya membuat korban diam ketika mengalami sebuah kekerasan seksual. Saya meyakini bahwa banyak sekali kasus kekerasan seksual yang terjadi, di mana para korban atau penyintas hidup dalam diam dan pelaku tetap hidup bebas karena tidak adanya laporan yang dibuat.
Hal lain yang membuat korban tetap enggan melapor ialah karena belum terperincinya sistem hukum di Indonesia. Tidak jelasnya hukum dalam kasus kekerasan seksual maupun hukum yang melindungi korban. Tidak dijelaskan secara spesifik hukuman bagi pelaku kekerasan seksual di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun hanya berisi hukuman bagi kasus pencabulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari tahun ke tahun permasalahan kekerasan seksual di Indonesia kian mengalami peningkatan. Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) Tahun 2019 tercatat dari 3.062 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan komunitas, tercatat 58% di antaranya merupakan kekerasan seksual, yaitu pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus), dan pelecehan seksual (715 kasus). Sementara itu kasus persetubuhan sebanyak 176 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan dan persetubuhan.
Menonton serial Unbelievable (2019), merupakan Netflix Original Series yang menceritakan tentang bagaimana proses investigasi dari kasus asusila tanpa menampilkan konten seksual.
Berangkat dari kasus asusila yang dialami oleh remaja 18 tahun, Marie Adler (Kaitlyn Dever), diserang di dalam apartemennya sendiri di Washington oleh seorang pria berpenutup kepala tak dikenal.
Penyerangan yang dilakukan oleh sang pelaku pun cukup rapih. Tak meninggalkan jejak, sidik jari, DNA, atau apa pun yang dalam waktu beberapa jam akan mudah terlacak.
Atas kejadian yang ditimpanya, kemudian Marie Adler melaporkan kasus ini ke pihak berwajib. Sangat disayangkan kasus Marie Adler ini tidak ditangani dengan baik, ia hanya mendapatkan interogasi yang penuh tekanan dari pihak kepolisian terkait fase yang membingungkan dirinya.
Yakni perihal benar tidaknya kasus yang dialami Marie, segalanya tampak abu-abu baginya. Ia memasuki fase trauma berat. Maka dari itu Marie mencabut laporannya.
Seolah-olah tidak menerima pencabutan kasus yang sedang ditanganinya, Detektif Robert Parker (Eric Lange), berbalik menuntut Marie atas tuduhan membuat laporan palsu. Hal itu semakin membuat Marie tertekan. Lantaran teman-temannya juga mulai mengucilkan dan menjauhinya.
Setelah tiga tahun berselang, terjadi pemerkosaan berantai di kota Colorado yang berhasil mendapatkan perhatian lebih oleh dua detektif wanita, Detektif Karen Duvall (Merit Wever) dan Detektif Grace Ramussen (Toni Collette).
Rentetan kasus ini semakin menarik ketika akhirnya menuntun dua detektif tersebut ke dalam kasus pemerkosaan Marie Adler yang masih mengharapkan secercah keadilan.
Dihantui Rasa Trauma
Menonton serial Unbelievable memberikan bayangan yang nyata sekaligus menyedihkan tentang bagaimana kondisi lingkungan sosial mempunyai kedudukan besar terkait berhasil tidaknya seorang penyintas untuk melangkah keluar dari rasa trauma.
Lingkungan sosial penyintas dapat menjadi lebih jahat dari apa yang dilakukan pelaku terhadap para korbannya. Pelaku mungkin hanya melakukan perbuatan bejatnya terhadap penyintas hanya sekali, kemudan menghilang. Ketika berada di sekitar mereka, yang semestinya dapat penjadi pendengar dan tempat untuk bersandar, sebaliknya bisa jauh lebih abai.
Tak jarang penyintas akan mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Penyintas yang selamat dari pemerkosaan kerap kali merasakaan perasaan cemas, takut, stres, dan gugup. Mereka dapat terus menerus merasa dalam keadaan berbahaya dan menjalani kehidupan sehari-hari.
Marie sendiri merupakan remaja muda yang menjadi korban dan sedang terguncang perasaannya. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari setelah itu, Marie selalu merasa mengalami kejadian berulang. Seakan menghidupkan kembali peristiwa tersebut melalui kilas balik, mimpi atau pikiran yang mengganggu.
Kecenderungan Masyarakat Melakukan Victim Blaming
Pernahkah kalian mendengar perkataan “Salah sendiri kenapa pakai baju seksi”, atau “Memang kamu enggak tutup jendela kamar?”, atau “Kenapa kamu enggak melawan saat itu?”
Banyak orang mengatakan bahwa petanyaan-pertanyaan itu hal yang biasa. Namun, tanpa disadari hal itu merupakan victim blaming atau menyalahkan korban atas kejadian yang terjadi. Hal ini akan membuat para korban akan menyalahkan diri sendiri. Mereka mungkin akan meyakinkan diri sendiri karena telah melakukan hal yang salah.
Sikap menyalahkan korban meminggirkan korban / penyintas dan membuat lebih sulit untuk maju dan melaporkan pelecehan tersebut. Jika korban tahu bahwa masyarakat sekitar menyalahkan dia atas pelecehan tersebut, dia tidak akan merasa aman atau nyaman untuk maju dan berbicara.
Selain itu, korban dari kekerasan seksual sering kali merasa tidak aman untuk melaporkan tindakan kejahatan yang terjadi pada mereka, malahan mereka cenderung disalahkan oleh berbagai macam pihak, termasuk yang memiliki otoritas—polisi, pengacara, hakim, dan tenaga medis.
Sikap menyalahkan korban juga memperkuat apa yang telah dikatakan pelaku selama ini bahwa yang terjadi adalah kesalahan korban, dan bukan kesalahan atau tanggung jawab korban untuk memperbaiki situasi. Itu adalah pilihan pelaku. Dengan terlibat dalam sikap menyalahkan korban, masyarakat memungkinkan pelaku untuk melakukan pelecehan hubungan atau kekerasan seksual sambil menghindari pertanggung jawaban atas tindakannya.
Dalam episode pertama, kasus masih berfokus pada Marie Adler. Hingga pada episode kedua, tiga, empat, dan seterusnya mulai berkembang seiring bertambahnya kasus dan timbulnya rasa peka dan memulai invertigasi lebih dalam.
Lain hal dengan Amber, pada episode selanjutnya. Amber yang juga merupakan korban dari kasus asusila itu ditangani dengan sangat baik oleh Detektif Karen Duvall (Merrit Wever). Sebisa mungkin Detektif Duvall memperlakukan Amber dengan sangat sensitif dan manusiawi. Semua hal yang diutarakan penyintas didengarkan dan dicatat. Tidak seperti penanganan kasus Marie Adler.
Sutradara, Lisa Cholodenko, mengemas dengan rapi bagaimana kedua detektif itu mencoba untuk mengungkap kasus pemerkosaan berantai.
Mengurangi perilaku menyalahkan korban dapat dimulai dari pihak berwajib, karena sejatinya mereka adalah pihak yang diharapkan berlaku netral tanpa menghakimi korban dengan landasan nilai-nilai, serta menjadi tempat korban memperjuangkan keadilannya.