Oleh: Lufi Sabila
Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajemen sekolah yang akan turut menentukan berjalannya kegiatan pendidikan di sekolah. Seperti halnya yang lain, manajemen keuangan juga dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan, dan sebagainya. Kepala sekolah sangat berperan dalam hal ini, karena dalam pengelolaannya perlu memperdayakan sumber daya manusia secara tepat. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Dalam pembuatan anggaran pendidikan melibatkan penetuan pengeluaran ataupun pendapatan yang berkaitan dengan seluruh operasioanl sekolah. Namun tidak menutup kemungkinan terjadinya penyelewengan anggaran yang dilakukan pihak terkait yang tidak bertanggung jawab.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa manajemen keuangan di sekolah tak luput dari berbagai masalah, salah satunya adalah penyalahgunaan keuangan untuk memperkaya diri, atau sering kita kenal dengan korupsi. Hal ini sudah menjamur kemana-mana, baik instansi negeri maupun swasta, termasuk lembaga pendidikan. Hasil penelitian ICW (Indonesia Corruption Watch) membuktukan bahawa korupsi di ranah pendidikan ternyata sangat menjijikkan. Hal ini terletak pada hubungan sekolah dengan dinas pendidikan, dimana otonomi yang diwujudkan melalui program Manajemen Berbasis Sekolah, tidak benar-benar membuat sekolah otonom. Yang disayangkan adalah kurang tegasnya aparat penegak hukum, dikarenakan jumlah yang tergolong kecil, dibanding koruptor kakap yang sedang dalam penjaringan, katanya. Padahal korupsi di lembaga pendidikan akan sangat merugikan negeri dalam jangka Panjang, karena jika dianalogikan. Sepuluh teri sama dengan satu kakap.
Selain itu, pelaporan keuangan yang penuh manipulasi juga sangat menyeleweng dari prinsip manajemen keuangan yang ada. Menariknya, hal ini dilakukan oleh pihak sekolah dengan penuh rasa sadar. Sebagian beranggapan, kecurangan untuk kebaikan adalah hal baik, alias halal.
Sehingga, dengan santainya lembaga pendidikan membuat laporan palsu dengan kedok untuk kepentingan dan kebaikan bersama. Lalu, untuk apa peraturan dibuat? Ada anggapan bahwa pungutan yang dilakukan sekolah melalui komite kepada wali murid itu bukan uang negara, sehingga tidak perlu dimasukkan dalam APBD sebagai PNBP. Tentu saja hal ini sangat tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan UU RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 1 Ayat 1 dan Pasal 2 hurf (i), dimana keuangan negara adalah kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberukan pemerintah. Sekolah bersama komite memperoleh dana masyarakat dengan menggunakan fasilitas negara ataupun difasilitasi oleh pemerintah. Semestinya menjadi bagian dari keuangan negara yang mengikuti peraturan perundangan yang berlaku dan harus dilaporkan.
Pembelanjaan keuangan yang tidak tepat guna juga menjadi masalah yang sering ditemukan di lembaga pendidikan. Bukankah sekolah sudah menyusun rencana anggaran belanja setiap tahun? Seharusnya rencana tersebut dapat diaplikasikan, sehingga pembelanjaan yang tidak tepat guna dapat diminimalisir. Anggaran tak terduga adalah hal yang wajar, dan biasanya tidak dalam jumlah yang banyak, sehingga pengeluaran anggaran belanja semestinya tetap berpegang pada rencana yang telah dibuat. Dalam rencana anggaran biasanya masih bersifat umum, misal anggaran untuk membeli buku tidak disebutkan secara rinci dan pasti buku apa saja yang akan dibeli.
Sehingga manajer atau kepala sekolah ataupun keuangan yang mengelola harus arif dalam membelanjakannya. Tidak asal beli buku yang murah dengan jumlah banyak, apalagi buku dengan diskon kemudian diskon tersebut masuk kantong
* Mahasiswi INISNU Temanggung