Oleh Sujono
(Penulis lepas tinggal di Perum Satelit, Sumenep)
Sikap jumud (anti perubahan) akan membuat kita sulit menerima nasehat yang disampaikan dengan penuh kasih-sayang sekali pun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam keadaan seperti ini, “amar ma’ruf nahi munkar” bisa terhenti; karena yang tua tidak bisa mendengar suara yang muda. Jika yang muda memiliki sikap ta’dzim kepada yang tua, kebaikan Insya-Allah masih bertebaran di dalamnya.
Tetapi jika tidak segera disadari, situasi seperti ini dapat menyebabkan hilangnya sikap hormat dari yang muda kepada yang tua pada generasi berikutnya, yakni kelak ketika generasi ketiga memasuki masa dewasa, sementara generasi kedua menjalankan pola yang sama seperti yang pernah mereka jumpai.
Mereka menjalankan pola yang sama, tetapi dengan penghayatan yang rendah. Pada titik ini, generasi ketiga bisa berbalik menjadi berlebihan dalam menerima apapun yang datang dari luar, bahkan yang nyata-nyata bertentangan dengan nash Kitabullah.
Alhasil…
Generasi ketiga justru menjadi perusak perjuangan generasi pertama. Na’udzubillahi min dzalik…
Apa yang salah sebenarnya? Banyak sebab. Salah satunya adalah karena kita terjebak pada bentuk, lupa kepada prinsip. Atau sebaliknya, menyibukkan diri dengan prinsip, tetapi mengabaikan bentuk.
Kita tidak belajar secara utuh atas generasi terdahulu, sehingga lupa menyiapkan anak-anak memasuki masa depan.
Kita sibuk menjadi manusia masa lalu dan memaksa anak-anak untuk menjadi manusia masa lalu. Padahal Ali bin Abi Thalib Ra, telah mengingatkan;
“Jangan paksakan anakmu untuk menjadi seperti kamu, karena dia diciptakan bukan untuk zaman-mu.”
Di antara bentuk-bentuk pemaksaan adalah hilangnya kesediaan kita memahami anak-anak. Kita lupa bahwa sekali pun prinsip-prinsip yang berjalan pada suatu zaman selalu sama, tapi bentuknya bisa berubah. Kalau tidak disiapkan untuk menghadapi bentuk tantangan yang sesuai dengan zamannya, mereka bisa gagap mengantisipasi perubahan.
Akibat berikutnya bisa tragis; mereka menjadi manusia kolot yang tidak memahami prinsip dengan baik dan tidak mampu memetakan bentuk persoalan yang sedang terjadi.
Mereka tidak bisa membedakan mana yang tetap dan mana yang berubah. Mana yang pasti dan mana yang praduga.
Di antara sebab-sebab tidak munculnya generasi yang tanggap terhadap perubahan zaman, tanpa hanyut di dalamnya, adalah tidak sejalannya dakwah dengan pendidikan dan penyiapan generasi.
Dakwah berjalan tanpa perencanaan yang matang sehingga kehilangan visi dan kepekaan.
Pendidikan berjalan tanpa arah yang jelas dan “ruh” yang kuat, sehingga mudah terpengaruh oleh tepuk-tangan atau pujian orang-orang yang tulus, maupun mereka yang “Menikam Secara Halus” dengan memuji.
Kita mendidik anak-anak untuk kita lihat hasilnya hari ini. Bukan untuk mempersiapkan mereka menantang masa depan seperti wasiat Sayyidina Ali.
Akibatnya…
Gemerlapnya prestasi hari ini, tidak memberi bekal apa-apa bagi mereka untuk menciptakan masa depan.
Sebaliknya…
Mereka menjadi orang yang hanya menyongsong masa depan atau bahkan digilas oleh masa depan.
Maka tak heran ketika banyak anak semasa sekolah atau kuliah rajin puasa Senin-Kamis, tetapi ketika harus bertarung dengan kesulitan hidup, yang kemudian Senin-Kamis adalah iman-nya. Kadang ada, kadan Kg nyaris tak tersisa. Wallahu a’lam…