Oleh Abd. Kadir
(Pembina Komunitas Kata Bintang)
Tadi pagi saya membaca sebuah cerpen di media cetak berjudul “Guru yang Kehilangan Dirinya”. Bagi saya, membaca judulnya saja seolah memprovokasi saya untuk tahu lebih dalam tentang cerpen itu. Ternyata memang isinya sangat miris. Ada pertarungan “psikologis” dalam diri seorang guru yang mengajar sekolah dasar dalam kapasitasnya sebagai guru honorer. Ada pertarungan “pragmatis” antara guru dengan istrnya yang juga membutuhkan perhatian dan nafkah untuk kelangsungan hidup keluarga. Idealisme sang guru untuk mencatak anak bangsa tidak berbanding lurus dengan bayarannya sebagai guru honorer yang harus menghidupi keluarga kecilnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Inilah rupanya gap yang masih menganga dalam kehidupan nyata seorang guru. Das sollen yang ada dalam imajinasi normatif guru ternyata berbanding terbalik dengan das sein dlaam fenomena nyata yang dialami guru. Meskipun ini mungkin tidak berlaku bagi semua guru, karena saat ini sudah banyak juga guru yang bersertifikasi, tetapi, setidaknya, reaitas ini masih menjadi PR besar bangsa ini terhadap pemenuhan hak-hak kesejahteraan guru.
Di satu sisi, guru adalah “makhluk” yang dituntut untuk perfek. Mereka adalah panutan yang digugu dan ditiru. “Digugu” yang berarti “diyakini” atau “dipercaya”, mengandung makna bahwa seorang guru harus memiliki pengetahuan dan kearifan yang diakui dan dipercaya oleh muridnya. “Ditiru” yang berarti “diikuti” atau “dicontoh”, menggambarkan bahwa sikap, tindakan, dan perilaku seorang guru menjadi contoh bagi muridnya untuk ditiru dan dijadikan teladan.
Pepatah ini menekankan bahwa seorang guru bukan hanya bertanggung jawab dalam menyampaikan ilmu, tetapi juga harus menjadi teladan dalam perilaku, karakter, dan moral. Sebagai pendidik, seorang guru harus dapat menunjukkan sikap yang baik dan positif, karena murid sering kali akan meniru apa yang dilakukan oleh gurunya. Oleh karena itu, seorang guru harus berperilaku dengan bijaksana dan menjadi contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Intinya, pepatah ini mengajarkan kita bahwa seorang guru memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk karakter dan pola pikir muridnya, dan karena itu, murid akan mengandalkan serta mencontoh tindakan dan perilaku gurunya dalam kehidupan mereka.
Di sisi lain, bahwa kesejahteraan mereka, khususnya para guru honorer, masih berada di “tubir jurang”. Peran besar mereka (para guru) masih berbanding terbalik dengan realitas kesejahteraan sebagian besar mereka.
Hari ini kita dihadapkan dengan sebuah situasi baru dengan pergantian kepemimpinan nasional yang juga menghadirkan menteri pendidikan yang baru. Serba-serbi guru dengan segala fenomenanya kiranya akan menjadi fokus tersendiri bagi Pak Menteri. Artinya, ada ketergantungan nasib dan kesejahteraan para guru pada kebijakan dan keputusan yang diambil oleh pemimpin baru, baik itu pemimpin dalam ranah pemerintah, pendidikan, atau bahkan dalam konteks yang lebih luas seperti pemimpin politik. Harapan kita semua bahwa realitas perubahan kepemimpinan akan membawa perubahan dalam kebijakan, yang dapat memengaruhi kondisi profesi guru secara langsung, mulai dari penggajian, kesejahteraan, hingga cara mereka diperlakukan di lingkungan kerja.
Kita berharap guru-guru kita menjadi manusia-manusia yang “hebat”, sehingga mampu membangun Indonesia yang “kuat”. Selamat Hari Guru!