Oleh Farisi Aris*)
”Iya itu sudah pertimbangan yang baik, saya sudah sholat tadi malam, semuanya sudah sholat istikharah.”
Kutipan di atas adalah tanggapan Prof. Al Makin saat ditanya soal pembubaran PBAK UIN SUKA 2022 yang terjadi pada 20 Agustus kemarin.
Kutipan itu beredar luas di jejaring media WhatsApp. Bahkan, menjadi bahan kutipan utama di banyak kanal pemberitaan.
Nyaris semua orang menertawakan penjelasan itu. Termasuk saya dan beberapa teman yang mendengarkannya pada waktu bersamaan.
Bukan tidak percaya shalat istikharah. Sebagai Muslim, kita berpegang teguh pada apa yang telah disyariatkan. Atau, dianjurkan agama.
Lalu, mengapa menertawakan?
Menurut Bryan S. Turner, agama memiliki tiga fungsi: 1) sebagai kontrol sosial; 2) sebagai perekat sosial; dan, 3) sebagai legitimasi politik.
Alih-alih menjadikan agama sebagai perekat sosial, justru Prof. Al Makin menjadikan agama sebagai kontrol dan legitimasi politik untuk menyelamatkan dirinya.
Agama dijadikan sebagai pembenar atas ketakuasaannya mengendalikan gejolak sosial. Karena itu, semuanya menjadi lucu.
Ia adalah guru besar. Tak main-main, guru besar bidang filsafat. Salah satu bidang studi yang tak terpisahkan dari logika dan rasionalitas.
Menjadikan agama sebagai pusat legitimasi atas kesalahan yang kita lakukan adalah pembodohan. Bahkan, bisa dikatakan pula sebagai penyesatan.
Sebagai sosok pembelajar filsafat, seharusnya ia memberi contoh cara berargumen yang baik, yang benar, yang rasional, dan yang dapat diterima oleh akal sehat. Bukan menggunakan legitimasi agama.
Menjadikan agama sebagai pusat legitimasi atas kesalahan yang kita lakukan adalah pembodohan. Bahkan, bisa dikatakan pula sebagai penyesatan.
Bukannya mengantarkan masyarakat pada keparipurnaan kehidupan, menjadikan agama sebagai legitimasi atau pembenar akan menjerumuskan masyarakat pada jurang kemunduran. Alih-alih maju.
Oleh sebab itu, apa yang dilakukan Prof. Al Makin jelas sangat tidak mencerminkan budaya akademik. Dalil yang diajukannya, lebih dekat pada masyarakat yang mabuk agama tinimbang sebagai insan akademik.
Bukannya memberikan klarifikasi logis atas tindakannya yang tidak etis, dengan menjadikan agama sebagai tameng, Prof. Al Makin justru menciptakan kondisi baru yang semakin kabur dan paradoksal.
Prof. Al Makin adalah rektor. Ia candradimuka. Jika demikian, mau jadi apa kampus yang dikelolanya.
Kampus adalah penjaga akal sehat yang kita punya. Keberadaannya, seharusnya menjadi contoh bagaimana mengelola kehidupan demokrasi.
Prof. Al Makin juga guru besar. Ia punya tanggung jawab moral untuk mengawal kehidupan publik pada arah yang lebih cerdas, bukannya menggiringnya pada lubang hitam.
“Guru besar harus berotak besar,” (Rocky Gerung).
*) Farisi Aris, penulis lepas, mukim di Yogyakarta