Oleh Hairullah
(Ketua IKA PMII Sumenep)
Dalam Pilkada Sumenep 2024, ada kemungkinan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) kembali mengulang sejarah yang pernah terjadi di Pilkada 2015: bersatu memperjuangkan kursi bupati dan wakil bupati.
Kala itu, KH. Busyro Karim (calon bupati Sumenep 2015 – 2020 dari PKB), secara mantap dan meyakinkan menggandeng Ahmad Fauzi (dari PDI-P) sebagai calon wakil bupati untuk berkontestasi dalam Pilkada.
Secara elektoral, pilihan itu (kala itu) memang langkah penting (namun bukan yang terbaik) yang harus diambil oleh KH. Busyro sebagai syarat untuk memenangkan Pilkada 2015. Sebab, hanya bersatunya PKB-PDI-P-lah yang kala itu memberi jalan terang menuju kemenangan mutlak.
Dan, terbukti, kala itu, pasangan KH. A. Busyro Karim – Achmad Fauzi mengungguli pasangan calon Zainal Abidin-Dewi Khalifah (ZAEVA).
Paslon Busyro-Fauzi yang diusung PKB-PDI-P dan serta NasDem, berhasil meraup 301.887 suara. Sedangkan pasangan calon ZAEVA yang diusung delapan (8) partai politik hanya mampu mendapatkan 291.779 suara. Pasangan Busyro-Fauzi unggul 10.108 suara.
Untung dalam jangka pendek, buntung dalam jangka panjang
Jika kita mengacu pada hasil Pilkada 2015, kerjasama PDI-P dan PKB memanglah menguntungkan. Dan juga menarik untuk diulang kembali dalam Pilkada Sumenep 2024. Yang bisa dipastikan, juga akan memberi jalan terang kemenangan bagi kedua partai.
Namun begitu, jika kita cermati lebih lanjut, kerjasama antara PDI-P dan PKB itu hanya manis dalam jangka pendek. Namun buruk dalam jangka panjang bagi kedua belah partai.
Mengapa? Di Pilkada Sumenep 2024, jika kerjasama PDI-P dan PKB benar-benar kembali terjadi, bisa dipastikan kedua belah partai bakal memenangkan Pilkada Sumenep 2024 (keuntungan jangka pendek).
Namun, dalam jangka panjang, bisa dipastikan PDI-P bakal kehilangan sosok, setidaknya di Pilkada 2029 nanti. Persis seperti yang dialami PKB di Pilkada 2020: kehilangan sosok penerus dari barisan hijau. Jadi, jika di Pilkada 2020 lalu PKB yang kehilangan sosok, maka di 2029 nanti PDI-P juga harus bersiap akan kondisi serupa itu.
Sebab, jika di Pilkada 2024 keduanya bergabung, maka barang tentu kursi cawabup akan diberikan kepada PKB. Posisi yang sangat seksi untuk Pilkada 2029 nanti.
Mencegah calon tunggal
Di samping alasan elektoral yang menguntungkan dalam jangka pendek namun merugikan dalam jangka panjang itu, alasan lain mengapa PKB dan PDI-P harus beda jalan adalah untuk mencegah adanya calon tunggal melawan kotak kosong. Sebab, kemungkinan besar, jika PDI-P dan PKB bersatu, bisa dipastikan tak ada parpol lain yang berani mengambil langkah untuk mencalonkan cabup dan cawabup.
Disamping memiliki kelemahan struktural dan kultural, partai-partai yang lolos parlementry threshold (ambang batas parlemen) di DPRD Sumenep juga tidak memiliki tiket khusus untuk mengusung cabup-cawabup sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU 10/2016 Tentang Pilkada.
Dalam pasal a quo ditentukan bahwa parpol yang bisa mengusung calon kepala daerah adalah partai yang memenuhi persyaratan Memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen suara sah dalam pemilihan umum.
Persolan ini memang bisa diatasi dengan mekanisme koalisi antar-partai. Misalkan, Partai Demokrat, PAN, Golkar, dan PPP, dan Nasdem membentuk koalisi untuk mencalonkan pasangan cabup-cawabup di Pilkada Sumenep, hal itu memang mampu menyelesaikan masalah persyaratan.
Namun, meski demikian, bisa dipastikan beberapa partai yang ada tak akan berani mengambil keputusan dengan kemungkinan kecil menang itu. Dalam pemilu pasca-reformasi, keputusan partai dalam berkoalisi nyaris tak ada yang ideologis, semuanya serba pragmatis.
Hipotesis inilah yang menjelaskan mengapa angka calon tunggal di berbagai daerah terus mengalami kenaikan sejak Pilkada 2015: banyak partai enggan mengambil jalan berbeda karena secara matematis bisa dipastikan kalah (Rofi Aulia Rahman dkk, 2022; Abd Hannan, 2023).
Secara ketatanegaraan, jika misalkan Pilkada Sumenep hanya diikuti oleh calon tunggal, hal itu memang tidak terlalu problematik. Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015
yang telah diakomodasi dalam Pasal 54B, 54C UU 10/2016 telah mengatur dengan jelas tentang penyelenggaraan Pilkada dengan calon tunggal.
Namun, meski demikian, jika Pilkada Sumenep hanya diikuti oleh calon tunggal, hal itu bisa dikatakan sebagai alarm kematian bagi demokrasi lokal Sumenep. Demokrasi yang baik, dalam konteks elektoral, adalah yang menawarkan banyak pilihan, bukan hanya menghadirkan satu calon tunggal.
Karena itu, jalan terbaik bagi PDI-P dan PKB di Pilkada Sumenep 2024 adalah beda jalan. Meski dalam jangka pendek kerjasama antara keduanya cukup menggiurkan, namun hal itu buruk bagi keduanya dalam jangka panjang dan juga, bagi demokrasi lokal Sumenep tentunya.
Kecuali, PKB (dengan golden ticket/10 kursi DPRD yang dimilikinya) bersedia kehilangan kesempatannya untuk kembali berkuasa di Pilkada 2024 di satu sisi, dan PDI-P (juga dengan golden ticket/11 kursi DPRD) yang dimilikinya) bersedia kehilangan pamornya di Pilkada 2029 nanti.