Kekuatan besar sedang berupaya mengobrak-abrik konstitusi. Dan, sudah sampai pada taraf yang cukup mengkhawatirkan.
Tiga ketua umum partai, dan dua dari unsur kementerian telah ikut serta mengusulkan penundaan pemilu dan masa perpanjangan masa jabatan presiden.
Dari unsur kementerian, yang terbaru disampaikan oleh Marves Luhut Binsar Panjaitan. Bahkan, mengerikannya, Luhut mengklaim bahwa ia punya big data (data besar) yang menampung 110 juta aspirasi rakyat yang menginginkan penundaan pemilu.
Gerakan Lama
Upaya untuk memperpanjang masa jabatan presiden senyatanya bukanlah kali pertama diusulkan. Sebelumnya, sudah ada gerakan Jokowi Tiga Periode (Jokpro) yang pelopori oleh M. Chudori.
Dan, semakin ke sini, semakin mengkhawatirkan. Sejumlah kekuatan politik besar ikut terlibat. Bermanuver, mengupayakan penundaan pemilu bisa diwujudkan.
Mengancam Konstitusi
Konstitusi mengatur tentang pembatasan kekuasaan. Pasal 7 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
”Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden ini adalah inkonstitusional: mengancam demokrasi dan berpotensi membentuk kekuasaan yang tak terbatas.”
Jadi jelas, konstitusi membatasi kekuasaan. Karena itu, dengan demikian, wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden ini adalah inkonstitusional: mengancam demokrasi dan berpotensi membentuk kekuasaan yang tak terbatas.
Oleh karenanya, upaya mengutak-atik konstitusi demi mempertahankan status quo ini harus terus kita kawal. Sebab, jika sampai penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden ini lolos, mungkin sesuatu yang sama sekali tak pernah kita inginkan akan terjadi dalam sejarah politik kita.