Oleh | Nadirsyah Hosen
MIMBAR, NOLESA.COM – Di balik pagar pesantren dan lantunan ayat suci, kadang terdengar jeritan kecil—tangis histeris anak usia dini yang dipaksa berpisah dari ibunya.
Atas nama cinta pada agama, orang tua menitipkan anaknya ke pesantren sejak dini. Tapi apakah cinta selalu benar dalam cara mengekspresikannya?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anak usia 5–7 tahun yang belum matang secara emosional, tiba-tiba dipisahkan dari figur paling aman dalam hidupnya—ibunya—tanpa penjelasan, tanpa persiapan, tanpa pelukan yang cukup. Dia menangis, bukan karena tak cinta agama, tapi karena belum paham rindu dan kehilangan. Ia belum bisa membedakan belajar agama dengan ditinggalkan.
Orang tua sering membanggakan diri telah “menanamkan nilai sejak kecil”, padahal yang ditanam bisa jadi bukan cinta pada agama, tapi luka karena merasa diasingkan. Anak mungkin tumbuh pandai menghafal doa, tapi dalam hatinya tertinggal tanya: kenapa aku dititipkan? Apa aku tidak cukup dicintai?
Banyak yang mengabaikan kesiapan mental anak. Tak semua anak siap mondok sejak kecil. Perlu pendampingan emosional, dialog yang manusiawi, dan—yang terpenting—kepekaan.
Atas nama agama, orang tua kadang merasa telah menunaikan tanggung jawab dengan “memondokkan anak”—seolah cukup sampai di situ. Padahal pola asuh tak bisa dialihkan begitu saja. Sebaliknya, pesantren juga sebaiknya tidak menerima anak yang jelas belum siap dan menolak dipisahkan dari rumah.
Agama tidak pernah memerintahkan kita mencederai fitrah anak demi tampilan kesalehan. Bahkan Nabi mempercepat salatnya saat mendengar tangis anak. Tapi hari ini, kita justru sering bersembunyi di balik jubah agama untuk menutupi ketidakpekaan.
Jangan sampai anakmu pandai membaca Al-Qur’an, tapi setiap kali mendengar ayat pertama, yang ia ingat justru hari ketika ia merasa dibuang. Agama menjadi trauma.(*)
Tabik.
Sumber: FB Nadirsyah Hosen