Mimbar, ”Aneh bin ajaib.” Demikianlah judul yang tepat untuk menggambarkan drama politik yang sedang terjadi di Sumenep.
Ceritanya, Bupati Ahmad Fauzi (yang belakangan akrab disebut-sebut sebagai Ra Fauzi oleh sejumlah media) merilis lagu.
Judulnya, Dicintai Tanpa Dicintai. Tayang di channel YouTube AF Official Video. Berdurasi 4:07 detik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lagu itu dinyanyikan oleh Aries Reborn. Siapa Aries? Saya juga tidak tahu.
Yang jelas, melalui lagu ciptaan Ra Fauzi itu, saya jadi tahu bahwa di Sumenep, ada penyanyi potensial seperti Aries.
Alih-alih bangga. Kehadiran lagu berlatarkan kehidupan remaja itu malah di bully.
Alasannya macam-macam. Ada yang bilang tidak relate dengan kondisi Sumenep.
Anehnya, ada pula yang mengaitkan kehadiran lagu itu dengan kondisi kemiskinan di Sumenep.
Katanya, Bupati Ra Fauzi tidak bersimpati. Bernyanyi di atas penderitaan orang banyak.
Aneh. Tidak masuk akal. Melihat sesuatu yang kontras sebagai sesuatu yang bertentangan.
Dengan Bupati Ra Fauzi menciptakan lagu, seakan-akan Bupati Ra Fauzi tidak peduli pada angka kemiskinan yang masih membengkak.
Logika macam apa ini. Mengapa kita begitu senang menggunakan kaca mata kuda?
Bagaimana jika itu adalah seni membangun Sumenep ala Bupati Ra Fauzi?
Dan karena itu, mengapa kita tidak mencoba melihatnya dalam perspektif yang lain?
Melalui perspektif seni dan politik promosi, misalnya.
Musik sebagai Seni
Musik adalah seni. Sebagai seni, kajian tentang musik biasanya selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Mulai dari nilai pendidikan, nilai sosial, nilai moral, dan yang lainnya.
Jika sebuah karya musik memenuhi patokan-patokan nilai tersebut, biasanya sebuah karya musik dianggap berhasil.
Lalu, apakah karya musik yang diciptakan Bupati Ra Fauzi itu memenuhi standar nilai-nilai yang ada? Saya akan menafsirkannya.
Khususnya soal nilai pendidikan dan moral.
Maka jelas dan terang, lagu itu memiliki nilai moral dan pendidikan yang tinggi. Yakni tentang keikhlasan diri.
Hal itu terlihat sangat jelas dalam judul lagunya, Mencintai Tanpa Dicintai. Ini berat.
Cinta dan keikhlasan level sufi. Itu hanya satu contoh.
Dan tentu masih banyak contoh-contoh nilai lain yang bisa kita gali. Dengan ketajaman akal budi kita.
Kata para filsuf, akal budi adalah alat untuk memahami dunia segala kerumitannya. Termasuk seni musik di dalamnya.
Berpikirlah….
Musik; Politik/Strategi Promosi
Lalu, bagaimana jika lagu ciptaan Bupati Ra Fauzi itu dilihat dari perspektif politik promosi wisata?
Tentu itu malah tambah bagus. Inovatif. Menjanjikan.
Selain dapat memperkenalkan tempat-tempat wisata lokal, gerakan semacam itu juga dapat mengangkat penyanyi lokal. Yang potensial. Yang berbakat.
Penggunaan musik sebagai ajang promosi wisata sudah banyak digunakan di daerah-daerah lain. Dan berhasil.
Seperti Raja Ampat yang dipromosikan melalui lagu keindahan Raja Ampat dalam berbagai bahasa.
Dari bahasa Indonesia, Inggris, hingga Mandarin.
Begitu pula dengan Labuan Baji, Borobudur, dan beberapa destinasi wisata lainnya.
Hari ini, hal semacam itu adalah kebutuhan. Untuk mencapai cita-cita pembangunan, kita perlu melakukannya dengan beragam cara.
Termasuk melalui musik. Salah satu seni yang paling banyak digemari oleh anak muda, yang secara garis besar juga merupakan sasaran promosi.
Jika ini berhasil, bukankah ternyata seni bisa meningkatkan angka kesejahteraan?
Bukankah ini berarti seni dapat menjawab problem sosial yang ada?
Dan, bukankah ini gebrakan yang luar biasa?
Mengapa kita hendak mengganggu, bukankah Bupati Fauzi hanya ingin menjual Sumenep melalui lagu?
Apa yang salah?
Yogyakarta, 31 Juli 2022