Oleh : Taufiqullah Hasbul*)
Aksi tembak mati yang dilakukan oleh aparat Polres Sumenep Jawa Timur terhadap seorang begal sepeda motor yang sekaligus menyandera korban dengan celurit cukup menyita perhatian publik. Penembakan bertubi-tubi tersebut dilakukan oleh petugas karena korban tidak mengindahkan perintah petugas untuk menyerahkan diri.
Sebelum penembakan, petugas telah melumpuhkan pelaku, namun karena khawatir akan adanya pembelaan yang membahayakan, maka seketika itu petugas terpaksa menembaknya hingga tersungkur. Akhirnya korban yang bernama Herman warga desa Gadu Timur Ganding Sumenep tersebut meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Pasca-tragedi itu, aksi petugas tersebut menimbulkan banyak kritik dari kalangan masayarakat hingga viral di media sosial lantaran petugas tetap melakukan tindakan meskipun korban sudah tidak ‘berdaya’. Gemuruh celotehan warganet akhirnya diakomodir oleh Kabid Humas Polda Jatim Kombes Dirmanto dengan dibentuknya tim khusus dari unsur Propam dan Irwasda untuk melakukan evaluasi terhadap aksi tembak mati yang dilakukan aparat kepolisian tersebut.
Sebagaimana dalam prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjamin hak atas hidup seseorang yang sifatnya adalah ‘non derogable right’ yang berarti tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun sebagaimana disebutkan dalam Pasal A UUD 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan; International Convenant on Civil and Political Right/ICCPR yang terlah diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Karena itu, dengan demikian, pihak kepolisian dalam melakukan upaya penyidikan dan penangkapan seharusnya berdasarkan prinsip penegakan hukum. Polisi harus menerapkan asas nesesitas (Keperluan) yang berarti harus menimbang apakah penggunaan kekuatan pada masyarakat sipil benar-benar diperlukan dan benar-benar tidak ada metode alternatif lain yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan yang sama.
Aksi pelumpuhan berutal tersebut sudah menyalahi prinsip penegekan hukum. Polisi dituntut untuk selalu mencoba mengunakan metode tanpa kekerasan terlebih dahulu dalam setiap situasi. Polisi dituntut meningkatkan respons seorang korban secara bertahap, dan mencoba meminimalisir kerusakan dan cedera sejauh mungkin.
Penggunaan senjata api harus selalu menjadi pilihan yang terakhir. Dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 tahun 2009, yang juga mengadopsi prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dari BPUFF, yang dinyatakan bahwa penggunaan kekuatan oleh anggota kepolisian termasuk penggunaan senjata api adalah tahap terakhir yang ditempuh dalam penegakan keadilan.
Menembak mati begal dalam keadaan tidak berdaya bukanlah solusi yang tepat bagi penegakan hukum. Hal demikian hanya mencerminkan penegakan hukum yang eksesif dan menimbulkan masalah baru yakni pelanggaran HAM. Langkah kontroversial tersebut seharusnya dievaluasi oleh pihak Polda Jatim guna terciptanya penegakan hukum yang berkeadilan dan berkemanusiaan.
*) Taufiqullah Hasbul, Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta