Oleh ABD. KADIR*
Akhir November kemarin saya diundang untuk mengisi acara Diklat Menulis Artikel di SMAN 1 Lenteng, Sumenep. Bagi saya ini adalah sebuah kehormatan tersendiri. Mengapa demikian? Karena sebenarnya bagi saya tidak ‘pantas’ untuk memberikan materi tentang artikel ini kepada para guru yang mengajar di SMAN 1 Lenteng, sebagai salah satu sekolah penggerak di Sumenep. Selain itu, masih banyak yang lebih kompeten dari saya untuk mengisi materi ini.
Namun, karena panitia minta saya untuk mengisi materi penulisan artikel ini, mau tidak mau, saya harus ‘mau’ untuk memenuhi permintaan mereka. Awalnya, panitia menjadwalkan saya di tanggal 29 November. Namun, karena saya ada acara di hari itu, saya minta ditunda ke tanggal 30-nya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ternyata juga, dalam acara ini saya bertemu dengan teman-teman yang dulu satu perjuangan dengan saya ketika menjadi guru di SMA pulau. Mereka ternyata sudah mutase ke SMAN 1 Lenteng. Pertemuan yang bagi saya pribadi adalah reuni kecil-kecilan setelahs ekian lama tidak bersua.
Pada kesempatan ini, saya sampaikan bahwa sebenarnya para guru ini bukanlah para penulis pemula. Mereka sudah sering dihadapkan pada fenomena menulis, baik ketika harus menulis rencana pembelajaran, atau untuk kepentingan kenaikan tingkat dan sebagainya. Hanya saja, kadar motivasi dalam tiap individu ini yang berbeda.
Mereka ada yang memiliki motivasi yang kuat untuk tetap berkarya dan menghasilkan sebuah tulisan ataus ebuah buku, ada yang masih setengah-setengah karena masih banyak yang menjadi beban pikiran mereka. Ada yang memang masih belum sempat untuk menulis karena kesibukan dalam keseharian mereka.
Dalam sebuah diskusi dengan teman panitia yang mengundang saya ini, ketika acara belm dimulai, ternyata mereka para guru ini sudah pernah menerbitkan satu buku antologi artikel. Hanya saja mereka belum melanjutkan ke penerbitan buku berikutnya. Di sinilah sebenarnya yang perlu dikuatkan, bagaimana par guru ini tidak berhenti untuk menulis.
Bagi saya, sepertinya, memberikan motivasi pada guru-guru ini lebih penting daripada mengajari mereka untuk menulis artikel. Mengapa, karena mereka sebenarnya sudah termasuk guru-guru penulis. Hanya saja, motivasinya mulai memudar dalam konteks kepenulisan ini.
Nah, di sini saya mencoba menginvestigasi kepada para guru ini seputar buku yang mereka terbitkan sebelumnya. Bahwa mereka pernah bekerja sama dengan komunitas literagsi nasional yang memberikan pendampingan menulis kepada para guru yang sekaligus membuka ruang untuk mencetak buku antologi. Namun, ada banyak hal yang pada akhirnya membuat mereka merasa ‘kapok’ untuk menulis. Pertama, bahwa biaya percetakan yang harus mereka keluarkan cukup besar. Mereka harus mengeluarkan biaya di atas sewajarnya hanya untuk mendapatkan dua buku. Kedua, dalam proses pendampingan itu, terasa bahwa untuk mendapatkan ide dan dituangkan dalam tulisan itu butuh waktu yang cukup lama sehingga mereka terkadang ‘keteteran’ untuk menuangkannya. Sepertinya ada kran yang tersumbat untuk mengalirkan ide yang ada dalam benak para guru ini. Akhirnya, fenomena inilah yang kemudian menghadirkan rasa jumud dan jenuh, sehingga pada akhirnya mereka ‘mogok’ menulis.
Membaca kejumudan ini, saya menwarkan pintu masuk yang cukup mudah diakses oleh para guru untuk memulai menulis. Saya tawarkan pintu ‘narasi’. Meskipun ada beberapa pintu masuk yang bisa ‘dilalui’ aliran ide kita, misalnya dengan ‘kutipan’, ataupun dengan ‘definisi’, namun pintu narasi ini yang saya rasa bisa menjadi salah satu ‘obat’ saat ini untuk ‘menyembuhkan’ kejumudan berpikir para guru. Saya paham bahwa dari berbagai pertanyaan yang disampaikan para guru, sepertinya mereka cukup kesulitan dalam memulai menulis, meskipun terlihat ada beberapa guru yang sepertinya sudah cukup ‘mahir’ dalam menulis.
Pintu narasi ini langsung saya contohkan kepada seorang penanya, Pak Wawan, yang baru datang dalam diklat menulis artikel ini, bersamaan dengan penjelasan materi ‘pintu narasi’ untuk memulai mengalirkan ide. Beliau menyampaikan kegelisahannya, bahwa pada hari itu beliau dihadapkan pada dua pilihan: mengajar di lembaga lain sebagai tanggung jawabnya untuk memenuhi jam mengajar 24 jam, atau mengikuti diklat menulis. Namun, pada ahirnya beliau memilih untuk mengajar di lembaga lain, karena sudah beberapa kali izin dan tidak bisa mengajar karena kesibukannya di sekolah induknya di SMAN 1 Lenteng. Pulang dari mengajar, ia langsung bergabung dengan teman-teman guru yang lain mengikuti diklat menuis artikel ini.
Dari apa yang disampaikan Pak wawan ini, saya coba untuk memunculkan sebuah paragraf pembuka yang cukup sederhana, seperti ini.
“Ada pertarungan psikologis dalam benak saya, ketika dihadapkan pada pilihan apakah saya harus mengajar di SMA Darunnajah, atau mengikuti diklat menuis artikel di SMAN 1 Lenteng. Dua hal ini sama-sama penting. Mengajar adalah sebuah tanggung jawab. Mengikuti diklat menulis adalah kewajiban bagi seorang guru untuk terus meningkatkan kompetensinya. Artinya, bahwa keduanya adalah sama-sama kewajiban. Namun, bagi saya menetapkan prioritas kewajiban ini adalah niscaya.
Pada akhirnya, saya memilih untuk mengajar ke SMA Darunnajah, karena sudah beberapa minggu ini saya selalu izin untuk tidak mengajar. Bagi saya mengajar mereka adalah kewajiban yang berkaitan dengan kemaslahatan banyak orang (anak didik) sementara mengikuti diklat menuis artikel adalah kewajiban yang berkaitan dengan kemaslahatan individual. Artinya, mendahulukan kemaslahatan bersama adalah pilihan yang menjadi prioritas utama disbanding kemaslahatan individual sehingga saya harus mengajar dulu, baru kemudian mengikuti diklat menulis artikel (meskipun tidak mengikuti dari awal)”.
Saya melihat Pak Wawan tersenyum dan sepertinya termotivasi untuk segera menulis artikel, apalagi dia ternyata memang sudah siap dengan buku besar (ukuran folio), ketika selesai menikmati dua paragraf yang saya hadirkan dalam acara itu.
Di sisi lain, ternyata fenomena ini juga menghadirkan ‘ruang terbuka’ yang mengantarkan para guru ini masuk dan ‘jumpalitan’ dalam imajinasi lain untuk dibukakan pintu narasi yang lain. Saya melihat betapa motivasi mereka mulai bangkit. Namun, sebenarnya bukan ini tujuan utama saya, melainkan bagaimana dengan motivasi yang menguat dan pintu masuk menulis yang cukup mudah, akan menjelma gerak nyata untuk menulis, dan tulisan itu bisa diterbitkan menjadi sebuah buku.
Di akhir acara, saya sampaikan, bahwa pelatihan ini hanya pintu awal untuk bisa menulis, dan dari pintu itulah para guru akan memberikan bukti nyata kepada diri sendiri dan anak-anak di sekolahnya bahwa guru adalah sosok yang digugu dan ditiru dan bisa memberikan bukti nyata dari apa yang telah dipelajari. Ketika mereka belajar untuk menulis artikel, maka mereka sejatinya harus bisa memberikan bukti nyata berupa tulisan. Semoga!