Oleh Farisi Aris*
Cahaya indah-menyejukkan memancar dari bumi Kudus, Jawa Tengah. Di tengah bencana banjir, semua pihak bahu-membahu saling membantu satu sama lain melampaui batas-batas (teritori) keyakinan dan kepercayaan. Di tengah kegersangan harmonisme kebangsaan, potret kerukunan dan toleransi di tengah banjir Kudus itu bak siraman cinta-kasih, menentramkan.
Seperti yang tengah viral di sejumlah pemberitaan media, ratusan pengungsi di Aula Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Tanjung Karang dapat beristirahat dengan tenang. Bahkan, mereka yang muslim juga tetap dapat menjalankan ibadah shalat dengan dengan khusuk. Ini unik. Sebuah potret kerukunan yang jarang kita temukan belakangan ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kita sangat menghargai kepercayaan mereka, mau ibadah di sini terbuka, tidak mau melarang,” kata Pengurus GKMI Boedi Poedjijono sebagaimana dilansir detik.com, Kamis 5 Januari 2022.
Peristiwa itu benar-benar mengagumkan. Semacam cahaya indah yang memancarkan kedamaian rohani. Meski sederhana dan tampak biasa saja, namun potret toleransi antarsesama pemeluk agama itu sangat istimewa sehingga menjadikannya luar biasa. Siapa pun, saya kira akan terkagum dan terpesona dengan potret kerukunan antarpemeluk agama yang sangat manis itu.
Belakangan ini, potret sosial yang sering disajikan antarpemeluk agama adalah konflik dan friksi yang menyayat batin. Pencopotan label gereja di tenda bantuan korban bencana banjir Cianjur, misalnya. Karena itu, praktik toleransi masyarakat Kudus yang terpotret di tengah banjir itu sangatlah indah dan luar biasa.
Karenanya, hal itu kiranya penting untuk menjadi teladan bagi setiap umat beragama dalam menghadapi bencana dan persoalan-persoalan yang lain agar tidak lagi mempermasalahkan keyakinan dan kepercayaan. Praktik-praktik toleran antarpemeluk agama semacam itu sangat menyejukkan dan menggembirakan.
Jejak toleransi masyarakat Kudus
Tentang toleransi sesama pemeluk agama, kita memang perlu banyak belajar dari masyarakat Kudus. Jika kita membuka lembaran sejarah, toleransi sesama antarpemeluk agama di Kudus memiliki jejak dan akar sejarah yang panjang. Contohnya seperti tradisi larangan menyembelih sapi, sampai saat ini masih dipegang kuat oleh masyarakat Kudus sebagai upaya untuk menghormati dan menghargai kepercayaan umat Hindu.
Di dalam kepercayaan umat Hindu, sapi dipercaya sebagai hewan tunggangan para dewa. Karena itu, sapi dipercaya sebagai hewan suci yang tidak boleh disembelih dan dikonsumsi. Nah, untuk itu, sampai kini, baik di Hari Raya Kurban (Idul Adha) atau di hari-hari biasa, masyarakat Islam Kudus tidak pernah menyembelih atau memotong sapi. Sebagai gantinya, masyarakat Islam Kudus menyembelih kerbau.
Awalnya, larangan menyembelih sapi itu tak lain adalah strategi Sunan Kudus untuk menyebarkan agama Islam agar mudah diterima oleh masyarakat Kudus. Sebab, kala itu, Hindu mayoritas masyarakat Kudus memeluk agama Hindu. Karena itu, agar proses pengenalan Islam berjalan dengan damai dan tidak menimbulkan konflik dan friksi, Sunan Kudus menyerukan kepada pengikutnya (umat Islam) untuk tidak menyembelih sapi.
Menurut Sunan Kudus, sapi merupakan hewan yang pernah menolongnya di masa kecil saat ia kehausan. Karena itu, sebagai rasa bentuk balas budi kepada hewan yang telah menolongnya saat kehausan itu, ia meminta masyarakat Kudus atau umat Islam untuk tidak menyembelih sapi.
Akan tetapi, meski pada mulanya tradisi atau larangan menyembelih sapi itu adalah sebentuk strategi mengenalkan Islam, namun masyarakat Kudus kini tetap memelihara dan memegang tradisi itu secara kuat. Jika pada awalnya tradisi itu adalah sebentuk strategi, namun masyarakat Kudus kini memahami bahwa tradisi itu penting dipelihara untuk menghargai kepercayaan dan keyakinan umat lain.
Dengan begitu, masyarakat yang berbeda keyakinan tetap bisa hidup rukun. Upaya masyarakat Kudus untuk bisa hidup rukun di antara beragam keyakinan itu sebenarnya bukan hanya pada memegang teguh tradisi larangan menyembelih sapi saja. Tetapi juga pada tradisi-tradisi yang lain. Seperti tradisi natalan bersama; ramadhan bersama; dan halal-bihalal bersama yang dipraktikkan oleh masyarakat beda agama di Perumahan Tanjung Karang Kudus (Vifin Azkiyah, 2021).
Karena itu, saya kira kita memang perlu belajar banyak mengenai toleransi kepada masyarakat Kudus. Masyarakat Kudus telah dengan begitu apik mengewajantahkan nilai-nilai toleransi itu dalam kehidupan sehari-hari.
Praktik toleransi yang dijalankan masyarakat Kudus memancarkan panorama yang begitu indah. Dan, alangkah lebih indah lagi jika cahaya toleransi itu bisa memancar dari seluruh sudut-sudut dan penjuru Indonesia.
*) Farisi Aris, Wartawan Nolesa.com dan Peneliti di Academy of Law and Politic (ALP)