Oleh ABD. KADIR*
Saya pernah mengisi acara bedah buku literasi. Dalam acara itu, buku yang saya bedah seputar berliterasi bagi guru dan bagaimana guru bisa mengimplementasikanny di kelas. Pesertanya juga beragam: mulai guru sampai pemerhati pendidikan, bahkan anggota dewan pendidikan.
Dalam sesi pertanyaan, ada peserta yang memberikan tanggapan tentang buku yang dibedah itu dari sisi kebahasaan. Artinya, komentar yang disampaikan seputar penulisan buku dalam konteks kajian tata bahasanya. Poin utama yang disampaikan adalah seputar penulisan ‘di’ baik sebagai preposisi (kata depan) maupun sebagai imbuhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, menulis buku, apalagi yang berkaitan dengan literasi, seharusnya sudah memperhatikan masalah kaidah dasar kebahasaan. Dalam perspektif ini, penanya ini menganggap bahwa persoalan penulisan preposisi ‘di’ dan imbuhan ‘di’ sudah selesai di tingkat sekolah menengah pertama. Jika persoalan ini masih menjadi fenomena yang belum ‘selesai’ di kalangan guru, maka ini sebenarnya bagian dari kecelakaan sejarah. Bahkan menurutnya ini adalah bencana literasi.
Memang, dipahami bahwa selama ini, kita abai dengan persoalan kidah dasar kebahasaan yang selayaknya sudah harus dipahami oleh para penulis. Padahal, ketika kita bergelut di bidang literasi, sebenarnya kita adalah orang pertama yang harus menjunjung dan merawat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahwa bahasa Indonesia memiliki kaidah yang perlu dipahami, dipedomani, diikuti, dan disebarluaskan. Dalam hal ini, salah satu elemen yang memiliki tanggung jawabnya adalah kita sebagai para penulis yang bergelut dalam dunia literasi. Artinya, menulis adalah bagian dari merawat kebahasaan. Bukan sebaliknya, menulis dan menjadi ‘pembunuh berdarah dingin’ bagi keberlangsungan bahasa Indonesia.
“Memang, dipahami bahwa selama ini, kita abai dengan persoalan kaidah dasar kebahasaan yang selayaknya sudah harus dipahami oleh para penulis”
Kembali pada fenomena di atas, kadang kita tidak peduli dengan kaidah dasar kebahasaan, seperti kapan ‘di’ atau ‘ke’ itu ditulis terpisah dengan kata yang lain karena sebagai preposisi, dan kapan ditulis disambung dengan kata yang menyertainya karena sebagai imbuhan. Padahal sebenarnya, hal seperti ini sangatlah sederhana. Bahwa kata ‘di’ dan ‘ke’ itu akan ditulis terpisah dengan kata yang menyertainya sebagai kata depan ketika diikuti oleh kata benda. Misalnya, di rumah/ke rumah, di toko/ke toko, di sekolah/ke sekolah, di halaman/ke halaman dan sebagainya. Kata ‘di’ akan ditulis disambung dengan kata yang menyertainya ketika diikuti oleh kata kerja. Misalnya, dipukul, diinjak, dicangkul, disapu, diintip dll. Untuk kata ‘ke’, akan menjadi imbuhan yang ditulis disambung dengan kata yang menyertainya ketika diikuti dengan ‘an’ menjadi imbuhan ke-an. Di sini, imbuhan ini meskipun dipakai untuk kata kerja atau kata sifat atau kata bilangan, akan ditulis disambung dengan kata yang menyertainya. Misalnya, kesepian, kesebelasan, kerinduan, dll. Tetapi, ketika ‘ke’ dihadapkan dengan kata benda, meskipun ada diikuti ‘an’, maka kata ‘ke’ tetap menjadi kata depan, dan ‘an’ menjadi akhiran. Jadi bukan lagi sebagai imbuhan ‘ke-an’.
Intinya, selain ‘ke-an’, bahwa imbuhan yang berupa konfiks (afiks tunggal yang terjadi dari dua unsur yag terpisah), penulisannya disambung. Misalnya, sufiks ‘di-kan’, ‘pe-an’, ‘di-i’ dll., penulisannya disambung. Contoh: dikerjakan, didirikan, disesuaikan, persamaan, perusahaan, pelayanan, diikuti, disesali, disukai, dll.
Bagi banyak orang, mungkin fenomena ini sangatlah sederhana, dan terkesan ‘remeh-temeh’. Tetapi, bagaimanapun, hal ini akan tetap menjadi sesuatu yang cukup mengganjal dan perlu untuk dijelaskan agar kesalahan tidak selalu terulang. Sebagaimana yang disampaikan penanya dalam bedah buku tadi, bahwa kaidah dasar seperti seharusnya sudah ‘selesai’ di tingkat sekolah menengah pertama. Ya, begitulah kira-kira!
*Pegiat Literasi Sumenep