Oleh AHMAD FARISI*
Beberapa waktu lalu, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2019-2024 Prof Jimly Asshiddiqie secara terang-terangan mengusulkan agar DPD dibubarkan.
Menurut Prof Jimly, lebih baik DPD dilebur ke DPR dengan cara menambah satu fraksi lagi di DPR yg yang ia sebut sebagai ”fraksi perwakilan golongan” untuk menampung perwakilan daerah.
Prof. Jimly mengatakan, eksistensi DPD tak ubahnya LSM yang meski punya kewenangan untuk memberi usulan dan saran, namun usulan dan sarannya tak sering diabaikan.
“Satire Ketatanegaraan”
Menurut penulis, wacana pembubaran DPD yang dilontarkan secara terang-terangan oleh Prof. Jimly penting untuk menjadi renungan kita bersama. Prof. Jimly adalah orang yang cukup kompeten di bidang ketatanegaraan.
Selain merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dua periode (2003-2008), ia juga merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara yang secara keilmuan, tak diragukan lagi. Karena itu, usulannya tentang pembubaran DPD tentu patut untuk dicermati secara seksama.
Penulis sendiri menilai usulan tersebut sebagai usulan yang serius. Namun, kendati demikian, penulis menilai bahwa hal (maksud) yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Prof Jimly dalam wacana pembubaran DPD itu bukanlah pembubaran DPD itu sendiri, melainkan hal yang sebaliknya, yakni penguatan fungsi dan kewenangan DPD.
Sebab, bila kita cermati secara lebih seksama, usulan Prof. Jimly terkait pembubaran DPD itu lebih pada ”satire ketatanegaraan” yang sengaja digunakan untuk mengundang perhatian publik.
Sebab, dengan ungkapan satire semacam itu, sebuah wacana akan tersajikan secara lebih menarik. Yang pada tahap selanjutnya akan menarik perhatian publik untuk ikut mempelajari, mencermati, dan memberi tekanan eksternal kepada pemangku kebijakan untuk mengambil keputusan sebaliknya dari apa yang diwacanakan.
Jadi, dengan ini bisa dikatakan bahwa sebenarnya satire adalah kritik yang menempatkan maksud yang sebenarnya di arah yang berlawanan dengan wacana yang dilontarkan.
Menurut (Ade dkk., 2002) satire adalah permainan atau gaya bahasa yang berbentuk sindiran yang mengandung kritikan terhadap sesuatu dengan maksud agar sesuatu yang salah dicari kebenarannya dan lalu diperbaiki.
Dikatakan sebagai ”satire ketatanegaraan” sebab, dalam konteks ini usulan pembubaran DPD yang diwacanakan Prof Jimly bukan karena eksistensi DPD sudah tidak lagi dibutuhkan, melainkan (dalam tafsir penulis) karena saking sempitnya fungsi dan kewenangan yang dimiliki oleh DPD yang juga mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat atau pemilih.
Secara fungsional, peran dan kewenangan DPD kita memang sangat sempit dan terbatas, khususnya di bidang legislasi. Yang mana, secara keseluruhan hanya mencakup soal hal-hal yang berkaitan dengan daerah. Itu pun DPD hanya memiliki kewenangan untuk mengusulkan, memberi saran, dan ikut membahasan namun tidak sampai ikut mengesahkan. Tiga kewenangan yang dimilikinya: mulai dari pengawasan, legislasi, dan anggaran hanya bersifat usulan, tidak mengikat (Jamaludin, 2018).
Jadi, dengan demikian bisa dikatakan bahwa sebenarnya DPD kita tak memiliki peran dan fungsi signifikan. Keberadaannya tak lebih dari sekadar lembaga pelengkap yang tidak memberi sumbangan positif dalam proses pengambilan keputusan. Wajar bila Prof Jimly mengatakan bahwa adanya DPD seperti tidak adanya.
Memaknai Ulang Eksistensi DPD
Dalam hemat penulis, sempitnya fungsi dan kewenangan yang diberikan kepada DPD merupakan akibat dari kesalahan kita dalam memaknai dan memposisikan DPD. Sebagai lembaga perwakilan daerah, selama ini DPD hanya dipandang sebagai lembaga yang berkaitan dengan persoalan kedaerahan semata. Tidak dipandang sebagai bagian dari lembaga legislatif yang juga memiliki legitimasi kuat dari rakyat untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan-keputusan penting. Pandangan sebelah mata terhadap DPD ini jelas salah fatal. Sebab, sejatinya, DPD dibentuk adalah untuk memperjuangkan kepentingan daerah di tengah pertarungan kepentingan.
Selama ini memang muncul kekhawatiran akan terjadi kebuntuan proses pengambilan keputusan jika fungsi dan kewenangan DPD ditambah hingga menyamai fungsi dan kewenangan DPR. Namun, sebenarnya kekhawatiran ini sejatinya adalah kekhawatiran yang tidak cukup berdasar.
Sebab, pada faktanya, dengan mencermati praktik di beberapa negara yang juga menganut sistem bikameral, nyatanya kebuntuan politik tidak pernah terjadi meski dua lembaga legislatif yang ada sama-sama memiliki kedudukan dan kewenangan yang kuat (strong bicameralism) dalam proses pengambilan keputusan. Sebut saja seperti di Amerika Serikat, misalnya.
Seperti Indonesia, Amerika Serikat juga memiliki dua kamar legislatif, yaitu House of Representative dan Senat, yang keduanya bersama-sama membentuk Kongres Amerika Serikat. Anggota House of Representative mewakili daerah pemilihan tertentu, sementara Senat mewakili negara bagian.
Namun, berbeda dengan di kita, di Amerika Serikat anggota kedua kamar legislatif tersebut sama-sama berasal partai politik. Namun, meski demikian, kedudukan Senat di Amerika Serikat nyaris sama dengan kedudukan DPD di Indonesia, yakni mewakili daerah atau negara bagian.
Secara fungsional, salah satu kewenangan Senat Amerika Serikat adalah menyetujui atau bisa juga menolak atau membatalkan (hak veto) undang-undang yang dibuat House of Representative sebelum akhirnya diundangkan oleh Presiden. Hak veto ini tidak dimiliki oleh DPD kita.
Dalam setiap perumusan undang-undang, kecuali undang-undang terkait otonomi dan APBN, DPD kita tak dilibatkan sama sekali. Bahkan, terkait undang-undang otonomi, peranannya pun tak seberapa. Hanya bisa mengusulkan dan ikut membahas sampai tingkat tertentu. Tidak sampai ikut menyetujui dan mengesahkan RUU yang diusulkan oleh DPD sendiri.
Dengan demikian menjadi penting kiranya bagi kita untuk memaknai ulang eksistensi DPD sebagai lembaga perwakilan daerah. DPD dibentuk untuk mewakili kepentingan daerah, bukan sekadar untuk menjadi pelengkap. Dalam hemat penulis, konstitusi Amerika cukup tepat memaknai eksistensi lembaga perwakilan daerahnya (atau negara bagian) dengan memberikan hak veto bagi Senat. Kita patut mencontoh dan belajar darinya dengan cara memperkuat kedudukan dan kewenangan DPD kita yang saat ini, seperti dalam wacana satire Prof Jimly, tak ubahnya LSM.
*) Pengamat Politik