Ceritanya sudah satu minggu yang lalu. Namun, jangankan satu minggu yang lalu, satu atau dua tahun yang lalu sekalipun, yang namanya ‘cerita’ tetaplah menarik untuk diceritakan.
Mengapa? Sebab cerita bukanlah hanya sekadar cerita. Ia mengandung banyak makna dan kesan. Mulai dari kesan sedih, bahagia, haru, menjengkelkan, dan yang lain sejenisnya.
So, beginilah cerita saya itu.
Sekitar jam 02:00 dini hari saya menulis. Tulisannya nyaris selesai. Tinggal beberapa kata lagi.
Namun, entah kenapa. Laptop ngelike. Saya pencet-pencet kybordnya. Dan, hal yang tak terduga terjadi. Kybord laptop terkunci.
Saya matikan. Lalu saya nyalakan lagi. Tetap. Hal itu terus saya ulang-ulang. Hasilnya sama saja.
Saya bingung. Tulisan harus selesai. Laptop down.
Akhirnya saya pasrah. “Mungkin, tulisan ini memang tidak harus selesai,” pikir saya.
Saya buka handpone. Cek WA. Ngebales beberapa pesan singkat.
Lalu muncullah ide. “Tutorial,” pikir saya. Saya buka You Tube. Saya buka tutorial cara memperbaiki kybord yang terkunci.
Ada banyak sekali tutorial cara memperbaiki kybord yang terkunci. Saya sampai bingung memilihnya.
Akhirnya, saya coba satu-satu. Dari yang teratas. Saya tonton. Sambil saya praktikkan.
Ada hasil. Kybord saya tak lagi terkunci. Namun, ada masalah baru yang muncul.
Pun kembali berfungsi. Namun sudah tak berfungsi seperti sediakala lagi.
Jika yang saya pencet misalnya adalah angka satu. Yang muncul bukan angka satu. Tapi @; jika saya buka file, tombol apa pun yang saya pencet, maka semuanya akan terblok.
Jadi, satu masalah selesai. Dua masalah baru muncul.
Saya tidak menyerah. Tutorial terus saya lanjutkan. Namun tetap tidak membuahkan hasil.
Menjelang subuh saya sudahi. Keesokan harinya saya lanjutkan lagi. Hasilnya masih sama. Tetapi tidak berhasil. Saya tinggalkan.
Malamnya, dengan masih bermodalkan You Tube. Misi perbaikan saya lanjutkan lagi. Tapi tetap saja tak ada hasil yang membahagiakan.
Keesokan paginya. Saya coba lagi. Gagal lagi. Kali ini saya benar-benar pasrah.
Saya memutuskan untuk membawanya ke dokter. Dokter laptop pesakitan tentunya.
Singkat cerita. Laptop itu akhirnya ditangani dokter. Akan tetapi, bukan dokter-dokter laptop pesakitan yang punya tempat praktik khusus di pinggir-pinggir jalan.
Ia dokter laptop. Tapi tidak punya tempat praktik khusus. Ia hanya menangani laptop yang teman-temannya percayakan kepadanya.
Namanya Afif. Dan, dalam tulisan ini, saya ingin sebut ia Dokter Afif, sang dokter laptop yang tidak membuka praktik formal.
Setelah beberapa jam saya memasrahkan laptop saya. Melalui pesan singkat WA ia mengabari saya.
Katanya. Dua tombol Shift yang ada. Ketekan terus. Susah mengatasinya.
Menurut hasil sementara pemeriksaannya. Laptop saya harus ganti kybord.
Saya bertanya: “Kalo ganti kybord berapa?” “Sekitar 250k,” katanya.
Singkat cerita lagi. Dua hari sudah berlalu.
Saya bertemu dengan Dokter Afif itu. Di sebuah acara. Katanya. Laptop saya di bawa ke acara itu.
Katanya lagi. Laptopnya sudah sembuh. Saya tidak perlu ganti kybord.
Saya bersyukur. Berkat ahli. Laptop saya sembuh.
Ternyata. Semuanya hanya butuh ahli.
Saya jadi berpikir: “Pengetahuan boleh saja melimpah ruah dan bisa kita cari dalam sekejap. Namun, tanpa keberadaan seorang ‘ahli’ yang kompeten di bidangnya. Pengetahuan itu, tak lebih dari sekadar pengetahuan saja. Bahkan bisa merusak.”
“Kita butuh banyak ‘ahli’ yang kompeten di bidangnya,” pikir saya, “ahli fisika. Ahli kimia. Ahli hukum. Ahli politik. Ahli sosiologi. Ahli hadits. Ahli Qur’an. Ahli agama dll.”
Ahli-ahli itu. Merekalah yang akan menjadi dokter atas kondisi sosial-kemasyarakatan, sosial-keagamaan, sosial-kebangsaan, dan sosial-politik kita yang pesakitan.