Aksi teror kembali terjadi. Aksi teror yang melibatkan SE sebagai pelaku tunggal (lone wolf terrorism) itu terjadi pada Selasa (25/10/2022. Tak diyana, yang menjadi objek serangannya adalah Istana Negara di Jl. Merdeka. Namun beruntung, Paspamprem berhasil menggagalkan aksi tersebut dan mengamankan pelaku. Pelaku diketahui baru berusia 24 tahun.
Menurut temuan Densus 88, meski tidak berhubungan langsung dengan kelompok dan jaringan Islam radikal seperti ISIS, namun diketahui akun media sosial SE terhubung dengan akun media sosial Hizbuz Tahrir Indonesia (HTI) dan Negara Islam Indonesia (NII). Temuan ini kemudian memunculkan dugaan bahwa SE terpengaruh paham radikal melalui jejaring media sosial.
Tulisan ini lebih lanjut akan mengambil objek bahasan ‘maraknya radikalisasi generasi muda di dunia maya atau internet’. Baik yang bersifat tunggal (lone wolf terorism) ataupun aksi-aksi teror yang dilakukan secara terorganisir melalui jejaring organisasi yang terhubung dengan kelompok teroris transnasional seperti ISIS dan Al Qaeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gejala radikalisasi di kalangan anak muda
SE bukanlah generasi muda pertama yang melakukan aksi teror. Pada Maret 2021, seorang perempuan berinisial ZA juga tercatat melakukan aksi teror di Mabes Polri. Setelah ditelusuri, ZA ternyata baru berusia 26 tahun. Sebelum ZA, seorang anak muda berinisial L dan YSF juga tercatat terlibat aksi bom bunuh diri Gereja Katedral, Makassar. Sebanyak 20 orang tewas dalam aksi bom bunuh diri itu. L dan YSF adalah pengantin baru yang baru melangsungkan akad nikah.
Jauh sebelum itu, pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott, Jakarta, Juli 2009, yakni Dani Dwi Permana, diketahui juga masih berusia 18 tahun. Teroris yang menyerang pos lalu lintas Cikokol, Tanggerang, Sultan Azianzah, juga masih berusia 22 tahun. Rabbial Muslimin, juga masih berusia 18 tahun saat melakukan serangan ke markas Polres Medan (2019). Fakta tersebut sejalan dengan temuan BNPT (2020) yang menyebutkan bahwa 80 persen anak muda rentan terpapar radikalisme karena kurang berpikir kritis.
Penetrasi media sosial
Metode perekrutan atau pelibatan kaum muda ke dalam dunia terorisme dan radikalisme itu dilakukan dengan banyak cara. Di era digital seperti saat ini, seperti dikatakan Bagong Sunyanto, metode yang dipakai untuk melakukan perekrutan generasi muda adalah dengan cara memodifikasi teknologi informasi yang beberapa tahun terakhir banyak digunakan dan dinikmati oleh generasi muda dan generasi milenial pada umumnya.
Apa yang dikatakan Bagong ini, sangat relevan dengan apa yang diungkapkan oleh Menteri Agama (Menang) Yaqut Cholil Quomas atau Gud Yaqut. Menurut Menag Yaqut, dalam konteks kekinian, ruang yang paling berpengaruh bagi proses radikalisasi (penanaman ideologi radikal kepada masyarakat) adalah media sosial. Sebuah media baru yang banyak digandrungi oleh masyarakat.
Grenberg (2016) juga mengonfirmasi, kelompok teroris sering kali menggunakan media sosial yang sedang digandrungi masyarakat luas untuk menebar ideologinya. Sasaran yang sering terjadi oleh kelompok teroris di internet adalah anak-anak muda yang aktif menghabiskan waktu luang di media sosial. Menurut Grenberg (2016) media sosial telah menjadi lahan subur bagi proses penanaman ideologi radikal kepada generasi muda.
Demikian juga menurut Martin Rudner (2017), yang memakai istilah “electronic jihad” ketika menganalisis cara Al Qaeda menggunakan internet sebagai salah satu instrumen untuk menggaet simpati dan dukungan anak-anak muda yang terbiasa menghabiskan waktu berselancar di dunia maya. Menurut temuan Martin, organisasi-organisasi teroris seperti Al Qaeda kini tengah gencar menjadikan internet untuk melakukan propaganda dan perekrutan orang baru.
Peta jalan deradikalisasi
Seperti temuan BNPT, salah satu sebab mengapa banyak generasi milenial mudah terpapar paham radikalisme karena mereka tidak berpikir kritis saat menerima paham-paham keagamaan baru. Sehingga, pada tahap selanjutnya menjadikan mereka rentan terpapar paham radikal. Karena itu, hal ini harus menjadi catatan penting bagi generasi milenial untuk membiasakan berpikir kritis saat menerima paham baru. Lebih-lebih dengan paham keagamaan yang didapatkan dari medsos.
Selain itu, maraknya generasi milenial yang terpapar paham radikal di media sosial ini juga menjadi catatan penting bagi kita. Bahwa hal penting yang harus kita kerjakan bersama ke depan adalah memasifkan dakwah moderasi beragama di media sosial. Hal ini penting agar generasi milenial bisa mendapatkan konten-konten keagamaan yang moderat agar tidak terserat oleh paham radikal.
Artinya, dalam hal ini, dakwah-dakwah keagamaan yang turut serta mewarnai media sosial kita, juga harus mampu menghadirkan narasi perlawanan terhadap narasi-narasi radikal yang dikampanyekan oleh kelompok teroris, serta juga mampu menanamkan sikap moderat di kalangan generasi milenial guna mencegah kaum milenial ikut serta menjadi simpatisan teroris dan gerakan-gerakan radikalisme yang membahayakan.