Selain disebut manusia, kita juga disebut “makhluk”. Makhluk merupakan kata serapan dari bahasa Arab, makhluq. Artinya, diciptakan. Namanya diciptakan, tentu ia berbeda dengan khalik sebagai pencipta. Makhluk lemah, sementara khalik kuasa. Makhluk miskin, sedang khalik kaya. Dan seterusnya.
Perbandingan ini membedakan dan membatasi bahwa kita bukan Tuhan. Kita hanya sebatas makhluk yang lemah dan miskin. Sebab demikian, kita butuh Tuhan sebagai khalik. Tapi, siapakah Tuhan itu?
Kebutuhan manusia akan Tuhan telah ada jauh sebelum Islam datang. M. Quraish Shihab menyinggung dalam bukunya, Wawasan Al-Qur’an. Orang Yunani menganut paham politeisme (keyakinan banyak Tuhan). Ada binatang sebagai Tuhan; Venus adalah Dewa Kecantikan; Mars adalah Dewa Peperangan; Minerva adalah Dewa Kekayaan; terus Apollo dan Dewa Matahari adalah Tuhan Tertinggi.
Masyarakat Mesir meyakini adanya Dewa Iziz, Dewi Oziriz, dan Ra’. Di sisi lain, mereka percaya adanya Dewa Gelap dan Dewa Terang. Hingga keyakinan ini merambah ke masyarakat Arab. Mereka menyembah berhala-berhala Al-Lata, Al-Uzza, dan Manata.
Keyakinan ini salah menurut pandangan Islam. Sehingga, Al-Qur’an meluruskan. Sejatinya, yang patut disembah adalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa”.
Demikian pesan Allah dalam Al-Qur’an surah al-Ikhlas ayat 1. Allah, dalam ayat ini, memerintahkan Nabi Muhammad—yang kemudian dicontoh umat beliau—mengesakan Allah Swt. Tiada sekutu bagi-Nya. Allah, Allahu rabbuna la nusyriku bihi syaian. Allah, Allah adalah Tuhan kami, kami tidak membuat sekutu terhadap suatu apa pun dengan-Nya.
Ust. Yusuf Mansur menuturkan, bahwa kalau tidak jual rumah, kita tidak bisa haji. Sebaiknya tidak usah jual rumah. Karena rumah kita jadi Tuhan. Kalo tidak kerja, kita tidak makan. Mending, kita tidak usah kerja. Karena kerja kita menjadi Tuhan.
Subhanallah!
Artinya, Tuhan adalah Dzat yang sepatutnya dijadikan mitra untuk konsultasi, berlabuh, curhat, dan seterusnya. Bukan manusia, setan, atau benda alam yang semuanya dikategorikan makhluk yang sepenuhnya dijadikan mitra hidup kita.
Betapa terketuk kalbu bila kita mengingat Allah sebagai Tuhan! Kesadaran itu tumbuh menjelma inspirasi yang membimbing kita menatap masa depan cerah. Jiwa kita menjadi tenteram sebab mengingat-Nya. Allah berpesan dalam Al-Qur’an surah ar-Ra’d ayat 28.
Orang-orang yang beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram karena mengingat Allah swt. Memang hanya dengan mengingat Allah-lah jiwa menjadi tenteram.
Dalam ayat yang lain, Allah menuturkan dalam Al-Qur’an surah Fushshilat ayat 30.
Sesungguhnya orang-orang yang berkata (berprinsip) bahwa Tuhan pemelihara kami adalah Allah serta istiqamah dengan prinsip itu, akan turun kepada mereka malaikat (untuk menenangkan mereka sambil berkata) “Jangan takut, jangan bersedih, berbahagialah kalian dengan surga yang dijanjikan.”
Melalui firman Allah tersebut, jelaslah bahwa cermin hidup kita adalah Allah. Kegelisahan, ketakutan, keterasingan, dan seterusnya, akan menjadi hilang sebab kita mengingat kekuasaan dan kehendak-Nya. “Mengingat” dalam ayat di atas disisipi kata depan ba’ yang berfungsi ilshaq, yakni “ketertempelan.” Mengingat di situ tidak cukup pikiran, melainkan disertai dengan keyakinan bahwa Allah hadir/bertatap muka dengan kita.
Kehadiran tuhan merupakan kepastian. Bukan kebetulan. Bukan direncanakan. Dia Maha Suci dari sifat-sifat kotor ini. Ust. Jefri Al-Buchori berpesan, “Allah nggak pernah bosen ngampunin hamba-Nya. Cuma terkadang hamba-Nya yang bosen minta ampun kepada Allah.” Itulah alasan kita bertuhan.[] Shallallah ala Muhammad.