Oleh AHMAD FARISI*
Bisakah demokrasi terus hidup dan bertumbuh? Sepanjang kita punya perhatian dan kritisisme untuk merawatnya, tentu bisa. Namun, jika kita irasional dan enggan mengawal proses demokrasi secara kritis, adalah sebaliknya: demokrasi kita akan kembali jatuh dalam jurang otoritarian.
Sudah banyak pengalaman di berbagai negara yang memberi kita pengetahuan tentang semua ini yang bisa kita jadikan pelajaran berharga.
Sebut saja Venezuela, misalnya. Sejak dua dekade lalu sampai kini negara yang dijuluki The Land of Grace itu magap-magap dalam himpitan otoritarianisme. Musababnya, masyarakat dan Parlemen Venezuela tidak cukup cermat membaca kemunculan diktator seperti Hugo Chaves (pada 1998) dalam politik Venezuela dan malah memilihnya menjadi presiden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kesalahan yang sama kembali dilakukan oleh masyarakat dan Parlemen Venezuela di tahun 2013. Yang alih-alih menyingkirkan generasi Chaves dari arena politik Venezuela, justru malah memberi orang dekat Chaves—Nicolas Maduro—kesempatan berkuasa. Alhasil, alih-alih bangkit dari keterpurukan, pasca Chaves demokrasi Venezuela tidak mengalami perubahan. Transisi aktor terjadi, namun tidak dengan transisi demokrasi.
Di Asia Tenggara, kita juga bisa melihat Filipina sebagai contoh, yang karena irasionalisme dan ketidakpekaan pemilih muda membaca sejarah otoritarianisme di masa lalu, pada Pilpres Filipina 2022 lalu, Marcos Jr, putra diktator Filipina Marcos Sr, dipilih menjadi Presiden Filipina.
Di awal keterpilihannya, semuanya tampak terlihat baik-baik saja. Namun, kini tersiar kabar presiden yang terpilih karena ”kampanye joget”-nya di media sosial itu hendak megngmandemen Konstitusi Filipina, dan menghapus pembatasan masa jabatan presiden yang ada di dalamnya
Demokrasi sangat sulit dibangun, namun sangat mudah diruntuhkan oleh kelompok anti-demokrasi. Demikianlah kesimpulannya jika kita membaca dinamika bagaiamana demokrasi bangkit dan mati. Dan, itulah sebabnya, saya kira, mengapa jika kita menginginkan demokrasi terus hidup dan tumbuh, kita mesti memiliki kritisisme untuk menjaga demokrasi.
Sebab, saat kita memilih demokrasi sebagai alat bernegara, maka pada saat yang sama sesungguhnya kita sedang menentang kelompok elite yang membenci demokrasi yang secara terus menerus mencari cara untuk membunuh demokrasi. Baik secara terang-terangan ataupun secara halus.
Secara terminologis, kelompok anti-demokrasi itu bisa kita sebut sebagai kelompok “nekrofilus demokrasi”. Dalam ilmu psikologi, nekrofilus memiliki makna orang yang memiliki hasrat menyimpang berupa ketertarikan seksual untuk menggauli atau bersetubuh dengan mayat.
Oleh Fromm, utamanya dalam War Within Man: A Psicological Inquiry Into The Roots of Distrucveniss (1963) dan The Heart of Man: Its Genius for Good and Evil (1964), ketertarikan seksual liyan pada mayat ini dikembangkan lebih lanjut sebagai ’rasa cinta pada kematian’. Cinta yang mendorong seseorang melakukan pembunuhan demi pembunuhan.
Menurut Fromm, sebagai pecinta kematian, para nekrofilus membenci kehidupan. Mereka gelisah melihat kehidupan dan merasa tenang menyaksikan kematian-kematian yang ditimbulkan atau diciptakannya.
Demikian juga dengan kelompok nekrofilus demokrasi. Jika bagi kita pertumbuhan dan kemajuan demokrasi adalah keberkahan, bagi para nekrofilus demokrasi justru sebaliknya. Pertumbuhan demokrasi adalah bencana yang dapat mengancam kenyamanan dirinya secara politik.
Karena itu, mereka benci pertumbuhan demokrasi dan mencintai kematian demokrasi. Sebab, dalam kematian demokrasi lah mereka dapat hidup dengan nyaman, tenang, tanpa gangguan dan guncangan politik.
Sebagaimana para nekrofilus dalam pemaknaan Fromm, para nekrofilus demokrasi juga melihat kematian dan kejatuhan demokrasi sebagai sebuah kenikmatan tersendiri dalam kehidupan politiknya.
Daniel Ziblatt dan Steven Levistky (2018) dalam Bagaiamana Demokrasi Mati? mencatat dengan sangat bagus tentang bagaimana para nekrofilus demokrasi membunuh dan menjatuhkan demokrasi: ikut berkompetisi dalam pemilu demokratis dan lalu membunuh demokrasi dari dalam dengan cara-cara yang seolah-olah demokratis dan konstitusional.
Pertanyaannya kemudian, mengapa para nekrofilus demokrasi berhasil menguasai sistem dan lalu membunuh demokrasi dari dalam?
Seperti disinggung oleh para ahli, itulah kelemahan demokrasi: tidak bisa membentengi dirinya sendiri dan tidak bisa menjamin bahwa mereka yang ikut berkompetisi dalam pemilu dan kemudian terpilih secara demokratis untuk memimpin negara adalah pecinta (biofilus) demokrasi.
Karena itu, pada konteks ini, jika kita menginginkan demokrasi kita bertumbuh, tidak tumbang dan jatuh dalam perangkap otoritarianisme, adalah kewajiban kita untuk menjaga demokrasi dari serangan nekrofilus demokrasi: mencegahnya masuk dan menguasai sistem politik kita. Dan hal ini, hanya bisa kita lakukan dengan kecerdasan dan kritisisme yang mapan.
Lippman (dalam Edward Bernays, 2020) mengingatkan bahwa demokrasi tidak bisa dibangun dengan kondisi publik yang irasional. Artinya, untuk memastikan bahwa demokrasi kita tetap hidup dan bertumbuh, publik harus cerdas dan secara sadar menjaga demokrasi: memastikan politisi nekrofilus demokrasi tidak memenangkan kompetisi.
Kesadaran publik untuk secara pro-aktif terlibat mengawal demokrasi itu bersifat wajib. Tanpa kesadaran pro-aktif dan kritis itu, mustahil demokrasi akan bertumbuh. Irasionalisme publik hanya akan melanggengkan para nekrofilus demokrasi menancapkan kekuasaannya.
Dalam bukunya yang lain, On Disobedience: Why Freedom Means Saying “No” to Power, dengan nada yang agak provokatif, Erich Fromm mengingatkan kita: ”Sejarah umat manusia [demokrasi/kebebasan) dimulai dari ketidakpatuhan [kesadaran revolusioner] dan tidak menutup kemungkinan akan berakhir [mati] dengan kepatuhan [irasionalisme].”
*) Pengamat politik