Sejak pemilu 1999—pemilu pertama pasca-reformasi—pelaksanaan pemilu di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan; dari pemilu yang manipulatif (baca: pemilu Orde Baru) menjadi pemilu demokratis, transparan dan terbuka (Sukardi, 2018 & Haris, 2018).
Akan tetapi, meski demikian bukan berarti hajatan demokrasi yang akan digelar pada 2024 itu telah bebas dari ancaman, khususnya dari ancaman politik transaksional. Politik transaksional adalah upaya mempengaruhi keputusan partai dan pemilih dengan memberi imbalan materi.
Dikatakan ancaman, karena pada kenyataannya, hadirnya politik transaksional ke dalam praktik politik kita, hal itu telah menyebabkan iklim politik Indonesia menjadi nepotis dan manipulatif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dikatakan ancaman, karena pada kenyataannya, hadirnya politik transaksional ke dalam praktik politik kita, hal itu telah menyebabkan iklim politik Indonesia menjadi nepotis dan manipulatif. Dan di sisi lain juga menjadi pendorong atas lahirnya pemimpin-pemimpin korup.
Pandangan di atas dibenarkan oleh Aspinall & Berenschot (2019). Dalam Democracy For Sale, mereka menyatakan bahwa proses pelaksanaan pemilu Indonesia yang sarat dengan praktik politik transaksional; dari proses pencalonan hingga tahap pemilihan telah menciptakan iklim politik yang korup.
Adanya keharusan informal bagi setiap bakal calon untuk membayar ‘mahar politik’ kepada partai untuk mendapatkan rekomendasi, serta keharusan memberi ‘imbalan’ bagi pemilih, hal itu menurut Aspinall dan Berenschot telah menjerumuskan politisi-politisi Indonesia pada perilaku koruptif-manipulatif.
Data yang dihimpun Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2020 lalu mengonfirmasi kenyataan itu. Dalam laporannya, ICW menunjukkan bahwa sejak 2010 hingga 2019 lalu sedikitnya sudah ada 586 anggota DPR/DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi (ICW, 2020).
Di pemilu 2024, ancaman politik transaksional seperti yang terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya tidak menutup kemungkinan akan terjadi kembali. Sebab, pelaksanaan pemilu yang diwarnai oleh praktik politik transaksional itu nyaris telah mendarah daging dalam budaya politik kita.
Apalagi jika kita melihat pada posisi Indonesia sebagai negara berkembang—di mana kebanyakan negara-negara berkembang memang menjadi lahan subur berkembangnya praktik politik transaksional—maka potensi dan ancaman politik transaksional itu semakin jelas di pemilu 2024.
Jalan Antisipasi
Namun demikian, bukan berarti hal itu tidak bisa diantisipasi. Pintu untuk melakukan antisipasi praktik politik transaksional yang mengancam perhelatan pemilu 2024—agar menjadi pemilu yang substansial, yang mampu menghasilkan kepemimpinan politik yang berintegritas—masih terbuka lebar.
Pertama-tama, proses antisipasi politik transaksional itu bisa dimulai dari dalam partai. Partai, yang dalam perhelatan pemilu menjadi kendaraan sekaligus penjaring setiap calon, mulai sejak dini harus benar-benar menjadi alat penjaringan yang profesional dan tidak pragmatis.
Artinya, partai—yang selama ini terbiasa dengan praktik jual beli rekomendasi dalam proses pencalonan, sudah waktunya untuk berbenah diri.
Artinya, partai—yang selama ini terbiasa dengan praktik jual beli rekomendasi dalam proses pencalonan, sudah waktunya untuk berbenah diri. Mengakhiri praktik politik transaksional yang selama ini membudaya dalam diri partai dan menuju politik yang inklusif dan deliberatif.
Kemudian, pemilih—sebagai ujung tombak perhelatan pemilu, juga sudah saatnya untuk menjadi pemilih yang rasional dan berintegritas—yang mendasarkan pilihannya atas pertimbangan yang matang, bukan karena adanya sejumlah ‘imbalan politik’ yang diberikan atau yang dijanjikan akan diberikan.
Selain itu, upaya pengawasan terhadap pelanggaran pemilu yang dimiliki oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga harus lebih masif lagi. Agar, sebagai bagian dari penyelenggara pemilu yang bergerak di bidang pengawasan, posisi Bawaslu bisa lebih terasa lagi peranannya. Tidak pasif.
Dengan demikian, akan ada ketersambungan upaya dan usaha yang dilakukan oleh partai, Bawaslu, dan oleh pemilih itu sendiri yang sama-sama bermuara pada pelaksanaan pemilu yang substansial. Sehingga produk kepemimpinan politik yang dihasilkan lebih berkualitas.