Berkali-kali digugat, namun tak satu pun dikabulkan. Itulah presidensial threshold (PT) yang diatur dalam pasal 222 UU No. 7/2017 tentang Pemilu yang kini kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Diketahui, para penggugat (pemohon) itu adalah dua anggota DPD RI, Fahrul Razi dan Bustomi Zainudin; mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo; dan Waketum Partai Gerindra, Ferry Joko Yulianto.
Dalam surat gugatan yang diajukan ke MK, mereka meminta MK untuk membatalkan PT. Atau, menjadikan PT yang semula mensyaratkan calon presiden (capres) harus didukung oleh partai yang memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20 persen atau 25 persen perolehan suara sah nasional pada pemilu DRP sebelumnya menjadi 0 persen. Alasannya, karena bagi mereka PT bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Belum Final
Menyikapi gugatan demi gugatan perihal PT itu, Ketua DPR RI, Puan Maharani pun ikut berkomentar. Puan mengatakan bahwa UU Pemilu sudah final dan tidak bisa dirubah. “Di DPR revisi undang-undang sudah final tidak akan dibahas lagi, itu sesuai dengan kesepakatan yang ada,” ujar Puan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (16/12/2021).
Dalam hemat penulis, pernyataan Puan itu sangatlah problematis. Dalam kajian ilmu hukum, tidak ada istilahnya sebuah produk undang-undang yang bersifat final. Jangankan produk undang-undang, konstitusi sendiri pun tidak menyatakan dirinya final. Sebab hukum itu bergerak dinamis sesuai perkembangan, tidak pasif dan statis dalam satu konteks.
Oleh sebab itu, peluang PT untuk dibatalkan tetap harus dibuka lebar-lebar sesuai dengan kebutuhan. Apalagi ketentuan PT itu sendiri tidak diatur dalam UUD 1945. Dengan kata lain, sesungguhnya PT tak lain adalah produk hukum yang dihasilkan DPR dan pemerintah yang di dalamnya sarat muatan politis. Yang artinya sangat berpotensi untuk dibatalkan.
Dikatakan sarat dengan muatan politis karena pada faktanya, PT hanya menguntungkan partai-partai besar dan menyisihkan partai kecil. Jadi, adalah wajar jika PT ini banyak digugat karena memang terdapat ketidakadilan politik di dalamnya. Jika konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih, maka PT adalah sebaliknya.
Secara praktis, keberadaan PT memang tidak merenggut hak rakyat untuk memilih atau dipilih. Akan tetapi perlu dipahami bahwa keberadaannya telah membatasi hak itu. Dan dengan ini menjadi jelas bahwa keberadaan PT sama sekali tidak merepresentasikan semangat konstitusi yang tertuang dalam pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Negara-negara demokrasi yang juga menganut sistem presidensial seperti Amerika, Brazil, Peru, Meksiko dan Kyrgyzstan, nyaris tak ada yang menerapkan PT. Mereka menerapkan sistem pencalonan terbuka tanpa mempersyaratkan dukungan (Abdul Ghoffar, 2018). Mengapa? Karena mereka menyadari bahwa hak untuk memilih dan dipilih adalah hak yang melekat pada diri seseorang yang tidak boleh dibatasi dan dipersempit.
Karenanya, dengan dasar argumen logis seperti yang dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya bagi MK untuk membatalkan PT. Dan ini adalah sebuah keniscayaan. Sebab, problem terkait PT ini bukan semata soal open legal policy, tetapi juga soal eksistensinya yang tidak menjiwai undang-undang induk yang di atasnya, yakni UUD 1945.
Meredam Kekhawatiran
Secara umum ada dua kekhawatiran utama yang sering dikemukakan jika PT ini dibatalkan. Pertama, khawatir memperlemah sistem presidensial yang kita anut jika calon presiden (capres) tidak mendapat dukungan besar dari partai mayoritas di DPR pada masa pencalonan. Dalam pandangan penulis kekhawatiran semacam ini sama sekali tak berdasar.
Sebab, meski seorang capres tak didukung sejak awal oleh mayoritas partai di DPR, bukankah pasca momentum pilpres seorang presiden terpilih masih bisa berkoalisi dengan partai-partai yang ada guna memuluskan program dan kebijakan politiknya? Seperti Presiden Joko Widodo yang menggandeng Gerindera di periode keduanya, misalnya. Jadi, jika PT ini dibatalkan, maka sesungguhnya hal itu sama sekali tak akan melemahkan sistem presidensial yang kita anut.
Kedua, khawatir ada banyak tokoh-tokoh politik yang tidak pro demokrasi yang juga ikut mencalonkan diri sebagai presiden melalui kelompok tertentu. Kekhawatiran yang kedua ini salah satunya diungkapkan oleh Boni Hargens. Sama seperti yang pertama, kekhawatiran ini juga tidak berangkat dari penalaran yang logis.
Sebab, yang memiliki fungsi untuk menyaring capres yang pro-demokrasi atau tidak sebenarnya bukanlah PT. Tetapi adalah partai itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Karena itu, jika pun PT dinaikkan menjadi 30 persen, misalkan, tetapi partai masih belum mampu menjadi penjaga gerbang demokrasi seperti yang diharapkan, maka PT sama sekali tidak menjamin bahwa orang-orang yang ikut menjadi capres adalah orang-orang yang pro-demokrasi.
Kiranya, dengan uraian di atas sudah jelas bahwa dua kekhawatiran di atas tidaklah rasional jika ingin dijadikan dalil untuk mempertahankan PT. Oleh sebab itu, seperti yang sudah dikemukakan, PT memang harus batal demi konstitusionalisme. Dan kita berharap MK berkenan menggunakan instrumen kekuasaannya untuk membatalkan PT. Sebab, jelas dan terang benderang PT bertabrakan dengan semangat konstitusi.