Pada 14 Juni lalu KPU telah melakukan peluncuran tahapan Pemilu 2024. Selain itu, KPU juga telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Jadwal Pemilihan Umum Tahun 2024. Diluncurkannya tahapan pemilu 2024 dan diterbitkannya PKPU/3/2024 itu menandai bahwa Pemilu 2024 secara resmi telah dimulai.
Setali dua uang dengan hal itu, partai-partai politik juga telah mulai aktif melakukan konsolidasi. Melakukan negosiasi, mencari kesepahaman politik. Bahkan, beberapa di antaranya telah membentuk koalisi menyambut Pemilu 2024. Kekuatan-kekuatan politik informal seperti halnya “relawan” dan “simpatisan” politik juga telah muncul ke permukaan.
Pemilu dan masa depan demokrasi
Dalam negara demokrasi, transisi kekuasaan mutlak dibutuhkan (Affan Gaffar, 1999). Karena, dalam teori demokrasi, kekuasaan yang terlalu lama berkuasa, dianggap mengancam kehidupan demokrasi itu sendiri. Oleh sebab itu, sebagai mekanisme politik untuk melakukan transisi kekuasaan, pemilu menjadi penting dilaksanakan dan dilakukan.
Namun, pertanyaannya kemudian, sudahkah pemilu yang selama ini kita laksanakan memberikan sumbangan positif terhadap kehidupan demokrasi politik yang kita damba-dambakan?
Steven Levitsky & Daniel Ziblatt mengajukan tesis yang cukup mengejutkan mengenai jawaban untuk pertanyaan di atas. Dalam How Democracies Die, mereka mengatakan bahwa, alih-alih memberikan sumbangan positif, yang terjadi di beberapa negara justru memperlihatkan hal yang sebaliknya: pemilu menjadi pintu bagi pembusukan demokrasi.
Menurut mereka, hal itu terjadi karena perhelatan pemilu –yang selama ini dianggap sebagai mekanisme politik demokratis untuk melakukan transisi kekuasaan– sejauh ini masih menghasilkan pemimpin-pemimpin politik yang korup, tidak pro-demokrasi dan kepentingan rakyat.
Alhasil, demokrasi mengalami pemusukan dari dalam, yang aktor-aktornya adalah pemimpin-pemimpin politik yang dipilih melalui pemilu demokratis itu sendiri. Dan ironisnya, kondisi ini dialami oleh banyak negara-negara demokrasi modern, dan Indonesia secara tak terkecuali.
Pasca reformasi 1998, banyak literatur mencatat bahwa pelaksanaan pemilu di Indonesia mengalami demokratisasi yang luar biasa. Sebab, di era reformasi, pelaksanaan pemilu sudah dilakukan dengan prinsip yang jujur, adil, langsung dan terbuka. Yang hal itu sangat kontras dengan pemilu-pemilu di masa Orde Baru yang dilaksanakan secara tertutup, yang hasil akhirnya sudah dapat dipastikan bakal memenangkan Soeharto bersama kroni-kroninya (Laksanamana Sukardi, 2018).
Namun, sebagaimana diutarakan oleh Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, bukannya menghantarkan demokrasi pada puncak kejayaannya, para pemimpin-pemimpin politik arus utama yang dipilih melalui pemilu demokratis pasca-reformasi berbalik memerkosa dan melecehkan demokrasi. Aspirasi rakyat, yang dalam teori demokrasi seharusnya dijadikan dasar pembentukan kebijakan publik, sekadar dianggap angin lalu. Bahkan, publik tak dilibatkan sama sekali.
Sudah begitu, oposisi politik informal yang aktif melakukan advokasi dan aktif memberikan kritik kepada penguasa ditindas sedemikian rupa: ada yang dilabeli teroris, komunis, penghianat, dan bahkan ada yang berujung pada pemidanaan. Mirip dengan apa yang dilakukan Hugo Chaves di Venezuela, Silvio Berlusconi di Italia, dan Recep Tayyip Erdogan di Turki.
Ironisnya, intimidasi politik semacam ini juga berlangsung di kampus-kampus. Sejumlah kampus, yang diketahui cukup aktif melakukan diskusi-diskusi kritis, juga tak luput dari represi kekuasaan. Kampus, yang seharusnya dibebaskan dari anasir-anasir politik kekuasaan dan dibiarkan bebas berekspresi, memberikan kritik dan masukan terhadap problem kebangsaan yang sedang terjadi, dibungkam dan dikooptasi dari berbagai sudut. Ilmuwan dan akademisi, bak macan ompong, dibuat mematung tanpa daya di atas mimbar akademiknya.
Karena itu, tak heran bila dalam beberapa tahun terakhir, berbagai hasil survei melaporkan bahwa indeks demokrasi Indonesia terus mengalami kemunduran akut. Sebab, kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi sama sekali tak indahkan. Pun dalam berbagai pidato politik tema kebebasan berpendapat kerap kali disuarakan, nyatanya hal itu tak lebih dari sekadar retorika politik penguasa.
Dalil-dalil dan doktrin-doktrin kebebasan berekspresi yang dalam konstitusi telah ditulis dengan begitu jelas, rinci, dan rigid, hanya dijadikan alat untuk memoles citra politik para elite, tidak diwujudkan dalam kehidupan politik kebangsaan yang senyatanya. Akibatnya, norma-norma konstitusi yang seharusnya menjadi pedoman dan landasan dalam bernegara menjadi tidak bernilai apa-apa kecuali sebatas bernilai semantik (semantical value) (Didik Sukriono, 2013).
Sementara di sisi lain, korupsi terus menjamur. Krisis moral dan kepemimpinan melanda dunia politik kita (Syamsuddin Haris, 2019). Sejumlah pemimpin-pemimpin politik yang ada di legislatif terus berguguran, satu-persatu tersandung kasus korupsi. Perjuangan reformasi 1998 yang dengan agendanya “melawan KKN”, sirna dikhianati oleh pemimpin-pemimpin politik hasil pemilu demokratis atau oleh para pejuang reformasi itu sendiri.
Demokrasi ekonomi dan pembangunan ekonomi berbasiskan Pancasila sebatas hanya menjadi wacana populis yang tak pernah terwujud. Bak api jauh dari panggang.
Bahkan, yang lebih ironis lagi, “persekongkolan politik jahat” antara pemimpin politik hasil pemilu demokratis dengan sejumlah pemodal untuk mengakses dan menikmati kekayaan negara masif terjadi. Berbagai produk hukum terus diproduksi, namun ujung-ujungnya hanya menguntungkan korporasi di satu sisi, dan merugikan rakyat di sisi lain.
Demokrasi ekonomi dan pembangunan ekonomi berbasiskan Pancasila sebatas hanya menjadi wacana populis yang tak pernah terwujud. Bak api jauh dari panggang. Berbagai produk hukum bentukan para pemimpin politik hasil pemilu demokratis, alih-alih semakin menertibkan dan menciptakan kompetisi ekonomi yang sehat, yang ada justru semakin menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan sistemik.
Sebab itu, tak heran jika Jeffry A. Winters, ilmuwan politik berkebangsaan AS menyebut praktik berdemokrasi di Indonesia sebagai “demokrasi kriminal”, sebuah demokrasi yang dijalankan berdasarkan doktrin premanisme.
Jika pada akhirnya pemimpin-pemimpin politik yang dihasilkan juga sama saja dengan apa yang dihasilkan beberapa kali pemilu sebelumnya, demikianlah… demokrasi Indonesia akan semakin terpuruk. Bahkan, juga berpotensi mengalami apa yang dialami beberapa negara demokrasi dunia saat ini, ”mengalami kegagalan sistem”.
Dari paparan di atas, maka menjadi jelas bahwa sebenarnya, beberapa kali pemilu yang kita laksanakan pasca reformasi belum terlaksana seperti yang kita harapkan. Pun sistem dan mekanisme pelaksanaannya telah demikian demokratis dan terbuka, tetapi pada pokoknya belum mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin politik yang benar-benar pro demokrasi.
Jika pada akhirnya pemimpin-pemimpin politik yang dihasilkan juga sama saja dengan apa yang dihasilkan beberapa kali pemilu sebelumnya, demikianlah… demokrasi Indonesia akan semakin terpuruk. Bahkan, juga berpotensi mengalami apa yang dialami beberapa negara demokrasi dunia saat ini, ”mengalami kegagalan sistem”.
Ingat kawan, pemilu adalah “meja judi” dan demokrasi adalah ”taruhan politik”-nya.