Oleh Farisi Aris*
Setia adalah perkara sulit. Terlebih, setia kepada konstitusi.
Malahan, setia kepada konstitusi bisa dibilang adalah perkara yang lebih sulit daripada setia pada umumnya. Hal itu karena, meski sakral, konstitusi bersifat pasif, yang hal itu membuat siapa saja mudah untuk tak setia (berkhianat) kepadanya. Lebih-lebih mereka yang punya kekuasaan dan segudang kepentingan politik (politisi).
Jika politisi dan konstitusi kita ibaratkan dua teman, mudah kita mengatakan bahwa politisi adalah tipe teman yang mudah ingkar terhadap konstitusi yang merupakan temannya sendiri. Yang padahal, selalu mengingatkannya guna tetap berada di jalan yang lurus.
Menurut filsuf politik Yunani Kuno, Aristoteles, ada tiga macam pertemanan: pertemanan berdasarkan kegunaan (utility), pertemanan berdasarkan kesenangan (pleasure), dan pertemanan berdasarkan keutamaan (persahabatan/virtuous). Tampaknya, pertemanan antara politisi dan konstitusi adalah pertemanan yang dangkal, rapuh, yang tidak diikat dengan komitmen dan janji setia, sehingga mudah pecah dan berujung pengkhianatan ketika tak lagi menguntungkan dan menyenangkan. Persis jenis pertemanan pertama dan kedua.
Wacana penundaan pemilu yang belakangan ini semakin jelas dan terang-benderang adalah bukti faktual bahwa pertemanan antara politisi dan konstitusi itu adalah pertemanan yang dangkal dan rapuh. Alih-alih berupaya setia, gerakan penundaan pemilu yang semakin terang itu menunjukkan bahwa politisi sama sekali tak memiliki kesetiaan kepada konstitusi.
Pasal 26E ayat (6) UUD 1945 telah dengan tegas menggariskan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima (5) tahun sekali. Sementara itu, Pasal 7 ayat (1) juga menegaskan bahwa… Jika kedua pasal itu ditafsirkan secara berkesinambungan, maka berarti ”masa jabatan presiden hanya lima tahun untuk satu kali masa jabatan.ayaNamun, berbagai alasan tetap dicari-cari guna menunda pelaksanaan pemilu. Dari alasan pemulihan ekonomi hingga yang termuktahir, putusan pengadilan yang menghukum KPU untuk menunda pemilu.
Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu memang keluar dari lembaga atau hakim yang konon merdeka dan independen dalam memutus suatu perkara. Namun, rasanya sangat mustahil bila putusan itu tidak berkait-kelindan dengan wacana penundaan pemilu yang sejak lama, dioperasikan dengan berbagai cara, termasuk dengan memobilisasi massa, memanipulasi data dan mengorder sejumlah lembaga survei.
Demam internasional
Rupanya, gerakan pengkhianatan terhadap konstitusi guna melanggengkan kekuasaan itu tak hanya terjadi di Indonesia. Tetapi juga di beberapa negara dunia. Sebut saja, Meksiko. Menurut beberapa pemberitaan, demokrasi Meksiko kini dilaporkan juga sedang sakit-sakitan sebab, Presiden Meksiko Andres Manuel Lopez Obrador (AMLO) ditengarai terus bermanuver guna memperpanjang masa jabatannya sebagai Presiden Meksiko.
Bahkan, kabarnya, setelah rencananya untuk mengganti Komisi Pemilihan Umum (KPU) Meksiko dengan lembaga baru yang menguntungkannya, Presiden Meksiko dari Partai Gerakan Regenerasi Nasional (Moviemiento Regeneracion Nacional/MORENA) itu kabarnya juga sedang merencanakan pemotongan anggaran KPU Meksiko secara drastis. Yang tak kalah mengejutkan, kabarnya KPU-KPU daerah Meksiko juga akan ditutup dan serta tak kurang dari 6.000 staf KPU Meksiko juga akan dinonaktifkan.
Menurut AMLO, hal itu dilakukan guna melakukan penghematan. Namun, banyak para pengamat politik Meksiko menganggap bahwa semua itu hanyalah akal-akalan Andres Manuel guna menambah durasi kekuasaannya selama mungkin (Fareed Zakaria, 2023).
Selain Meksiko, ada Rusia dan China yang juga mengalami hal yang sama. Bahkan, kedua negara sahabat itu telah kebobolan secara politik. Melalui referendum yang disetujui hampir 78% pemilih pada 1 Juli 2020, kini Presiden Vladimir Putin bisa berkuasa nyaris tanpa batas. Konstitusi baru Rusia hasil referendum itu membuka kesempatan bagi Vladimir Putin untuk mencalonkan diri hingga tahun 2036 mendatang (BBC.com,25/1/2020).
Sementara dalam konteks China, kasusnya juga kurang lebih sama. Melalui Kongres Rakyat Nasional (NPC) pada 2018, Presiden Negeri Tirai Bambu Xi Jinping berhasil menghapus batas masa jabatan presiden. Dalam Konstitusi 1982, masa jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode. Namun, melalui NPC 2018 pembatasan jabatan itu dihapus sehingga Xi Jinping pun bisa berkuasa juga nyaris tanpa batas (Safril Mubah, 2023).
Apa yang telah menimpa demokrasi Rusia dan China itu, dan yang sedang berlangsung di Meksiko, jelas adalah presiden buruk bagi pembangunan demokrasi global dalam jangka panjang. Apa pun alasannya, mengkhianati konstitusi guna memperpanjang kekuasaan tetaplah perbuatan politik yang tidak bisa dibenarkan. Indonesia harus mengambil sikap tegas dalam persoalan ini dengan tetap menapaki jalan kesetiaan kepada konstitusi.
Perbuatan mengotak-atik konstitusi, khususnya terkait dengan masa jabatan, adalah makar dalam bentuknya yang berbeda.
*) Peneliti pada Akademi Hukum dan Politik (AHP)